Oleh : Didi Junaedi
“...Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Q.S. Al-Hadid: 20)
Gemerlap kehidupan duniawi seringkali menyilaukan mata manusia. Segala kenikmatan yang ada di dunia ini tidak jarang melenakannya, sehingga mereka lupa tujuan hidup mereka yang sesungguhnya. Padahal, menurut falsafah jawa, “urip iku mung mampir ngombe”. Hidup itu cuma mampir minum saja. Atau dalam istilah lain sering disebutkan bahwa hidup di dunia ini hanyalah persinggahan sementara. Karena masih ada tujuan akhir yang harus dicapai, yaitu kehidupan di akhirat kelak.
Layaknya seorang musafir yang tengah menenempuh perjalanan panjang menuju tujuan akhir, maka ketika singgah atau transit di suatu tempat, ia tidak akan berlama-lama menikmati masa transitnya itu, karena ia sadar bahwa tujuan akhirnya belum tercapai. Ia tidak akan menghabiskan bekal perjalanannya di tempat transit yang hanya beberapa saat itu.
Begitu juga seharusnya kehidupan kita di dunia ini. Jangan sampai kita terlena dan terbuai oleh kenikmatan duniawi yang bersifat sementara, sedangkan kebahagiaan ukhrawi yang kekal-abadi kita lupakan.
Ironisnya, banyak sekali kita jumpai dalam kehidupan ini, orang-orang yang asyik dengan segala urusan duniawi, hingga lupa bahwa esok ada kehidupan yang harus dipersiapkan bekalnya.
Banyak manusia, bahkan mungkin termasuk diri kita sendiri, yang rela untuk berlelah-lelah demi mendapatkan kesenangan dan kenikmatan hidup. Kita rela bekerja keras, memeras keringat, banting tulang demi mencapai apa yang disebut dengan kesuksesan duniawi; harta berlimpah, posisi terhormat, pendidikan tinggi, serta popularitas menjulang. Tidak ada kata ‘tidak’ dalam kamus hidup kita untuk sesuatu yang bernama kesuksesan duniawi.
Jika untuk kehidupan dunia yang sementara saja kita rela berlelah-lelah, maka seharusnya untuk kehidupan akhirat yang kekal-abadi kita harus lebih rela berlelah-lelah, berjuang sepenuh hati, jiwa dan raga untuk meraih sukses sejati nan abadi.
Ironisnya, kenyataan yang kita jumpai tidak demikian adanya. Jika atasan memanggil kita, misalnya, maka kita akan segera memenuhi penggilannya, sebisa mungkin untuk segera menghadapnya. Tetapi, ketika Allah memanggil kita melalui seruan adzan sang muadzin, apakah kita juga segera memenuhi panggilan-Nya, dan segera menghadap-Nya?
Kita begitu mudahnya mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk memenuhi hasrat dan keinginan kita, atau lebih tepatnya nafsu kita, tetapi berpikir ribuan kali untuk menyedekahkan harta kita kepada fakir miskin, anak yatim serta orang-orang yang membutuhkan uluran tangan kita.
Bangun tengah malam untuk menyaksikan pertandingan sepak bola klub favorit kita begitu mudahnya, tetapi bangun tengah malam untuk melaksanakan ibadah, bermesraan dengan-Nya yang tak henti melimpahkan nikmat dan karunia-Nya sungguh betapa sulitnya kita lakukan.
Kita mampu berjam-jam di depan layar monitor komputer atau laptop untuk berselancar di dunia maya, menonton Youtube, membaca status teman-teman kita di media sosial, serta membaca berita-berita yang remeh temeh, tetapi mata kita terasa begitu berat ketika harus membaca ayat-ayat suci al-Qur’an. Bahkan baru beberapa baris saja dibaca, rasa kantuk tak tertahankan.
Godaan nafsu duniawi memang lebih menyenangkan. Sedangkan aktivitas yang berorientasi ukhrawi terasa berat dan menjenuhkan. Tetapi, ketahuilah bahwa sungguh kehidupan akhirat itu lebih baik dari kehidupan dunia.
Nabi Muhammad Saw. pernah berpesan, “Dunia ini adalah ladang untuk akhirat.” Makna hadis ini adalah bahwa hendaknya kita jadikan dunia sebagai tempat untuk menanam nilai-nilai kebaikan (amal saleh), sehingga kelak, ketika hidup di alam akhirat, kita akan menuai panen raya pahala atas kebaikan yang kita lakukan ketika di dunia.
Sekali lagi, kesenangan duniawi memang melenakan. Kesenangan dunia itu menipu. Maka berhati-hatilah!
* Ruang Inspirasi, Jumat, 15 April 2022.
No comments:
Post a Comment