Wednesday 18 August 2021

Taliban di antara aspirasi dan kekhawatiran dunia


Oleh : 
Shamsi Ali* 

Terlepas dari kicauan dan gonggongan yang terkadang memuakkan dari media dunia, khususnya Barat, keluarnya Amerika dari Afghanistan adalah sesuatu yang perlu diapresiasi. Minimal keputusan itu merupakan “bisikan nurani” mengakui salah satu kesalahan negara adi daya ini dari masa ke masa. Sejak Vietnam, Irak, hingga ke Afghanistan, semuanya telah menjadi kesalahan dan dosa sejarah yang memalukan. 

Invasi Amerika di Afghanistan 20 tahun lalu itu sebuah kesalahan fatal yang diambil oleh pemerintahan GW Bush. Masih terngiang di telinga saya, di saat mendampinginya berkunjung ke Ground Zero. Di sanalah pertama kali Bush mendeklarasikan: “they will hear us” (mereka akan mendengar kita). Teman saya membisikkan ketika itu: “ it’s a war declaration” (itu pengumuman perang). 

Banyak yang ribut dengan keluarnya Amerika dari Afghanistan. Padahal yang harusnya diributkan selama ini Kenapa Amerika menduduki negara lain atas nama memerangi terorisme? Toh sekali lagi sejarah telah membuktikan bahwa Amerika gagal menangkap/membunuh Osama bin Laden di Afghanistan. Justeru Osama terbunuh di negeri Ali Jinnah (Pakistan) belakangan. 

Afghanistan memang negara yang unik. Pada tataran tertentu menjadikan kita, atau saya pribadi, berdecak kagum. Negara itu kaya secara alam. Juga letaknya yang strategis, selain menghubungkan negara-negara Asia Tengah dan Asia Selatan, juga dikelilingi oleh negara-negara besar dan berpengaruh seperti Iran, India, Pakistan dan China. 

Tapi kehebatan Afghanistan Sesungguhnya ada pada bangsanya. Bangsa ini dalam sejarahnya telah membuktikan mampu menaklukkan penjajah-penjajah dari kalangan bangsa-bangsa kuat dunia. Dari Inggris, Uni Soviet, dan kini Amerika. Sebagai mahasiswa IIU Pakistan di akhir tahun 80-an (88-95), saya tahu betul panasnya jihad dan ruh mujahidin di bumi Afghanistan ketika itu. 

Sekitar Agustus 1992 itulah masa ketika Uni Soviet harus angkat kaki dari Afghanistan. Ada euphoria yang sangat tinggi di kalangan Umat Islam saat itu. Berbagai mimpi (atau slogan) tumbuh. Salah satunya: “dari Kabul ke Jerusalem”. Slogan “Khaebar Khaebar ya Yahuud. Jaesyu Muhammad saofa ya’uud” terdengar di mana-mana.

Tapi akhirnya apa yang terjadi? Darah anak-anak Afghanistan terus tertumpah di negeri itu. Jika darah di masa sebelumnya segar harum mengalir di bumi jihad itu, beralih menjadi darah yang berbau amis. Hal itu karena yang terjadi belakangan adalah peperangan antar kabilah. Masing-masing kabilah ingin pemimpinnya yang menjadi jagoan. Dari Sayyaf, ke Rabbani, Mujaddidi, hingga ke Hikmatyar dan seterusnya.

Afghanistan pun tidak pernah pulih dari luka-luka lama akibat peperangan panjang. Pembunuhan dan saling membunuh, kerap juga atas nama membela agama dan kemuliaan seolah menjadi biasa. Kekuasaan juga silih berganti dari Sayyaf, Rabbani, Mujaddidi, hingga ke Hikmatyar, dan lain-lain berlalu tanpa ada dampak positif bagi kehidupan orang-orang Afghan. 

Bangsa Afghan memang bangsa yang hebat. Masih terbayang wajah anak-anak Afghan yang saya ajar di sekolah “Al-Hilal al-Ahmar As-Saudi” di pinggiran-pinggiran kampung Peshawar. Kerap di wajah mereka masih penuh dengan debu-debu bahkan tanah. Maklum rumah-rumah mereka hanya dari tanah liat, dan seringkali tanpa air untuk mandi. Air begitu mahal untuk sekedar minum dan masak. Tapi dengan semua kesulitan itu mereka hadir di kelas setiap hari dengan ceria dan senyuman. 

Hingga akhirnya dua dekade lalu, di saat pemerintahan dan kehidupan di Afghanistan mulai menggeliat. Tiba-tiba timbul lagi sebuah kelompok, konon dari sekolah-sekolah Islam (madrasah) di kawasan perbatasan antara Afghanistan dan Pakistan. Mereka mayoritasnya dari kalangan suku Pushtu yang berbahasa Pukhtun. Itu terjadi ketika yang pemerintahan Pakistan ada di bawah Presiden Musharraf yang sangat dekat dengan CIA. 

Kelompok Taliban (arti literalnya pelajar) itu tiba-tiba secara misterius menjadi sebuah kekuatan besar yang mampu menaklukkan beberapa propinsi Afghanistan. Intinya mereka membentuk pemerintahan tersendiri di luar dari pemerintahan Afghanistan yang berpusat di Kabul lbukota negara. 

Sementara itu Amerika terus merasa terancam dengan keberadaan Osama bin Laden di Afghanistan. Sosok yang dibesarkan oleh Amerika sendiri. Kini punya pengaruh besar di kalangan mereka yang kecewa dan marah dengan dominasi Amerika di dunia Islam, khususnya di Timur Tengah pasca perang Irak pertama. 

Karenanya dijadikannya kelompok Taliban ini dengan harapan untuk mengeliminir sosok Osama. Kenyataannya Taliban tidak merasa itu kewajiban dan juga tidak etis secara iman untuk menghabisi Saudara sendiri. Karenanya mereka justeru memberikan perlindungan kepada Bin Laden dan groupnya. 

Akhirnya Amerika berbalik menjadikan Taliban sebagai musuh, bahkan dengan segela kemampuannya, termasuk kekuatan media, menjadikan kelompok Taliban sebagai kelompok terroris. Taliban pun menjadi musuh yang harus dieliminir. Tapi Pakistan yang punya kepentingan dengan eksistensi Taliban setengah hati menjadi untuk menjadi kaki tangan Amerika menghabisi Taliban. Taliban di Afghanistan berhasil diruntuhkan di beberapa wilayah. Tapi mereka yang di Pakistan justeru membangun kekuatan. Tidak mengherankan belakangan justeru Bin Laden lebih nyaman tinggal di Pakistan. 

Sementara itu di Afghanistan pemerintahan yang terpilih harus sejalan dengan keinginan  Amerika. Mungkin dalam bahasa lain harus dari boneka-boneka Amerika. Hal ini menjadikan Taliban semakin termotivasi untuk mengambil alih kekuasaan di Afghanistan. Maka sepanjang dua dekade terakhir, Taliban kerap membuktikan eksistensinya tidak jarang dengan wajah yang buruk. Termasuk melalui ragam bunuh diri yang telah menelan banyak nyawa dari kalangan sipil. 

Dengan keputusan Amerika untuk meninggalkan Afghanistan, kini Taliban membuktikan bahwa mereka eksis. Bukan saja eksis. Tapi memiliki kekuatan dan ada di hati sebagian besar rakyat Afghanistan. Kalau tidak memiliki kekuatan dan tidak ada di hati mayoritas rakyat Afghanistan tentu pemerintahan Kabul tidak secepat itu terjatuh. 

Amerika sendiri sesungguhnya telah lama ingin keluar dari Afghanistan. Hanya saja memang selama ini harus mencari cara untuk menutup muka agar “shamefulness” (rasa malu) itu dapat tertutupi. Hingga naiklah seorang Presiden yang tidak peduli. Selain karena memang tidak ada rasa malu, juga karena berotak hitung-hitung ekonomi. Tidak memiliki kalkulasi-kalkulasi pengaruh politik dan dominasi global. Itulah kelebihan dan sisi positifnya Donald Trump. Dialah yang mengeksekusi persetujuan dengan Taliban untuk meninggalkan Afghanistan melalui perjanjian Doha di Qatar.   

Presiden Biden yang kini harus menanggung serangan kritikan, khususnya dari kalangan Republikan, hanya melaksanakan hasil persetujuan pemerintahan Trump dan Taliban. Biden tentunya tidak mengatakan jika keputusannya menarik tentara US dari Afganistan itu sekedar melaksanakan keputusan pendahulunya. Agar nampak tegas Biden mengatakan “this the right decision for America” (ini keputusan yang benar untuk Amerika). 

Apapun itu kini Taliban telah sepenuhnya menguasai Afghanistan. Media dan banyak pihak pun tidak berhenti menggonggong, menampilkan aspek-aspek kekurangan atau dipaksakan dinampakan sebagai ancaman. Kekacauan bandara Kabul misalnya ditampilkan berkali-kali seolah mewakili wajah negeri. Padahal pasukan Taliban masuk Afghan tanpa pertumpahan darah. Kenapa dunia tidak membuka mata dengan realita ini? 

Tidak mudah memang bagi Taliban ke depan. Selain telah terlanjur terbangun narasi yang buruk, termasuk perlakuan yang tidak baik kepada wanita, dan lain-lain, juga dibangun narasi jika Taliban itu “violent group” (kelompok yang senang melakukan kekerasan). Narasi atau persepsi yang dibangun ini Sesungguhnya terbantah dengan realita kemenangannya tanpa pertumpahan darah. 

Di saat-saat seperti inilah saya menantang kejujuran dunia internasional, termasuk Amerika, dalam menjunjung  demokrasi di mana saja. Senang atau tidak, merasa mendapat manfaat atau tidak, Taliban adalah pemenang pertarungan di Afghanistan. Pertarungan yang sejatinya diapresiasi karena tidak terjadi secara destruktif yang berlebihan.

Kenapa dunia tidak memberikan ruang kepada Taliban dan bangsa Afghanistan untuk membuktikan jika mereka mampu mengelolah negara mereka sendiri? Bahwa mereka punya paham dan jalan tersendiri dalam pengelolahan itu, kenapa negara-negara lain harus peduli dan ribut karenanya? 

Masalah penafsiran dan pemahaman agama itu masalah domestik yang akan mengalami dinamika dan transformasi tersendiri. Jika selama ini ada pemahaman atau penafsiran agama yang kita tidka setujui, termasuk dalam hal pendidikan wanita, hal itu mungkin karena sekedar ekspresi resistensi dengan tendensi sosial yang dilihat sebagai titipan orang luar (baca Barat). 

Boleh juga karena memang latar pendidikan mereka yang perlu diarahkan ke arah yang lebih baik. Di Amerika sendiri ada kelompok-kelompok agama yang tendensinya “talibanisme”. Yang parah kemudian jika pemahaman agama ini didukung oleh kepentingan politik. Apalagi jika pemahaman atau sentimen agama itu terpakai sebagai alat resistensi kepada kekuatan luar (Amerika dan Barat). 

Karenanya Amerika dan dunia internasional harus jujur dengan nilai demokrasi yang dijunjungnya. Berikan hak kepada Taliban dan bangsa Afghanistan untuk bekerja dengan baik dan maksimal. Siapa tahu di bawah pemerintahan Taliban Afghanistan akan lebih baik dibanding pemerintahan boneka yang selama ini terbentuk. 

Pada akhirnya saya berharap bahkan yakin bahwa negara Islam terbesar dunia Indonesia, diharapkan memainkan perananan untuk menjembatani berbagai kesalah pahaman yang ada. Di satu siai saya yakin Indonesia tidak punya banyak kepentingan di Afghanistan. Di sisi lain Taliban melihat Indonesia sebagai negara netral secara politik. Sekaligus sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia. 

Karenanya perananan Indonesia akan banyak membantu menetralisir keadaan dan cara pandang dari berbagai kutub yang bertolak belakang. Dari yang melihat Taliban sebagai ancaman. Tapi sekaligus menetralisir cara pandang Taliban kepada mereka yang berbeda paham. 

Saya yakin jika  keterlibatan Indonesia m akan mampu mempengaruhi cara pandang atau Wawasan Taliban tentang dunia. Baik pada aspek politik dan agama. Dengan demikian Taliban bisa kembali merajut paham dan karakter politik dan agamanya rajutan moderasi. Mungkin rajutan ala Indonesia yang tetap negara Muslim yang besar. Tapi juga mampu merangkul pihak-pihak yang lain dan hidup dalam satu rumah dengan rukun dan damai.

Semoga Indonesia bisa mengambil ini sebagai momentum yang baik dan memainkan salah satu peranan signifikannya di dunia global. Dunia akan mengapresiasi jika Indonesia mampu tampil menjadi jembatan yang kokoh dan indah di antara aspirasi Taliban dan kekhawatiran dunia. Insya Allah! 

New York, 18 Agustus 2021 

* Presiden Nusantara Foundation

Taliban di antara aspirasi dan kekhawatiran dunia

Taliban di antara aspirasi dan kekhawatiran dunia
Shamsi Ali* 

Terlepas dari kicauan dan gonggongan yang terkadang memuakkan dari media dunia, khususnya Barat, keluarnya Amerika dari Afghanistan adalah sesuatu yang perlu diapresiasi. Minimal keputusan itu merupakan “bisikan nurani” mengakui salah satu kesalahan negara adi daya ini dari masa ke masa. Sejak Vietnam, Irak, hingga ke Afghanistan, semuanya telah menjadi kesalahan dan dosa sejarah yang memalukan. 

Invasi Amerika di Afghanistan 20 tahun lalu itu sebuah kesalahan fatal yang diambil oleh pemerintahan GW Bush. Masih terngiang di telinga saya, di saat mendampinginya berkunjung ke Ground Zero. Di sanalah pertama kali Bush mendeklarasikan: “they will hear us” (mereka akan mendengar kita). Teman saya membisikkan ketika itu: “ it’s a war declaration” (itu pengumuman perang). 

Banyak yang ribut dengan keluarnya Amerika dari Afghanistan. Padahal yang harusnya diributkan selama ini Kenapa Amerika menduduki negara lain atas nama memerangi terorisme? Toh sekali lagi sejarah telah membuktikan bahwa Amerika gagal menangkap/membunuh Osama bin Laden di Afghanistan. Justeru Osama terbunuh di negeri Ali Jinnah (Pakistan) belakangan. 

Afghanistan memang negara yang unik. Pada tataran tertentu menjadikan kita, atau saya pribadi, berdecak kagum. Negara itu kaya secara alam. Juga letaknya yang strategis, selain menghubungkan negara-negara Asia Tengah dan Asia Selatan, juga dikelilingi oleh negara-negara besar dan berpengaruh seperti Iran, India, Pakistan dan China. 

Tapi kehebatan Afghanistan Sesungguhnya ada pada bangsanya. Bangsa ini dalam sejarahnya telah membuktikan mampu menaklukkan penjajah-penjajah dari kalangan bangsa-bangsa kuat dunia. Dari Inggris, Uni Soviet, dan kini Amerika. Sebagai mahasiswa IIU Pakistan di akhir tahun 80-an (88-95), saya tahu betul panasnya jihad dan ruh mujahidin di bumi Afghanistan ketika itu. 

Sekitar Agustus 1992 itulah masa ketika Uni Soviet harus angkat kaki dari Afghanistan. Ada euphoria yang sangat tinggi di kalangan Umat Islam saat itu. Berbagai mimpi (atau slogan) tumbuh. Salah satunya: “dari Kabul ke Jerusalem”. Slogan “Khaebar Khaebar ya Yahuud. Jaesyu Muhammad saofa ya’uud” terdengar di mana-mana.

Tapi akhirnya apa yang terjadi? Darah anak-anak Afghanistan terus tertumpah di negeri itu. Jika darah di masa sebelumnya segar harum mengalir di bumi jihad itu, beralih menjadi darah yang berbau amis. Hal itu karena yang terjadi belakangan adalah peperangan antar kabilah. Masing-masing kabilah ingin pemimpinnya yang menjadi jagoan. Dari Sayyaf, ke Rabbani, Mujaddidi, hingga ke Hikmatyar dan seterusnya.

Afghanistan pun tidak pernah pulih dari luka-luka lama akibat peperangan panjang. Pembunuhan dan saling membunuh, kerap juga atas nama membela agama dan kemuliaan seolah menjadi biasa. Kekuasaan juga silih berganti dari Sayyaf, Rabbani, Mujaddidi, hingga ke Hikmatyar, dan lain-lain berlalu tanpa ada dampak positif bagi kehidupan orang-orang Afghan. 

Bangsa Afghan memang bangsa yang hebat. Masih terbayang wajah anak-anak Afghan yang saya ajar di sekolah “Al-Hilal al-Ahmar As-Saudi” di pinggiran-pinggiran kampung Peshawar. Kerap di wajah mereka masih penuh dengan debu-debu bahkan tanah. Maklum rumah-rumah mereka hanya dari tanah liat, dan seringkali tanpa air untuk mandi. Air begitu mahal untuk sekedar minum dan masak. Tapi dengan semua kesulitan itu mereka hadir di kelas setiap hari dengan ceria dan senyuman. 

Hingga akhirnya dua dekade lalu, di saat pemerintahan dan kehidupan di Afghanistan mulai menggeliat. Tiba-tiba timbul lagi sebuah kelompok, konon dari sekolah-sekolah Islam (madrasah) di kawasan perbatasan antara Afghanistan dan Pakistan. Mereka mayoritasnya dari kalangan suku Pushtu yang berbahasa Pukhtun. Itu terjadi ketika yang pemerintahan Pakistan ada di bawah Presiden Musharraf yang sangat dekat dengan CIA. 

Kelompok Taliban (arti literalnya pelajar) itu tiba-tiba secara misterius menjadi sebuah kekuatan besar yang mampu menaklukkan beberapa propinsi Afghanistan. Intinya mereka membentuk pemerintahan tersendiri di luar dari pemerintahan Afghanistan yang berpusat di Kabul lbukota negara. 

Sementara itu Amerika terus merasa terancam dengan keberadaan Osama bin Laden di Afghanistan. Sosok yang dibesarkan oleh Amerika sendiri. Kini punya pengaruh besar di kalangan mereka yang kecewa dan marah dengan dominasi Amerika di dunia Islam, khususnya di Timur Tengah pasca perang Irak pertama. 

Karenanya dijadikannya kelompok Taliban ini dengan harapan untuk mengeliminir sosok Osama. Kenyataannya Taliban tidak merasa itu kewajiban dan juga tidak etis secara iman untuk menghabisi Saudara sendiri. Karenanya mereka justeru memberikan perlindungan kepada Bin Laden dan groupnya. 

Akhirnya Amerika berbalik menjadikan Taliban sebagai musuh, bahkan dengan segela kemampuannya, termasuk kekuatan media, menjadikan kelompok Taliban sebagai kelompok terroris. Taliban pun menjadi musuh yang harus dieliminir. Tapi Pakistan yang punya kepentingan dengan eksistensi Taliban setengah hati menjadi untuk menjadi kaki tangan Amerika menghabisi Taliban. Taliban di Afghanistan berhasil diruntuhkan di beberapa wilayah. Tapi mereka yang di Pakistan justeru membangun kekuatan. Tidak mengherankan belakangan justeru Bin Laden lebih nyaman tinggal di Pakistan. 

Sementara itu di Afghanistan pemerintahan yang terpilih harus sejalan dengan keinginan  Amerika. Mungkin dalam bahasa lain harus dari boneka-boneka Amerika. Hal ini menjadikan Taliban semakin termotivasi untuk mengambil alih kekuasaan di Afghanistan. Maka sepanjang dua dekade terakhir, Taliban kerap membuktikan eksistensinya tidak jarang dengan wajah yang buruk. Termasuk melalui ragam bunuh diri yang telah menelan banyak nyawa dari kalangan sipil. 

Dengan keputusan Amerika untuk meninggalkan Afghanistan, kini Taliban membuktikan bahwa mereka eksis. Bukan saja eksis. Tapi memiliki kekuatan dan ada di hati sebagian besar rakyat Afghanistan. Kalau tidak memiliki kekuatan dan tidak ada di hati mayoritas rakyat Afghanistan tentu pemerintahan Kabul tidak secepat itu terjatuh. 

Amerika sendiri sesungguhnya telah lama ingin keluar dari Afghanistan. Hanya saja memang selama ini harus mencari cara untuk menutup muka agar “shamefulness” (rasa malu) itu dapat tertutupi. Hingga naiklah seorang Presiden yang tidak peduli. Selain karena memang tidak ada rasa malu, juga karena berotak hitung-hitung ekonomi. Tidak memiliki kalkulasi-kalkulasi pengaruh politik dan dominasi global. Itulah kelebihan dan sisi positifnya Donald Trump. Dialah yang mengeksekusi persetujuan dengan Taliban untuk meninggalkan Afghanistan melalui perjanjian Doha di Qatar.   

Presiden Biden yang kini harus menanggung serangan kritikan, khususnya dari kalangan Republikan, hanya melaksanakan hasil persetujuan pemerintahan Trump dan Taliban. Biden tentunya tidak mengatakan jika keputusannya menarik tentara US dari Afganistan itu sekedar melaksanakan keputusan pendahulunya. Agar nampak tegas Biden mengatakan “this the right decision for America” (ini keputusan yang benar untuk Amerika). 

Apapun itu kini Taliban telah sepenuhnya menguasai Afghanistan. Media dan banyak pihak pun tidak berhenti menggonggong, menampilkan aspek-aspek kekurangan atau dipaksakan dinampakan sebagai ancaman. Kekacauan bandara Kabul misalnya ditampilkan berkali-kali seolah mewakili wajah negeri. Padahal pasukan Taliban masuk Afghan tanpa pertumpahan darah. Kenapa dunia tidak membuka mata dengan realita ini? 

Tidak mudah memang bagi Taliban ke depan. Selain telah terlanjur terbangun narasi yang buruk, termasuk perlakuan yang tidak baik kepada wanita, dan lain-lain, juga dibangun narasi jika Taliban itu “violent group” (kelompok yang senang melakukan kekerasan). Narasi atau persepsi yang dibangun ini Sesungguhnya terbantah dengan realita kemenangannya tanpa pertumpahan darah. 

Di saat-saat seperti inilah saya menantang kejujuran dunia internasional, termasuk Amerika, dalam menjunjung  demokrasi di mana saja. Senang atau tidak, merasa mendapat manfaat atau tidak, Taliban adalah pemenang pertarungan di Afghanistan. Pertarungan yang sejatinya diapresiasi karena tidak terjadi secara destruktif yang berlebihan.

Kenapa dunia tidak memberikan ruang kepada Taliban dan bangsa Afghanistan untuk membuktikan jika mereka mampu mengelolah negara mereka sendiri? Bahwa mereka punya paham dan jalan tersendiri dalam pengelolahan itu, kenapa negara-negara lain harus peduli dan ribut karenanya? 

Masalah penafsiran dan pemahaman agama itu masalah domestik yang akan mengalami dinamika dan transformasi tersendiri. Jika selama ini ada pemahaman atau penafsiran agama yang kita tidka setujui, termasuk dalam hal pendidikan wanita, hal itu mungkin karena sekedar ekspresi resistensi dengan tendensi sosial yang dilihat sebagai titipan orang luar (baca Barat). 

Boleh juga karena memang latar pendidikan mereka yang perlu diarahkan ke arah yang lebih baik. Di Amerika sendiri ada kelompok-kelompok agama yang tendensinya “talibanisme”. Yang parah kemudian jika pemahaman agama ini didukung oleh kepentingan politik. Apalagi jika pemahaman atau sentimen agama itu terpakai sebagai alat resistensi kepada kekuatan luar (Amerika dan Barat). 

Karenanya Amerika dan dunia internasional harus jujur dengan nilai demokrasi yang dijunjungnya. Berikan hak kepada Taliban dan bangsa Afghanistan untuk bekerja dengan baik dan maksimal. Siapa tahu di bawah pemerintahan Taliban Afghanistan akan lebih baik dibanding pemerintahan boneka yang selama ini terbentuk. 

Pada akhirnya saya berharap bahkan yakin bahwa negara Islam terbesar dunia Indonesia, diharapkan memainkan perananan untuk menjembatani berbagai kesalah pahaman yang ada. Di satu siai saya yakin Indonesia tidak punya banyak kepentingan di Afghanistan. Di sisi lain Taliban melihat Indonesia sebagai negara netral secara politik. Sekaligus sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia. 

Karenanya perananan Indonesia akan banyak membantu menetralisir keadaan dan cara pandang dari berbagai kutub yang bertolak belakang. Dari yang melihat Taliban sebagai ancaman. Tapi sekaligus menetralisir cara pandang Taliban kepada mereka yang berbeda paham. 

Saya yakin jika  keterlibatan Indonesia m akan mampu mempengaruhi cara pandang atau Wawasan Taliban tentang dunia. Baik pada aspek politik dan agama. Dengan demikian Taliban bisa kembali merajut paham dan karakter politik dan agamanya rajutan moderasi. Mungkin rajutan ala Indonesia yang tetap negara Muslim yang besar. Tapi juga mampu merangkul pihak-pihak yang lain dan hidup dalam satu rumah dengan rukun dan damai.

Semoga Indonesia bisa mengambil ini sebagai momentum yang baik dan memainkan salah satu peranan signifikannya di dunia global. Dunia akan mengapresiasi jika Indonesia mampu tampil menjadi jembatan yang kokoh dan indah di antara aspirasi Taliban dan kekhawatiran dunia. Insya Allah! 

New York, 18 Agustus 2021 

* Presiden Nusantara Foundation

Sunday 15 August 2021

Baru 76 Tahun, Sebuah Refleksi

Oleh Muhammad Wildan

Penulis adalah Pemred Sentranews.id

Sudah 76 tahun Indonesia merdeka, adalah sebuah pernyataan yang sekilas terdengar normal, namun terkesan pasif dan pesimis. Memang 76 tahun sudah, sejak teks proklamasi dibacakan oleh Ir. Sukarno di kediamannya, rumah milik Faradj Martak, seorang saudagar keturunan Arab di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta (sekarang Tugu Proklamasi). Kemerdekaan yang kita proklamirkan setelah berjuang sebagai sebuah nation selama 17 tahun, kurang 2 bulan dan 11 hari sejak Sumpah Pemuda diikrarkan.

Kemerdekaan yang oleh Ir. Sukarno disebut jembatan emas -sebuah simbolisasi momentum- yang ia yakini dapat mengantarkan kita ke seberang sana, yaitu kehidupan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Cita-cita kemerdekaan yang hingga kini terasa memang masih di sana, belum di sini. Sejarah perjuangan kemerdekaan sebenarnya belum berakhir dan masih terus bergulir. Kita telah menyeberangi jembatan emas itu, kita memang sudah di seberang, namun kemerdekaan yang 100 persen belum juga tergapai. Kemerdekaan sepertinya lebih merupakan sebuah proses yang tidak akan pernah mencapai 100 persen.  Sehebat apapun generasi, kita pasti akan berhenti di titik 99,99 persen, karena kemerdekaan sempurna hanya akan ada di surga.

Sudah 76 tahun merdeka, namun cita-cita kemerdekaan seolah kian menjauh, rakyat Indonesia yang adil dan makmur terasa kian utopis, nada-nada pesimis terdengar melantun dalam rintihan anak negeri. Republik yang rakyat dirikan sebagi wujud kemerdekaan ibarat pagar makan tanaman. Utang yang menumpuk, kesenjangan yang melebar, hingga pengangguran yang meluas serta tumpulnya penegakan hukum adalah gambaran keseharian yang kita lihat di media massa. Sementara para elit sibuk menawarkan jasanya untuk digerayangi bergantian oleh kaum oligark, pemerintah serupa penjaga loket yang sibuk menjual karcis terusan lomba eksploitasi.

Sederet kenyataan tersebut seperti memaksa kita untuk berhenti berharap, jika tidak berhenti percaya pada keterangan penguasa. Angka-angka statistik dan realitas kehidupan masyarakat tampak sudah sangat pesimistik. Kita tentu tetap percaya kepada negara, Republik Indonesia adalah karya intelektual para pendiri bangsa yang harus terus kita percayai. Kita hanya meragukan kemampuan pemerintah dalam mengelola keragaman Indonesia. Biodiversitas kebangsaan kita yang merupakan karya ilahiah membutuhkan kepemimpinan yang cerdas dan mengerti, sebelum segala keragaman tersebut berubah menjadi kutukan.

Kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah realitas ontologis kini mulai digugat, ujaran-ujaran bernada pesimis setiap hari kita dengar, pertanyaan dan pernyataan ahistoris seperti; apakah kita sudah merdeka? Menjadi lazim di telinga, baik dari masyarakat umum, terlebih dari kalangan akademis. Bangsa Indonesia seharusnya wajib mengimani Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 sebagai sebuah fakta sejarah. Otentisitas peristiwa tersebut tidak boleh diragukan, meski substansi dan cita-cita kemerdekaan masih belum terwujud. Keterpurukan harus dipandang sebagai jalan menuju perbaikan. Sebagaimana hukum impuls-momentum, berbagai kemunduran saat ini adalah pijakan menuju kemajuan.

Sebagai realitas ontologis, kemerdekaan Indonesia memang belum sempurna mewujud. Butuh berlapis episteme untuk mewujudkannya. Preambule UUD’45 memberi gambaran bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia, disusun dalam suatu susunan undang-undang dasar negara Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dan berdasar kepada pancasila. Sebuah visi yang tentu akan terus kita capai secara epistemologis. Salah satu langkah epistemologis yang seharusnya terlebih dahulu kita kerjakan sebelum menuju pada diskursus berikutnya adalah rekonstruksi sejarah.

Kita tentu menyadari bahwa ilmu pengetahuan dibangun di atas data. Semakin valid sebuah data, maka informasi dan pengetahuan yang lahir akan semakin reliable. Demikian pula dengan sejarah kemerdekaan Bangsa Indonesia, yang selama ini kita peringati sebagai HUT-RI meskipun cacat secara epistemologis. Menggunakan data 17 Agustus sebagai peringatan hari kelahiran Republik Indonesia akan menghasilkan error informasi dan pengetahuan (knowledge). Semua data sejarah menunjukkan bahwa pada hari 17 Agustus 1945, Republik Indonesia masih berupa rancangan, belum exist,  dimana Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta belum menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Baru melalui Aturan Peralihan pasal III yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 oleh PPKI, maka diangkatlah Dwitunggal menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk pertama kalinya.

Memperingati hari 17 Agustus, yang merupakan Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dengan merubahnya menjadi Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT-RI), sejurus waktu memang tampak remeh, tidak ada yang penting untuk dipersoalkan. Namun bagi mereka yang mengerti tentang fungsi semiotika serta makna dari setiap kata dan simbol, kesalahan tersebut menjadi fatal. Karena akan berdampak kepada filosofi, sistem ketatanegaraan dan kehidupan sosiologis kita.

Rekonstruksi sejarah menjadi penting dilakukan, agar kita tidak hanya merdeka secara ontologis, namun juga secara epistemologis. Tanpa rekonstruksi, Bangsa Indonesia akan terus merayakan penggelapan sejarah. Kita berharap kesalahan semacam ini segera dikoreksi agar proses epistemologis bangsa Indonesia bertumbuh ke arah yang benar. Optimisme harus terus kita pupuk secara kritis, pernyataan “kita sudah 76 tahun merdeka” harus kita revisi menjadi “kita baru 76 tahun merdeka”, sebuah pernyataan yang lebih energik dan optimistik. Semoga semangat proklamasi senantiasa membara dan mengasapi jiwa dan pikiran kita, dalam upaya menjaga kesinambungan kehidupan tanah air dan Bangsa Indonesia. 76 tahun adalah usia yang tua bagi manusia, namun masih belia bagi sebuah peradaban.

Merdeka!

Monday 5 July 2021

Covid adalah Perang Biologis

Hampir setahun Indonesia mengalami pandemi. Di awal kemunculannya pandemi disepelekan bahkan masyarakat Indonesia sudah terbiasa hidup berdampingan dengan bakteri dan virus. Seperti kata menteri kesehatan yang mengatakan akan sembuh dengan sendirinya. Namun di luar dugaan virus ini tidak bisa hilang bahkan mengganas. Penyebarannya begitu cepat dampak yang ditimbulkannya begitu besar. Dana triliunan di keluarkan baik untuk pengobatan maupun subsidi dan bantuan. Namun tampaknya belum juga selesai pandemi ini. Saat per tanggal 5 Juli 2021 total terkonfirmasi covid 2.313.829. ini bukan main main, ini adalah perang yang harus di lawan bersama, rangkul oramas, datangi masyarakat beri pemahaman bahaya covid, datangi masyarakat untuk percepatan vaksinasi, cetak uang untuk beri bantuan tunai atau buat program padat karya, suntik dana perusahaan yang memiliki dampak bagi masyarakat umum. Melawan Covid tidak bisa di lakukan dengan biasa biasa aja tapi langka yang luar biasa di butuhkan.