Monday 23 May 2022

Solusi Islam atas Krisis Kemanusiaan


Oleh : Didi Junaedi 

Di tengah derasnya arus modernitas, seringkali manusia terlena dan larut dalam dekapan budaya materialisme, konsumerisme dan hedonisme. Nilai-nilai yang bersifat materi disanjung dan dipuja, sementara nilai-nilai rohani dicibir dan diabaikan. Dari sisi materi mereka tidak kekurangan, bahkan berlimpah, tetapi sisi rohani mereka gersang, kering kerontang. Fisik mereka sehat, namun jiwa mereka kosong dan rapuh. Kenyataan inilah, yang pada gilirannya melahirkan manusia-manusia kosong, The Hollow Men, mereka tidak tahu lagi arah dan tujuan hidup ini.

Adalah Rollo May, seorang psikolog-humanis, menyebut kondisi ketidakberdayaan manusia bermain dalam pusaran arus modern, sebagai “manusia dalam kerangkeng”, sebuah kondisi kehidupan tak bermakna (the meaningless life).

Fenomena manusia modern semacam ini, digambarkan oleh Thomas Robert Marcuse, seorang Filosof Amerika abad dua puluh, sebagai ‘one dimension man’, manusia satu dimensi. Marcuse menegaskan, manusia masa kini telah terjebak pada kebutuhan-kebutuhan semu (pseudo needs) yang diciptakan oleh ekonomi konsumen dan politik kapitalis. Gejala seperti ini telah melembaga dalam kehidupan manusia dan mengikat manusia secara libidinal. Maksudnya, dalam memenuhi kebutuhannya, manusia semata-mata bersandar pada dorongan nafsu tanpa mengindahkan norma-norma yang berlaku, baik norma sosial, lebih-lebih norma agama.

Sebagai imbas dari kondisi masyarakat yang demikian bebas ini adalah lahirnya sebuah komunitas masyarakat yang, oleh Roderic C. Meredith disebut sebagai permissive society (masyarakat serba boleh). Permissive society, lanjut Roderic, tidak mengakui adanya kebenaran abadi (eternal truth).Dengan kata lain, kita bebas berbuat apa saja, dan tidak ada ruang bagi Tuhan untuk memberikan ancaman ataupun sanksi kepada kita.

Kondisi masyarakat yang demikian memprihatinkan ini pada gilirannya akan melahirkan berbagai persoalan kemanusiaan. Setiap hari manusia semakin terseret ke arah pengasingan (alienasi), tidak ada lagi waktu untuk menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan, keluhuran moral, dan kepekaan ruhaniah, bahkan makhluk ini justru tenggelam dalam gemerlapnya kehidupan, sehingga kerap memicu terjadinya penyelewengan-penyelewengan dan pemerosotan nilai-nilai tradisional.

Munculnya individu-individu yang arogan, amoral, anarkis, intoleran, baik di tingkat elite maupun grass root, merupakan dampak riil dari masyarakat serba boleh ini. Belum lagi tingginya tingkat kriminalitas, pergaulan bebas yang menjurus pada perilaku seks bebas (free sex) di kalangan remaja, merebaknya virus HIV yang mematikan disertai meningkatnya penderita AIDS, dan sederet persoalan sosial lainnya siap menghadang komunitas masyarakat yang mengedepankan nafsu semata tanpa mengindahkan norma-norma yang berlaku.

Dalam pandangan penulis, kondisi masyarakat seperti ini akan melahirkan distorsi nilai-nilai kemanusiaan, terjadi dehumanisasi yang disebabkan oleh kapasitas intelektual, mental dan jiwa yang tidak siap untuk mengarungi samudera peradaban modern.

Dalam kondisi seperti ini, hemat penulis, manusia membutuhkan guide yang mengarahkannya menuju ketenangan batin dan ketenteraman jiwa. Batin yang telah lama kering, mendambakan siraman spiritual. Sehingga kembali bangkit penuh optimisme menyongsong hari esok yang lebih cerah.

Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah kita (umat Islam) menyikapi kondisi yang sudah sedemikian memprihatinkan ini, langkah apa saja yang seharusnya kita ambil untuk dapat keluar dari krisis kemanusiaan ini?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, ada baiknya kita merenungkan penjelasan Husain Mazhahiri yang tertuang dalam bukunya berjudul ‘Awamil as-Saytharah ‘alaal-Gharaiz fi Hayat al-Insan. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa secara eksistensial, manusia terdiri dari dua dimensi. Hal ini sekaligus membantah tesis Marcuse tentang ‘manusia satu dimensi’.

Lebih lanjut Mazhahiri menjelaskan, dua dimensi yang inheren dalam diri manusia tersebut adalah dimensi ruhy dan jismy. Dalam dimensi ruhy terdapat beberapa komponen, antara lain: akal, nurani, hati, dan sebagainya. Dimensi ini disebut juga sebagai dimensi malakuti (kemalaikatan). Sementara dalam dimensi jismy terdapat beberapa komponen yang, hampir sama dengan yang terdapat pada binatang, seperti insting (naluri), nafsu, dan sebagainya. Oleh karena itu, dimensi ini disebut juga sebagai dimensihayawani. Lantas, bagaimanakah memadukan kedua dimensi ini sehingga pada gilirannya akan dapat berjalan secara serasi dan harmonis?

Al-Qur’an memberikan petunjuk agar manusia tidak terlena dalam pelukan nafsu duniawi yang merupakan perwujudan dari dimensi hayawani. Dalam Q. S. Al-Hijr: 29 Allah SWT menegaskan, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepada-Nya dengan bersujud.

Dari keterangan ayat di atas jelaslah bagi kita bahwa setelah ruh ditiupkan kepada kita, selanjutnya kita diperintahkan untuk bersujud, yakni beribadah dengan sepenuh hati secara ikhlas kepada Allah. Dengan melakukan pengabdian secara total kepada Allah, niscaya dimensi lain berupa nafsuhayawani yang ada dalam diri manusia dapat ditundukkan.

Namun ironisnya, sebagian besar dari umat manusia justru melupakan pesan suci berupa perintah untuk tunduk dan memasrahkan diri dengan beribadah kepada-Nya. Mereka bahkan dipengaruhi dan dikuasai oleh nafsu. Mereka menjadikan nafsu sebagai tuhan (ilah) dalam kehidupan ini. Padahal dalam ayat lain, Allah SWT secara tegas mengecam para ‘budak nafsu’, yaitu mereka yang menuhankan hawa nafsunya. Dalam Q. S. Al-Furqan: 44, Allah menyindir mereka yang menuhankan hawa nafsunya ibarat binatang ternak, bahkan lebih rendah dari itu. “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu.” (Q.S. Al-Furqan: 44)

Berkenaan dengan kehidupan modern dewasa ini, di mana sebagian besar manusia terlelap dalam pelukan nafsu duniawi yang mengedepankan pemenuhan materi (kebendaan), al-Qur’an jauh-jauh hari sebelumnya mengingatkan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara, …“Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. (Q. S. An-Nisa: 77). Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw juga menegaskan,“Dunia adalah ladang untuk kehidupan akhirat.”

Dengan demikian jelaslah bahwa ajaran Islam tidak memberikan ruang bagi bagi para pemuja nafsu, penganut kehidupan permisif, bahkan mereka diibaratkan oleh al-Qur’an lebih sesat dari binatang ternak sekalipun. Di samping itu, Islam menegaskan bahwa kehidupan dunia hanyalah persinggahan sesaat menuju perjalanan panjang, yaitu kehidupan akhirat yang kekal. Dan, hanya orang yang bertaqwa yang akan hidup bahagia di dalamnya. 


* Ruang Inspirasi, Jumat, 20 Mei 2022

No comments:

Post a Comment