Sunday 15 August 2021

Baru 76 Tahun, Sebuah Refleksi

Oleh Muhammad Wildan

Penulis adalah Pemred Sentranews.id

Sudah 76 tahun Indonesia merdeka, adalah sebuah pernyataan yang sekilas terdengar normal, namun terkesan pasif dan pesimis. Memang 76 tahun sudah, sejak teks proklamasi dibacakan oleh Ir. Sukarno di kediamannya, rumah milik Faradj Martak, seorang saudagar keturunan Arab di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta (sekarang Tugu Proklamasi). Kemerdekaan yang kita proklamirkan setelah berjuang sebagai sebuah nation selama 17 tahun, kurang 2 bulan dan 11 hari sejak Sumpah Pemuda diikrarkan.

Kemerdekaan yang oleh Ir. Sukarno disebut jembatan emas -sebuah simbolisasi momentum- yang ia yakini dapat mengantarkan kita ke seberang sana, yaitu kehidupan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Cita-cita kemerdekaan yang hingga kini terasa memang masih di sana, belum di sini. Sejarah perjuangan kemerdekaan sebenarnya belum berakhir dan masih terus bergulir. Kita telah menyeberangi jembatan emas itu, kita memang sudah di seberang, namun kemerdekaan yang 100 persen belum juga tergapai. Kemerdekaan sepertinya lebih merupakan sebuah proses yang tidak akan pernah mencapai 100 persen.  Sehebat apapun generasi, kita pasti akan berhenti di titik 99,99 persen, karena kemerdekaan sempurna hanya akan ada di surga.

Sudah 76 tahun merdeka, namun cita-cita kemerdekaan seolah kian menjauh, rakyat Indonesia yang adil dan makmur terasa kian utopis, nada-nada pesimis terdengar melantun dalam rintihan anak negeri. Republik yang rakyat dirikan sebagi wujud kemerdekaan ibarat pagar makan tanaman. Utang yang menumpuk, kesenjangan yang melebar, hingga pengangguran yang meluas serta tumpulnya penegakan hukum adalah gambaran keseharian yang kita lihat di media massa. Sementara para elit sibuk menawarkan jasanya untuk digerayangi bergantian oleh kaum oligark, pemerintah serupa penjaga loket yang sibuk menjual karcis terusan lomba eksploitasi.

Sederet kenyataan tersebut seperti memaksa kita untuk berhenti berharap, jika tidak berhenti percaya pada keterangan penguasa. Angka-angka statistik dan realitas kehidupan masyarakat tampak sudah sangat pesimistik. Kita tentu tetap percaya kepada negara, Republik Indonesia adalah karya intelektual para pendiri bangsa yang harus terus kita percayai. Kita hanya meragukan kemampuan pemerintah dalam mengelola keragaman Indonesia. Biodiversitas kebangsaan kita yang merupakan karya ilahiah membutuhkan kepemimpinan yang cerdas dan mengerti, sebelum segala keragaman tersebut berubah menjadi kutukan.

Kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah realitas ontologis kini mulai digugat, ujaran-ujaran bernada pesimis setiap hari kita dengar, pertanyaan dan pernyataan ahistoris seperti; apakah kita sudah merdeka? Menjadi lazim di telinga, baik dari masyarakat umum, terlebih dari kalangan akademis. Bangsa Indonesia seharusnya wajib mengimani Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 sebagai sebuah fakta sejarah. Otentisitas peristiwa tersebut tidak boleh diragukan, meski substansi dan cita-cita kemerdekaan masih belum terwujud. Keterpurukan harus dipandang sebagai jalan menuju perbaikan. Sebagaimana hukum impuls-momentum, berbagai kemunduran saat ini adalah pijakan menuju kemajuan.

Sebagai realitas ontologis, kemerdekaan Indonesia memang belum sempurna mewujud. Butuh berlapis episteme untuk mewujudkannya. Preambule UUD’45 memberi gambaran bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia, disusun dalam suatu susunan undang-undang dasar negara Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dan berdasar kepada pancasila. Sebuah visi yang tentu akan terus kita capai secara epistemologis. Salah satu langkah epistemologis yang seharusnya terlebih dahulu kita kerjakan sebelum menuju pada diskursus berikutnya adalah rekonstruksi sejarah.

Kita tentu menyadari bahwa ilmu pengetahuan dibangun di atas data. Semakin valid sebuah data, maka informasi dan pengetahuan yang lahir akan semakin reliable. Demikian pula dengan sejarah kemerdekaan Bangsa Indonesia, yang selama ini kita peringati sebagai HUT-RI meskipun cacat secara epistemologis. Menggunakan data 17 Agustus sebagai peringatan hari kelahiran Republik Indonesia akan menghasilkan error informasi dan pengetahuan (knowledge). Semua data sejarah menunjukkan bahwa pada hari 17 Agustus 1945, Republik Indonesia masih berupa rancangan, belum exist,  dimana Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta belum menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Baru melalui Aturan Peralihan pasal III yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 oleh PPKI, maka diangkatlah Dwitunggal menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk pertama kalinya.

Memperingati hari 17 Agustus, yang merupakan Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dengan merubahnya menjadi Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT-RI), sejurus waktu memang tampak remeh, tidak ada yang penting untuk dipersoalkan. Namun bagi mereka yang mengerti tentang fungsi semiotika serta makna dari setiap kata dan simbol, kesalahan tersebut menjadi fatal. Karena akan berdampak kepada filosofi, sistem ketatanegaraan dan kehidupan sosiologis kita.

Rekonstruksi sejarah menjadi penting dilakukan, agar kita tidak hanya merdeka secara ontologis, namun juga secara epistemologis. Tanpa rekonstruksi, Bangsa Indonesia akan terus merayakan penggelapan sejarah. Kita berharap kesalahan semacam ini segera dikoreksi agar proses epistemologis bangsa Indonesia bertumbuh ke arah yang benar. Optimisme harus terus kita pupuk secara kritis, pernyataan “kita sudah 76 tahun merdeka” harus kita revisi menjadi “kita baru 76 tahun merdeka”, sebuah pernyataan yang lebih energik dan optimistik. Semoga semangat proklamasi senantiasa membara dan mengasapi jiwa dan pikiran kita, dalam upaya menjaga kesinambungan kehidupan tanah air dan Bangsa Indonesia. 76 tahun adalah usia yang tua bagi manusia, namun masih belia bagi sebuah peradaban.

Merdeka!

No comments:

Post a Comment