DI MANAKAH TINJUMU ? DI
MANAKAH KEKUATAN YANG MENGHANCURKAN SEGALA HAL YANG MELAWAN? OK Gelijk de grote
ocectan doordrongen is van het, zout, zo is mijn leer doordrenkt van de geest
der bevrijding.
Huila Vagga
Dalam “Suluh Indonesia
Muda” nomor tiga, maka Ir. J. ada membentangkan pendapat-pendapatnya tentang
problim a g r a r i a, yakni
soal bagaimana kita bisa menolong rakyat tanah Jawa dari kemelaratan yang
bertambah-tambah haibatnya itu, dan yang terjadi oleh karena makin lama makin
banyaklah jumlah rakyat yang memakan hasilnya tanah Jawa itu.
Bertambah-tambahnya penduduk itu adalah terjadi oleh karena jumlah orang
meninggal dunia saban tahunnya ada lebih kecil daripada jumlah orang yang
dilahirkan; dan oleh sebab bertambahnya rakyat ini tidak diikuti oleh tambahnya
hasilnya bumi yang sepadan, maka niscayalah makin lama makin kecil sahaja
bagian masing-masing orang dalam pembagian rezeki tanah Jawa itu. Adapun
banyaklah obat untuk mencegah kerasnya penyakit ini: kita bisa menambah luasnya
tanah yang dipakai untuk sawah atau tegalan; kita bisa memperbaiki cara
pertanian, sehingga hasil sebahu-bahunya bisa bertambah; kita bisa mengadakan
kepabrikan (industri), di mana banyak orang bisa bekerja dan mendapat
penghidupan; atau kita bisa memindahkan sebagian rakyat tanah Jawa itu ke
lain-lain pulau Indonesia, misalnya Sumatera. Akan tetapi sukarlah semua obat
ini bisa tercapai dalam sebentar tempo. Menambah sawah atau tegalan tahadi;
mengadakan cara pertanian yang lebih menghasilkan; mengadakan kepabrikan;
memindahkan rakyat dengan beratus-ratus ribu kepulau lain, itu semuanya
bukanlah hal-hal yang bisa terjadi dalam sebentar tempo. Inilah sukarnya
problim agraris tahadi!
Adapun Ir. J. telah
menunjukkan pula obatnya: hendaklah katanya, kita menyokong modal-modal asing
di lain-lain pulau Indonesia itu dengan menyumbangkan berketi-keti kaum buruh
dari tanah Jawa, supaya mereka mendapat penghidupan; hendaklah, untuk hal itu
aturan poenale sanctie itu dihapuskan dan diganti dengan aturan kerja-merdeka!
Penyokongan pada modal asing itu adalah perlu, katanya, oleh karena, selainnya
menolong kemelaratan rakyat tanah Jawa itu, hal itu niscaya pula menolong
pulau-pulau tahadi: sebab suburnya modal asing itu niscayalah mendatangkan
kemakmuran, dan niscayalah mendatangkan jalan-jalan kereta-api, jalan-jalan
pelayaran dan lain-lain. Dan jikalau kita tidak mufakat akan “obat” ini,
jikalau kita tidak setuju akan penyokongan modal asing itu, maka Ir J menanya
pada kita: “Di manakah tinjumu? Di manakah kekuatan yang menghancurkan segala
hal yang melawan?”
Sebab katanya,
“kekuasaan modal itu a d a ; dan modal itu bertambah-tambah sahaja memperkuat
diri dengan air-penghidupan dari dalam dan dari luar, walaupun kita
mencegahnya”.
Begitulah pendiriannya
Ir. J.
Sebelum kita
menguraikan apa sebabnya kita tidak setuju dengan pendirian yang semacam itu,
maka berfaedahlah agaknya, jikalau kita lebih dahulu menyelidiki soal
“terlalu-banyaknya-rakyat”, yakni soal overbevolking tahadi.
Adapun soal
overbevolking itu, pada hakekatnya tidaklah tergantung dari berapa banyaknya
penduduk, dan tidaklah tergantung dari berapa sesaknya negeri di mana penduduk
itu berdiam. Soal overbevolking adalah soal rezeki; adalah soal yang mengajukan
pertanyaan atas cukup atau tidaknya makanan dalam negeri tahadi! Sebab,
tidakkah banyak negeri yang penuh sesak dengan penduduk, di mana, oleh
banyaknya rezeki, overbevolking itu tidak terasa? Tidakkah banyak pula negeri,
yang sedikit sekali penduduknya, di mana rakyatnya, karena kurangnya makanan,
sama pindah ke negeri lain? Kita mengetahui, bahwa, umpamanya dalam tahun 1910,
di negeri Jerman yang mempunyai penduduk
120 orang dalam tiap-tiap kilometer persegi, hanya 25.531 oranglah yang
meninggalkan negeri itu untuk mencari penghidupan di negeri lain; dan kita
mengetahui, bahwa dalam tahun 1910 itu juga, di negeri Oostenrijk-Hongaria,
yang penduduknya hanya 76 orang
sekilometer persegi, jumlah rakyat yang pindah ke lain negeri adalah
sampai 278.240, – yakni hampir sebelas kali jumlahnya orang yang keluar dari
negeri Jerman tahadi itu!
Bahwasanya: soal
“overbevolkt” atau tidaknya tanah Jawa itu, hanyalah tergantung dari cukup
atau tidaknya rezeki tanah Jawa itu pula: hanyalah ia tergantung dari
banyak-sedikitnya makanan; dan tidaklah ia tergantung dari jumlah penduduk
sekilometer-kilometer perseginya!
Betul jumlah rakyat
tanah Jawa itu makin lama makin tambah; betul tambahnya itu begitu cepat,
sehingga Dr. Bleeker dalam tahun 1863 berani mengatakan, bahwa jumlah rakyat
tanah Jawa itu dalam tiap-tiap 35 tahun akan menjadi lipat dua kali ganda
besarnya; betul dalam tiga puluh lima tahun antara 1865 dan 1900 teori Dr.
Bleeker itu ada cocok dengan keadaan yang sebenarnya; betul untuk tahun-tahun
yang belakangan ini, maka tempo menjadinya dua kali ganda itu oleh K e r k k a
m p masih ditetapkan atas 42 tahun; – pendek kata: betul tanah Jawa itu
rakyatnya c e p a t sekali bertambahnya; (walaupun teori-teori Bleeker dan
Kerkkamp itu dua-duanya tidak cocok buat selama-lamanya); dan betul tanah Jawa
itu kalau dibandingkan dengan negeri-negeri lain sudah sesak sekali, – akan
tetapi, apakah kiranya di tanah Jawa itu ada penyakit “overbevolking”, jikalau
cepat-naiknya jumlah rakyat itu diikuti oleh jumlah naiknya r e z e k i yang
sepadan? Dan apakah si-Jawa itu sampai menderita kelaparan, bilamana
persediaan makanan baginya ada cukup?
Memang, memang! Baik
sekalilah adanya, kalau sebagian rakyat Jawa itu bisa pindah ke Sumatera; baik
sekali kalau pindahan rakyat itu bisa lekas terjadi. Akan tetapi apakah yang
harus kita perbuat, kalau pemindahan rakyat itu tidak bisa terjadi dengan
sesungguh-sungguhnya sebagai sekarang ini; apakah yang harus kita ikhtiarkan
terhadap pada emigrasi ini, jikalau emigrasi itu sampai sekarang hanya
kecil-kecilan sahaja, dan tidak beratus-ratus ribu sebagai yang diinginkan oleh
Ir. J. itu?
Poenale Sanctie! Baik,
kitapun mengharap dan mendoa, moga-moga poenale sanctie itu lekas musna dari
dunia ini; kitapun mengerti, bahwa aturan-kerja sebagai budak-belian itu
mengurangkan nafsu rakyat tanah Jawa buat menyerahkan diri dalam tangannya
“werek”; kitapun mengerti, bahwa nafsu mencari kerja di lain pulau itu niscaya
menjadi lebih besar, jikalau poenale sanctie itu dihapuskan; – akan tetapi kita
tidak percaya, bahwa lenyapnya poenale sanctie itu sahaja akan bisa memindahkan
b e r a t u s-
r a t u s ribu kaum
buruh dari tanah Jawa tiap-tiap tahun, walaupun disokong oleh siapa juga, kita
tidak percaya, bahwa hapusnya poenale sanctie itu sahaja bisa menjadi obat yang
mustajab bagi penyakit “overbevolking” di tanah Jawa. Sebab emigrasi itu
tidaklah tergantung dari ada atau tidak adanya salah suatu aturan. Emigrasi
adalah suatu soal rezeki!
Karenanya, tidak
pertama-tama berhubung dengan harapan akan emigrasi inilah, maka kita ingin
akan lenjapnya poenale sanctie itu. Kita menuntut dicabutnya, ialah dengan
alasan-
alasan
rasa-kemanusiaan; kita menuntut hilangnya, ialah oleh karena aturan itu ada
aturan yang hina! Marilah kita melanjutkan penyelidikan kita tentang soal
overbevolking di tanah Jawa itu. Jikalau kita ingin mengerti betul-betul akan
soal itu, jikalau kita ingin mengerti dengan terang-benderang akan naik ‑
turunnya jumlah penduduk tanah Jawa itu, maka haruslah kita mengetahui pula
jalannya politik atau susunan ekonomi sediakala; haruslah kita mengenali
betul-betul segala keadaan yang berpengaruh atas soal tahadi itu. Sebab keadaan
jumlah penduduk dalam sesuatu negeri, adalah berhubungan rapat dengan aturan
politik dan susunan ekonomi di negeri itu pula.
Perhatikanlah
angka-angka di bawah ini:
Penduduk tanah Jawa
tiap-kilometer perseginya, ialah:
dalam
tahun 1810 181 29 djiwa
1830 54
22 ft 1850 72
ff
Ft 1860
96
ft
Ff 1870
124 ff
1880 150 If
21 1890
181
1900 218 22
$2 1905
226 If
Djadiberikut:
tamba h n j a penduduk tanah Djawa itu adalah Sebagai
1810 sampai 1830 …….. 86 % atau 4.3 % tiap-tahunnja
1830 22 1850
…….. 33 %
atau 1.65%
1850 2) 1860
…….. 33 %
atau 3.3 % 22
1860 1870
…….. 29 %
atau 2.9 %
1870 22 1880
…….. 21 %
atau 2.1 %
1880 1890
…….. 20.6 % atau 2.06% 2,
1890 f 1900
…….. 20.5 % atau 2.05%
1900 „ 1905
…….. 5 % atau 1 %
Bukankah dengan
angka-angka di atas ini tampak dengan seterang-terangnya perhubungan antara
tambahnya penduduk tiap-tahunnya dengan aturan politik atau susunan ekonomi?
Sebab, bukankah cepat n a i k n y a jumlah penduduk diantara 1810 dan 1830 itu
ialah terjadi oleh perobahan-perobahan yang diadakan oleh R a f f l e s, yang
politiknya ada “vrijzinnig” (bebas), jikalau dibandingkan dengan politiknya
orang Belanda pada masa itu, dan yang “membikin tempo pemerintahannya yang
pendek itu sebagai salah satu dari yang paling penting dalam seluruh riwayat
tanah Jawa”? Bukankah turunnya persentase antara 1830 dan 1850 itu ialah
terjadi
oleh kerasnya tindasan
cultuurstelsel, yang mulai 1830 diderita oleh rakyat tanah Jawa? Bukankah n a i
k n y a lagi persentase sesudah itu antara 1850 dan 1860 ialah terjadi dari
bangkrutnya politik cultuurstelsel dan mulainya perlawanan politik liberal
terhadap politik yang “kuno”, sedang mulai masa itu pula sebagian rakyat tanah
Jawa bisa sedikit-sedikit mencari penghidupan dalam onderneming-onderneming
dan lain-lain perusahaan? Dan bukankah turunnya lagi persentase sesudahnya
tahun 1860 itu ialah terjadi dari masuknya tanah Jawa dalam masa modern
kapitalistis? Sesudahnya tahun 1860, teristimewa sesudahnya tahun 1870, maka
menanglah sama sekali politiknya kaum burjuasi liberal dalam pertandingan
terhadap pada politiknya kaum kuno itu; dan sebagai angin penyakit yang makin
lama makin jahat, masuklah modal asing di tanah Jawa. Tindasannya
cultuurstelsel adalah diganti dengan gencetan modal asing; perasannya politik
“batig slot” diganti dengan isapannya politik “zoet dividend”; itulah sebabnya,
maka semenjak 1870 persentase tambahnya rakyat itu makin lama selalu makin
kecil sahaja adanya!
Tetapi, walaupun
tindasan dan perasan dan isapan yang sangat itu, walaupun selalu mundurnya
persentase tahadi, maka kekuatan-hidup atau vitaliteitnya rakyat tanah Jawa
adalah tak terhingga besarnya. Walaupun kesengsaraan yang dideritanya,
walaupun
“via dolorosa” yang
dijalaninya, maka masihlah besar sekali jumlah penduduk tanah Jawa di
tiap-tiap kilometer persegi jikalau dibandingkan dengan rakyat tani di
negeri-negeri asing: Hanya sedikitlah negeri-negeri di muka bumi ini, yang
mempunyai penduduk lebih dari 260 jiwa sekilometer perseginya sebagai tanah
Jawa itu!
Bukti atas perhubungan
antara tambahnya penduduk (bevolkingsaanwas) dengan aturan politik atau
susunan ekonomi
di atas ini, adalah
perlu sekali, oleh karena setengah orang mengira, bahwa, – oleh sebab menurut
pendapatnya overbevolking itu terjadinya hanya karena tambahnya penduduk yang
terlampau cepat itu sahaja -, penyakit itu bisa kita obati dengan mencegali
bevolkingsaanwas itu pula. Mereka mengira, bahwa bahaya overbevolking ini bisa
dicegahnya dengan memberi pendidikan
pada rakyat supaya
mengurangi nafsunya mengadakan turunan. Mereka tak mengerti, bahwa “obat” ini
mustahil bisa terjadi.
Tak mengerti, bahwa
pendidikan mencegah turunan ini akan hancur dan binasa berbentusan dengan
tabiatnya manusia; tak mengerti, bahwa jalan yang satu-satunya untuk mencegah
tambahnya penduduk itu ialah penindasan dan perasan sahaja, yang lebih sangat
dan lebih keras daripada tindasan dan perasan cultuurstelsel umpamanya!
Kembali lagi pada
penyelidikan kita: Di atas kita sudah menulis bahwa, kalau bisa, kita setuju
akan emigrasi yang secepat-cepatnya kelain pulau Indonesia. Tetapi kita tak
percaya, bahwa hapusnya poenale sanctie itu sahaja bisa menarik beratus-ratus
ribu manusia dari tanah Jawa, walaupun “akal” atau “sokongan” yang bagaimana
juga. Kita tidak percaya atasnya, oleh karena, sebagai yang sudah kita
terangkan di atas, emigrasi itu ialah suatu kejadian yang tergantung dari
rezeki. Artinya: Selama sesuatu rakyat dalam negerinya sendiri masih ada
“jalan” dalam pencahariannya rezeki, selama rakyat itu masih bisa mencari
“akal” di negerinya sendiri dalam urusan penghidupannya, – selama itu, maka,
walaupun “jalan” atau “akal” itu kiranya ada s u k a r dan s u s a h, tidaklah rakyat itu meninggalkan
negerinya untuk mencari penghidupan di negeri jauh. Selama rakyat tanah Jawa
masih ada “jalan” dan “akal” itu -, selama itu maka, walaupun keadaan
ekonominya sudah sengsara atau lehernya hampir tercekek sebagai keadaan sekarang
ini, jumlahnya emigran tentulah tetap kecil sahaja. Selama itu, maka, walaupun
kita berusaha
keras untuk emigrasi
itu, pastilah tetap kecil sahaja hasil segala usaha kita itu. Sebab begitulah
memang tabiatnya rakyat!
Riwayat emigrasi
mengajarkan pada kita, bahwa emigrasi itu hanyalah bisa terjadi dengan
sungguh-sungguh, jikalau segala sumber penghidupan di negeri sendiri memang
sudah tertutup
sama sekali adanya.
Akan tetapi, bilamana emigrasi itu sudah terjadi; bilamana pada sesuatu masa
beratus-ratus ribu atau berjuta-juta rakyat sudah sama meninggalkan negerinya
untuk mencari penghidupan di negeri lain, maka riwayat-dunia menunjukkan, bahwa
aliran rakyat-pindah itu pada suatu ketika berhenti pula. Sebab dalam pada itu,
negeri sendiri lalu berobah pula. Dalam
pada itu, negeri
sendiri lalu mengadakan perobahan dalam caranya mencari rezeki: mengadakan
perbaikan cara bertani, mengadakan perbaikan pertukangan (nijverheid); dan
mulailah dalam negeri sendiri itu timbul suatu kepabrikan (industri), yang
memberi kerja dan penghidupan pada bagian rakyat yang masih “lebih”, sehingga
“kelebihan” rakyat ini seolah-olah diisap lagi oleh pergaulan hidup di negeri
sendiri tahadi adanya. Kita mengambil pelajaran dari riwayat-dunia, bahwa semua
emigrasi itu terjadinya ialah dalam masa, yang mendahului suburnya cara
pencaharian rezeki atau suburnya kepabrikan dalam negeri dari rakyat yang
beremigrasi itu. Kita melihat emigrasi itu pada rakyat Inggeris pada masa
sebelum 1860, di mana industri Inggeris mulai menjadi besar. Kita melihat
pindahan-rakyat Jerman dan Perancis pada waktu sebelum 1880, di mana kepabrikan
Jerman dan Perancis mulai subur. Dan kita melihat bahwa timbulnya kepabrikan di
negeri Jepang itu ialah didahului oleh emigrasi juga adanya. Dan tidakkah transmigrasi
dari daerah Kedu itu makin lama makin kurang, sesudah rakyat Kedu dengan usaha
sendiri mengadakan cara pertanian yang lebih menghasilkan; tidakkah, semenjak
perbaikan cara pertanian ini diadakan, transmigrasi dari Kedu itu makin lama
makin berkurang, walaupun Kedu itu sesaknya penduduk dalam 1920 sudah sampai
497 jiwa rata-rata sekilo meter perseginya?
Pelajaran yang kita
ambil dari fatsal diatas ini ialah bahwa emigrasi itu tidak bisa terjadi
sesungguh-sungguhnya jikalau memang belum temponya. Kita melihat, bahwa di
negeri Inggeris, di negeri Jerman, di negeri Perancis, di negeri Jepang,
emigrasi itu ialah pendahuluannya masa kepabrikan, dan menjadi penolong
masa-kekurangan makan yang ada di muka masa kepabrikan itu. Tegasnya: emigrasi
itu ialah terikat oleh tempo ; emigrasi tidak bisa kita adakan dalam
sewaktu-waktu sahaja kalau memang belum musimnya, walaupun kita menyokong
bagaimana juga. Emigrasi itu akan terjadi sendiri kalau memang temponya sudah
datang …
Dalam pada itu, maka
tidaklah kita mengatakan, bahwa kita tak boleh dan tak harus meratakan jalan
untuk emigrasi itu. Sebaliknya: Kita harus bersedia dan kita harus mengaturnya,
agar supaya emigrasi itu bisa terjadi dengan gampang dan lekas, nanti kalau
temponya sudah datang. Dan tempo itu pastilah datang, oleh karena pergaulan
hidup bersama ialah suatu hal yang hidup pula, dan yang senantiasa menuju
tingkat yang lebih tinggi; tegasnya: tempo itu pastilah datang, oleh karena
susunan hidup-bersama di tanah Jawa ini, menurut hukum evolusi, pasti pula
meninggalkan tingkat yang sekarang ini, dan pastilah naik ke tingkat yang
kemudian, yakni: pasti meninggalkan tingkat pertanian yang sekarang ini dan
pasti menaik ketingkat kepabrikan. Dan sebelum tingkat kepabrikan itu
tercapai, maka lebih dulu terasa penyakit overbevolking itu dengan
sekeras-kerasnya; sebelum tingkat yang sekarang ini ditinggalkan, sebelum
tingkat kepabrikan itu tercapai, maka haruslah pergaulan hidup tanah Jawa itu
melalui tingkat-perobahan, – overgangsphase lebih dahulu. Dan tingkat-perobahan
ini ialah masa menghaibatnya overbevolking tahadi; overgangsphase ini ialah
masa di mana sebagian rakyat tanah Jawa, dari kerasnya overbevolking tahadi,
sama pindah kelain pulau untuk mencari pekerjaan dan untuk mencari penghidupan.
Akan tetapi, jikalau
dalam pada masa emigrasi itu cara pencaharian rezeki di tanah Jawa sudah
memperbaiki diri sendiri; jikalau kebutuhan akan cara pencaharian rezeki yang
lebih baik itu sudah mendatangkan perbaikan dalam cara pertanian; jikalau tanah
Jawa sudah mulai menginjak tingkat kepabrikan; – maka berhentilah pula emigrasi
itu, dan berhentilah pula keharusan akan mencari rezeki di negeri lain. Sebab,
sebagai yang sudah kita terangkan di muka, pergaulan hidup sendiri lantas
“mengisap” bagian rakyat
yang “lebih” itu!
Sekali lagi kita
mengulangi: Emigrasi ialah suatu “maatschappelijkverschijnsel”, yang mulainya
atau berhentinya ditetapkan oleh masyarakat sendiri itu juga. Karenanya, maka
kita tak percaya akan bisa terjadinya emigrasi yang sungguh-sungguh, jikalau
memang belum temponya, yakni jikalau pergaulan hidup di tanah Jawa belum
memaksa sendiri akan emigrasi itu dengan kekuatannya keharusan yang tak
terhingga adanya!
Akan tetapi, bolehkah
kita berdiam-diam sahaja membiarkan kemelaratan yang sekarang ini, sampai
emigrasi itu terjadi sendiri; bolehkah kita tidak berusaha meringankan
penghidupan rakyat itu, dan tidak melalui segenap jalan yang wajib kita lalui?
Tidak, tidak, dan
sekali lagi: tidak!
Kita harus memerangi
segala keadaan yang menambah kemelaratan rakyat itu; memerangi segala hal-hal
yang memberatkan penghidupannya rakyat, yang karena terlalu besarnya
bevolkingsaanwas (tambahnya penduduk), memang sudah berat adanya; memerangi
segala hal-hal yang mengecilkan persediaan rezeki rakyat tahadi.
Sebab, asal rezeki
cukup, asal makanan tak kurang, maka sebagai yang kita terangkan di muka, tak
akanlah rakyat menderita tak kecukupan dan kekurangan, tak akanlah
overbevolking terasa, walaupun bevolkingsaanwas yang bagaimana juga.
Karenanya, haruslah kita melawan segala keadaan yang mengecilkan persediaan
makanan rakyat itu. Dan teristimewa, haruslah kita memerangi industri g u l a
adanya.
Sebab kita mengetahui,
bahwa industri ini, walaupun pembela-pembelanya mengatakan, bahwa “industri ini
memberi begitu banyak uang pada sebagian penduduk Jawa”, dengan “memberi begitu
banyak uang” pada orang-orang itu, – hal ini belum tentu berapa “banyaknya”
walaupun oleh Schmalhausen dihitung berjumlah empat puluh juta rupiah
setahunnya, ada menimbulkan suatu golongan-rakyat dalam pergaulan hidup tanah
Jawa yang terpadamkan kebutuhannya akan menaikkan pergaulan hidup itu keatas
tingkat yang lebih tinggi, sedang kebutuhan inilah yang
h a r u s ada untuk
kenaikan itu. Kita mengetahui bahwa industri ini merusak morilnya sebagian
penduduk tanah Jawa; mengetahui, bahwa aturan menanam tebu sekali dalam tiga
tahun di atas satu tempat itu adalah suatu aturan yang memberi keuntungan pada
industri itu dengan percuma; mengetahui, bahwa industri ini tak senang akan
majunya negeri dan rakyat, oleh sebab kemajuan ini tentu menaikkan upah-upah
dan sewa-sewa, lantaran kemajuan itu menambah besarnya kebutuhan rakyat. Dan
tidakkah banyak pula keberatan-keberatan atas industri ini? Tidakkah ia dengan
aturan-aturan-premi telah mengotorkan perhubungan kepala-kepala desa dengan
rakyat? Tidakkah ia mengecilkan “gemiddeld grondbezit” (milik tanah rata-rata)
si kaum tani? Tidakkah penyewaan tanah itu membikin banyak orang tani jadi kaum
buruh? Tidakkah hati kita panas kalau kita memikirkan aturan “dagen
nachtregeling” (aturan siang dan malam), yakni aturan menurut yang mana
tanaman tebu mendapat air waktu siang dan tanaman padi waktu malam?
Tidakkah tanah yang
dulunya ditanami tebu itu menjadi kurang baik bagi tanaman padi? Tidakkah
industri ini mengisap berjuta-juta rupiah dari pergaulan hidup tanah Jawa?
Pendek kata: Tidakkah industri ini jauh dari mengayakan, bahkan memelaratkan
tanah Jawa?
Berhubung dengan
kejahatan industri ini; berhubung dengan pengurangan rezeki tanah Jawa itu, maka
kita menuntut hapusnya industri itu sebagai adanya sekarang ini. Dan jikalau
ada yang mengatakan, bahwa penghapusan industri ini akan menerjunkan rakyat
dalam dunia kemelaratan yang lebih haibat dari sekarang, jikalau masih ada
bangsa kita yang menyesalinya, maka kita memperingatkan, bahwa hapusnya
pabrik-pabrik gula di K a b a t dan Rogojampi di afdeling Banyuwangi umpamanya
sama sekali tidak merugikan rakyat, tetapi menguntungkanlah adanya.
Dan dari jauh kita
telah mendengar Ir. J. bertanya: “Di manakah tinjumu? Di manakah kekuatan yang
menghancurkan segala hal yang melawan?”
Memang, memang!
Tiadalah suatu kekuatan yang bisa mendesak industri gula ini dan yang bisa
menghancurkan kejahatannya, melainkan kekuatan
p e r g e r a k a n r a k y a t,
yang sebagai palu-godam haibatnya menjatuhkan hantaman penuntutannya,
dan yang sebagai banjir
melenyapkan segala hal yang menghalang-halanginya, jikalau tuntutan itu tidak
dikabulkan. Tiadalah suatu kekuatan yang bisa mendesaknya, melainkan suatu
massa-aksi yang besar dan haibatnya ada berlipat-lipat ganda dari massa-aksinya
Sarikat Islam meminta pengurangannya “suikerrietareaal” (luas tanah untuk
tanaman tebu) pada masa kekurangan-makan beberapa tahun yang lalu, dan yang,
sayang seribu sayang, lalu menjadi lembek sesudah ada pemeriksaan
“kumisi-kumisian”,
yang hasilnya …
kekalnya keadaan yang dulu juga!
Hendaklah kita
mengambil pelajaran dari sia-sianya pergerakan pengurangan suiker-areaal ini:
Janganlah kita menolehkan mata dalam usaha kita daripada maksud yang
pertama-tama!
Hendaklah kita insyaf,
bahwa hanya perjoangan dalam pergerakan rakyat itu sahajalah yang bisa
mengundurkan musuh-musuh kita, dan tidak dalam usaha dewan-dewanan, di mana
menurut Ir. J. “dengan berhadap-hadapan muka dengan musuh, kita punya
cara-perlawanan akan mendalam dan akan menjadi bersih”
Sebab sebagaimana kita
tak akan bisa mencapai kemerdekaan tanah kita dengan jalan dewan-dewanan itu,
maka kapitalisme-gula tidaklah akan bisa hapus atau lenyap pula dengan kerja
dewan-dewanan itu, melainkan dengan kekuasaan pergerakan rakyat yang
sekuasa-kuasanya dan sehaibat-haibatnya
Memang, benar sekali,
benar sekali, jikalau Ir. J. menanya, di
mana kita punya tinju
itu sekarang! Tetapi sebaliknya, kita pun
menanya padanya: Di mana tinju tuan, jikalau modal-modal asing di
Sumatera itu menjadi k u a t dan k u a s a lantaran sokongan tuan dengan kaum
buruh tanah Jawa yang “beratus-ratus ribu” itu? Di manakah tinju, dan di
manakah “machtsvorming en de invloed van ons Volk om of to weren die
verderfelijke vernielzucht”?
Tuan percaya akan
machtsvorming tahadi! Wahai, kita pun ada penuh kepercayaan akan masa yang akan
datang. Kita pun ada penuh kepercayaan, bahwa suatu kali rakyat kita p a s t i
mencapai machtsvorming itu pula, dan pasti “masih penuh kekuatan untuk menjunjung
diri menuju Sinar yang Satu yang berada di tengah-tengah kegelap-gelitaan yang
mengelilingi kita ini”.
Kita mengulangi; dan
kita menambah.
Kita mufakat akan
emigrasi; kita ingin pula melihat pemindahan rakyat kelain pulau Indonesia.
Akan tetapi kita mengira, bahwa emigrasi itu tidak bisa terjadi dengan
sesungguh-sungguhnya, jikalau susunan pergaulan hidup di tanah Jawa belum
“masak” baginya. Kita teristimewa menuntut hapusnya industri gula sebagai
adanya sekarang ini, dan yang mengurangi rezeki tanah Jawa itu, untuk
meringankan penghidupan penduduk tanah Jawa sebelum pergaulannya hidup sendiri
sebagai “veiligheidsklep” membangunkan emigrasi itu.
Kita yakin, bahwa obat
yang semanjur-manjurnya bagi penyakit overbevolking ini ialah tiada lain, melainkan
perbaikan-perbaikan cara pertanian dan perbaikan cara pertukangan, dan
berdirinya suatu industri Indonesia dengan modal Indonesia yang
sekokoh-kokohnya, yang nanti akan “mengisap” segenap rakyat yang “lebih”
sebagai yang telah terjadi di Inggeris, di negeri Jerman, di negeri Perancis,
atau di negeri Jepang itu, misalnya industri k a i n untuk mengganti keadaan
yang sekarang, di mana hampir segenap rakyat Indonesia yang berpuluh-puluh juta
itu hampir semuanya sama memakai pakaian yang kainnya dari Eropah, seharga
berpuluh-puluh juta rupiah: sedang kapasnya hendaklah ditanam umpamanya di
tanah-tanah Sumatera yang kini masih kosong itu, sehingga penanaman kapas ini
bisa memakai beribu-ribu kaum “lebih” dari tanah Jawa pula adanya.
Kita mengetahui, bahwa
kepabrikan itu bisa pula mengandung racun dan bahaya bagi rakyat dan kaum buruh
sebagai yang sudah terjadi di mana-mana; tetapi kita mengetahui, bahwa adanya
racun dan bahaya ini tidaklah tergantung dari a d a n y a kepabrikan, melainkan
dari c a r a n y a kepabrikan itu.
Dan walaupun kepabrikan
Indonesia ini pada waktu sekarang terdengarnya masih sebagai suatu impian;
walaupun banyak orang yang menyangkal akan bisa terjadinya kepabrikan itu, maka
kita percaya, bahwa, menurut hukum alam, kepabrikan itu pastilah datang.
Kepercayaan,
kepercayaanlah yang senantiasa menjadi wahyunya kita punya fikiran dan
perbuatan. Dan dengan kepercayaan ini; dengan kepercayaan bahwa segala
obat-obat overbevolking itu pada waktunya tentu sama datang sandiri; dengan
kepercayaan, bahwa suatu masa kita tentu bisa pula mengenyahkan segala
pengaruh-pengaruh yang menambah adanya bahaya overbevolking itu, maka dengan
ketetapan hati kita mengarahkan muka kepada tempo yang akan datang, dan dengan
ketetapan hati kita menyambut hari kemudian itu.
“Suluh Indonesia Muda”,
No comments:
Post a Comment