Wednesday 30 March 2022

Biografi Mohammad Natsir



Nama Lengkap

Mohammad Natsir

Alias

Natsir

Agama

Islam

Tempat Lahir

Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok, Sumatera Barat

Tanggal Lahir

Rabu, 17 Juni 1908

Zodiak

Gemini

Warga Negara

Indonesia

Relation

-

Biografi

Mohammad Natsir lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok, Sumatera Barat, 17 Juli 1908, dengan gelar Datuk Sinaro Panjang. Ia adalah perdana menteri kelima Republik Indonesia. Ia juga pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi dan salah seorang tokoh Islam terkemuka di Indonesia.

Pada masa kecilnya Natsir belajar di HIS Solok dan di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Selanjutnya pada tahun 1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di MULO, dan kemudian melanjutkan ke AMS Bandung hingga tamat pada tahun 1930.

Pada saat di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir. Pada tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan untuk memperdalam ilmu keagamaannya. Dengan keunggulan ilmu spiritualnya, ia banyak menulis soal-soal agama, kebudayaan, dan pendidikan.

Natsir juga dikenal sebagai pribadi yang aktif. Ia memiliki banyak pengalaman organisasi seperti menjadi Wakil Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), menjabat sebagai  Presiden Liga Muslim se-Dunia (World Moslem Congress), ketua Dewan Masjid se-Dunia, serta anggota Dewan Eksekutif Rabithah Alam Islamy yang berpusat di Mekkah, dan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

Karir politik Natsir dimulai ketika pada tanggal 5 April 1950 Natsir mengajukan mosi intergral dalam sidang pleno parlemen, di mana mosi ini berhasil memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan RI (NKRI). Karena prestasi inilah Natsir diangkat menjadi perdana menteri oleh Bung Karno. Presiden RI ini menganggap Natsir mempunyai konsep untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi.

Namun posisinya sebagai Perdana menteri tidak berlangsung lama. Ia mendapat penolakan dan perlawanan dari Partai Nasional Indonesia. Terhitung dua kali anggota Partai Nasional Indonesia di parlemen memboikot sidang sehingga tak memenuhi kuorum. Akhirnya Natsir mengembalikan mandat sebagai perdana menteri.

Secara kepribadian, pria yang banyak berjasa untuk perkembangan dakwah Islam dikenal sebagai pribadi yang berbicara penuh sopan santun, rendah hati dan bersuara lembut meskipun terhadap lawan-lawan politiknya. Ia juga sangat bersahaja dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya. Mohammad Natsir meninggal di Jakarta, 6 Februari 1993 pada usia 84 tahun.


Riset Dan Analisa Oleh Dwi Zain


Pendidikan

HIS Solok

sekolah agama Islam

MULO

AMS Bandung

Karir

Perdana Menteri Ke-5 Indonesia

Wakil Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat)

Presiden Liga Muslim se-Dunia (World Moslem Congress)

Ketua Dewan Masjid se-Dunia

Dewan Eksekutif Rabithah Alam Islami

Pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia

Penghargaan

Pahlawan nasional diberikan pada tanggal 10 November 2008

Sumber

https://m.merdeka.com/mohammad-natsir/profil#:~:text=Mohammad%20Natsir%20lahir%20di%20Alahan,tokoh%20Islam%20terkemuka%20di%20Indonesia.

Tuesday 29 March 2022

Biografi Achmad Subardjo



 Nama Lengkap

Achmad Subardjo

Alias

Achmad Soebardjo | Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo

Agama

Islam

Tempat Lahir

Karawang, Jawa Barat, Indonesia

Tanggal Lahir

Senin, 23 Maret 1896

Zodiak

Aries

Warga Negara

Indonesia

Relation

-

Biografi

Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo adalah Menteri Luar Negeri Pertama Indonesia, ia mempunyai gelar Meester in de Rechten yang diperoleh dari menempuh pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda setelah sebelumnya menempuh pendidikan di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah Menengah Atas). Lahir di Karawang, Jawa Barat pada 23 Maret 1896.

Nama Achmad Soebardjo adalah nama pemberian ibunya setalah sebelumnya ia mempunyai nama Teuku Muhammad Yusuf, pemberian dari ayahnya yang masih mempunyai keturunan bangsawan Aceh dari Pidie, nama belakang Djojoadisoerjo ia tambahkan sendiri saat dewasa.

Bersama Mohammad Hatta, ia menjadi perwakilan Indonesia untuk menghadiri persidangan antar bangsa "Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudian di Jerman. Sekembalinya di Indonesia, Achmad Soebardjo yang pernah aktif dalam organisasi Jong Java melanjutkan perjuangannya dengan menjadi anggota organisasi Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Di kediaman Laksamana Muda Maeda, ia juga ikut serta dalam menyusun naskah proklamasi bersama Soekarno dan Muhammad Hatta yang kemudian naskah tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Pada tanggal 18 Agustus 1945 ia dilantik sebagai Menteri Luar Negeri, itu menjadikannya Menteri Luar Negeri pertama di Republik Indonesia. Ia juga menjadi Duta Besar di Switzerland antara tahun 1957 - 1961.

Dalam usia 82 tahun, di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, ia mengembuskan napas terakhir dikarenakan flu yang menimbulkan komplikasi. Yang kemudian dimakamkan di Cipayung, Bogor. Pada tahun 2009 pemerintah mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional.


Riset dan analisis oleh Dewi Ratnaningtyas

Pendidikan

Hogere Burger School, Jakarta 

Universitas Leiden, Belanda

Penghargaan

Pahlawan Nasional Indonesia

sumber

https://m.merdeka.com/achmad-subardjo/profil

Monday 28 March 2022

Biografi Mohammad Yamin

Nama Lengkap

Mohammad Yamin

Alias

M. Yamin | Muhammad Yamin

Agama

Islam

Tempat Lahir

Sawahlunto, Sumatera Barat

Tanggal Lahir

Senin, 24 Agustus 1903

Zodiak

Virgo

Warga Negara

Indonesia

Relation

-

Biografi

Muhammad Yamin lahir pada tanggal 24 Agustus 1903 di Sawahlunto, Sumatera Barat. Yamin merupakan pahlawan nasional, budayawan, dan aktivis hukum terkenal di Indonesia.

M. Yamin memiliki pendidikan yang lengkap. Pendidikannya dimulai ketika ia bersekolah di Hollands Indlandsche School (HIS). Ia juga mendapat pendidikan di sekolah guru. M. Yamin juga mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Pertanian Bogor, Sekolah Dokter Hewan Bogor, AMS, hingga sekolah kehakiman (Reeht Hogeschool) Jakarta.

M. yamin termasuk salah satu pakar hukum dan juga merupakan penyair terkemuka angkatan pujangga baru. Ia banyak menghasilkan karya tulis pada dekade 1920 yang sebagian dari karyanya menggunakan bahasa melayu. Karya-karya tulis M. Yamin diterbitkan dalam jurnal Jong Sumatra. Ia juga merupakan salah satu pelopor puisi modern. M. Yamin banyak menulis buku sejarah dan sastra yang cukup di kenal yaitu  Gajah Mada (1945), Sejarah Peperangan Diponegoro, Tan Malaka(1945) Tanah Air (1922), Indonesia Tumpah Darah (1928), Ken Arok dan Ken Dedes (1934), Revolusi Amerika, (1951)

Karir M. Yamin dalam dunia politik dimulai ketika ia diangkat sebagai ketua Jong Sumatera Bond pada tahun 1926 sampai 1928. Setelah itu pada tahun 1931, ia bergabung ke Partai Indonesia. Tetapi partai tersebut dibubarkan. Karir politiknya berlanjut ketika M. Yamin mendirikan partai Gerakan Rakyat Indonesia bersama Adam Malik, Wilipo, dan Amir Syarifudin.

Sebagai sastrawan, gaya puisi suami dari Siti Sundari ini dikenal dengan gaya berpantun yang banyak menggunakan akhiran kata berima. Tak hanya itu, ia pun disebut-sebut sebagai orang pertama yang menggunakan bentuk soneta pada tahun 1921 sekaligus pelopor Angkatan Pujangga Baru yang berdiri pada tahun 1933. Dibesarkan dalam dunia pendidikan yang berlatar belakang Belanda, bukan berarti Yamin, sapaannya, memihak Belanda yang kala itu menduduki Indonesia. Semangat nasionalismenya tetap berkobar dan dibuktikan dalam bentuk karya sastra dan menghindari kalimat yang kebarat-baratan.

M. Yamin juga merupakan anggota BPUPKI dan anggota panitia Sembilan di mana akhirnya berhasil merumuskan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta ini merupakan cikal bakal dan merupakan dasar dari terbentuknya UUD 1945 dan Pancasila. Tercatat M. yamin juga pernah diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Setelah Indonesia merdeka, Yamin banyak duduk di jabatan-jabatan penting negara, di antaranya adalah menjadi anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-1952), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955), Menteri Urusan Sosial dan Budaya (1959-1960), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962).

M. Yamin meninggal pada tanggal 17 Oktober 1962. Ia wafat di Jakarta dan dimakamkan di desa Talawi, Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat. Ia meninggal ketika ia menjabat sebagai Menteri Penerangan. M. Yamin dianugerahi gelar pahlawanan nasional pada tahun 1973 sesuai dengan SK Presiden RI No. 088/TK/1973.


Riset Dan Analisa Oleh Dwi Zain

Pendidikan

Hollands Indlandsche School (HIS)

Sekolah guru

Sekolah Menengah Pertanian Bogor

Sekolah Dokter Hewan Bogor

AMS

Sekolah kehakiman (Reeht Hogeschool) Jakarta

Karir

Ketua Jong Sumatera Bond (1926-1928)

Anggota Partai Indonesia (1931)

Pendiri partai Gerakan Rakyat Indonesia

Anggota BPUPKI

Anggota panitia Sembilan

anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)

Menteri Pendidikan

Menteri Kebudayaan

Menteri Penerangan

Ketua Dewan Perancang Nasional (1962)

Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962)

Penghargaan

Gelar pahlawanan nasional pada tahun 1973 sesuai dengan SK Presiden RI No. 088/TK/1973

Bintang Mahaputra RI

Tanda penghargaan dari Corps Polisi Militer sebagai pencipta lambang Gajah Mada dan Panca Darma Corps

Tanda penghargaan Panglima Kostrad atas jasanya menciptakan Petaka Komando Strategi Angkatan Darat


Sumber:


https://m.merdeka.com/mohammad-yamin/profil

Sunday 27 March 2022

Biografi Mohammad Hatta



KOMPAS.com - Sosok Mohammad Hatta tida bisa dilepaskan dari perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia. Beliau adalah salah satu pemikir terhebat yang dimiliki Indonesia. Tak hanya dikenal sebagai Bapaqk Proklamator Indoensia, Mohammad Hatta juga Bakap Koperasi, Bapak Kedaulatan Rakyat, Bapak Perumahan Nasional, dan Bapak Hak Asasi Manusia. Seperti apa kehiupan Mohammad Hatta? Berikut biografi singkatnya:

Lahir di Bukittinggi 

Dalam buku Kumpulan Pahlawan Indonesia (2012) karya Mirnawati, Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat pada 12 Agustus 1902. Memiliki nama asli dari orangtuanya, Mohammad Athar. Hatta lahir dari keluarga ulama Minangkabau.

Semasa kecil, Hatta menempuk pendidikan dasar di Sekolah Melayu Fort de Kock, kemudian melanjutkan ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang. Semasa sekolah, Hatta terkenal sebagai anak yang cerdas. Meski lulus ujian masuk ke HBS di Batavia, Hatta harus mengurungkan niatnya karena permintaan ibunya untuk tetap di Padang. Akhirnya Hatta melanjutkan sekolah ke MULO di Padang. Keaktivan pada organisasi sudah ditunjukkan Hatta ketika berusia 15 tahun. Berbagai organisasi sudah diikutinya, salah satunya Jong Sumatranen Bond Cabang Padang. Ilmu politiknya semakin berkembang karena sering datang ke pertemuan-pertemuan politik. Salah satu tokoh politik idola Hatta adalah Abdul Muis. Setelah lulus dari MULO, beliau melanjutkan pendidikan ke Batavia di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School pada tahun 1919. Lulus dari Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School pada 1921, Hatta pergi ke Rotterdam untuk belajar ilmu bisnis di Nederland Handelshogeschool, Belanda. Dilansir dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Hatta tinggal di Belanda selama 11 tahun. Di sana, Hatta aktif bergabung dalam organisasi pergerakan dan tergabung dalam Perhimpunan Indonesia. Salah satu dampak aktivitasnya dalam organisasi menyebabkan Hatta ditangkap pemerintah Belanda. Namun, kemudian dibebaskan karena Hatta melakukan pidato pembelaannya yang terkenal, Indonesia Free.

Gemar membaca
Dalam buku Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya (2015) oleh Meutia Farida Hatta, Bung Hatta merupakan orang Indonesia yang mengoleksi buku sejak bnerusia 16 tahun. Dari situ, koleksi bukunya semakin bertambah. Bahkan selama 11 tahun tinggal di Belanda, Hatta merupakan mahasiswa yang memiliki koleksi buku terbanyak di antara mahasiswa yang lainnya.
Koleksi buku-buku Bung Hatta mulai dari ilmu ekonomi, hukum, tata negara, administrasi negara, filsafat, agama, politik, sejarah, sosiologi, antropologi, dan sastra. Bahkan ketika akan kembali ke Indonesia dariBelanda, Hatta yang dibantu rekan-rekannya, harus mengemas 14 peti berukuran 1x1x1 meter untuk buku-bukunya. Kecintaan Bung Hatta akan membaca buku, mengantarnya sebagai orang penting di Indonesia. Buku-buku Hatta selalu tertata rapi dan tampak seperti baru. Karena Hatta selalu memperlakukan buku-bukunya dengan baik. Ketika Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, Hatta memiliki ruangan perpustakaan yang jauh lebih besar dibandingkan ketika menjabat. Sampai-sampai Hatta memiliki seorang ahli perpustakaan yang membantunya menata buku-buku sesuai subyejknya. Dia adalah Gustav Apituley, seorang ambon.

Akhir hayat 
Mohammad Hatta wafat pada 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Kemudian dikebumikan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta. Bung Hatta diberikan gelar Pahlawan Proklamator pada 23 Oktober 1986 bersama dengan Bung Karno, melalui Keppres No 81/TK/1986. Kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Hatta pada 7 November 2012. Buku Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya (2015) oleh Meutia Farida Hatta,yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas, bisa dibeli di Gramedia.com  


sumber:

https://www.kompas.com/skola/read/2021/02/08/193330869/biografi-mohammad-hatta-wakil-presiden-indonesia-pertama?page=all

Penulis : Serafica Gischa

Editor : Serafica Gischa

Thursday 24 March 2022

Biografi Ir. Soekarni



Nama Lengkap
Ir. Soekarno
Alias
Bung Karno | Pak Karno
Agama
Islam
Tempat Lahir
Surabaya, Jawa Timur
Tanggal Lahir
Kamis, 6 Juni 1901
Zodiak
Gemini
Warga Negara
Indonesia
Ayah
Raden Soekemi Sosrodihardjo
Anak
Megawati SoekarnoputriMohammad Guruh Irianto Soekarnoputra, Guntur Soekarnoputra, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Taufan Soekarnoputra , Bayu Soekarnoputra, Totok Suryawan, Kartika Sari Dewi Soekarno, Sukmawati Soekarnoputri
Ibu
Ida Ayu Nyoman Rai
Istri
Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, Kartini Manoppo, Ratna Sari Dewi, Haryati, Yurike Sanger, Heldy Djafar, Fatmawati Soekarno
Biografi

Ir. Soekarno atau yang biasa dipanggil Bung Karno yang lahir di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 6 Juni 1901 dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dengan Ida Ayu Nyoman Rai.

Ayah Soekarno adalah seorang guru. Raden Soekemi bertemu dengan Ida Ayu ketika dia mengajar di Sekolah Dasar Pribumi Singaraja, Bali.

Soekarno hanya menghabiskan sedikit masa kecilnya dengan orangtuanya hingga akhirnya dia tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.

Soekarno pertama kali bersekolah di Tulung Agung hingga akhirnya dia ikut kedua orangtuanya pindah ke Mojokerto.

Di Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School. Di tahun 1911, Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hoogere Burger School (HBS).

Setelah lulus pada tahun 1915, Soekarno melanjutkan pendidikannya di HBS, Surabaya, Jawa Timur. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para tokoh dari Sarekat Islam, organisasi yang kala itu dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto yang juga memberi tumpangan ketika Soekarno tinggal di Surabaya.

Dari sinilah, rasa nasionalisme dari dalam diri Soekarno terus menggelora. Di tahun berikutnya, Soekarno mulai aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Darmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo. Nama organisasi tersebut kemudian Soekarno ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918. 

Di tahun 1920 seusai tamat dari HBS, Soekarno melanjutkan studinya ke Technische Hoge School  (sekarang berganti nama menjadi Institut Teknologi Bandung) di Bandung dan mengambil jurusan teknik sipil.

Saat bersekolah di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto. Melalui Haji Sanusi, Soekarno berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.

Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung yang diinspirasi dari Indonesische Studie Club (dipimpin oleh Dr Soetomo). Algemene Studie Club  merupakan cikal bakal berdirinya Partai Nasional Indonesia pada tahun 1927.

Bulan Desember 1929, Soekarno ditangkap oleh Belanda dan dipenjara di Penjara Banceuy karena aktivitasnya di PNI. Pada tahun 1930, Soekarno dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Dari dalam penjara inilah, Soekarno membuat pledoi yang fenomenal, Indonesia Menggugat.

Soekarno dibebaskan pada tanggal 31 Desember 1931. Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI.

Soekarno kembali ditangkap oleh Belanda pada bulan Agustus 1933 dan diasingkan ke Flores. Karena jauhnya tempat pengasingan, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional lainnya.

Namun semangat Soekarno tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hasan. Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu. Soekarno baru benar-benar bebas setelah masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.

Di awal kependudukannya, Jepang tidak terlalu memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia hingga akhirnya sekitar tahun 1943 Jepang menyadari betapa pentingnya para tokoh ini. Jepang mulai memanfaatkan tokoh pergerakan Indonesia dimana salah satunya adalah Soekarno untuk menarik perhatian penduduk Indonesia terhadap propaganda Jepang.

Akhirnya tokoh-tokoh nasional ini mulai bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk dapat mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang tetap melakukan gerakan perlawanan seperti Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.

Soekarno sendiri mulai aktif mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar-dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan.

Pada bulan Agustus 1945, Soekarno diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara ke Dalat, Vietnam. Marsekal Terauchi menyatakan bahwa sudah saatnya Indonesia merdekan dan segala urusan proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah tanggung jawab rakyat Indonesia sendiri.

Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945. Para tokoh pemuda dari PETA menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena pada saat itu di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan.

Ini disebabkan karena Jepang telah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan beberapa tokoh lainnya menolak tuntutan ini dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang.

Pada akhirnya,Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional lainnya mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Berdasarkan sidang yang diadakan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) panitia kecil untuk upacara proklamasi yang terdiri dari delapan orang resmi dibentuk.

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya. Teks proklamasi secara langsung dibacakan oleh Soekarno yang semenjak pagi telah memenuhi halaman rumahnya di Jl Pegangsaan Timur 56, Jakarta.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dikukuhkan oleh KNIP.

Kemerdekaan yang telah didapatkan ini tidak langsung bisa dinikmati karena di tahun-tahun berikutnya masih ada sekutu yang secara terang-terangan tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan bahkan berusaha untuk kembali menjajah Indonesia.

Gencaran senjata dari pihak sekutu tak lantas membuat rakyat Indonesia menyerah, seperti yang terjadi di Surabaya ketika pasukan Belanda yang dipimpin oleh Brigadir Jendral A.W.S Mallaby berusaha untuk kembali menyerang Indonesia.

Rakyat Indonesia di Surabaya dengan gigihnya terus berjuang untuk tetap mempertahankan kemerdekaan hingga akhirnya Brigadir Jendral AWS Mallaby tewas dan pemerintah Belanda menarik pasukannya kembali. Perang seperti ini tidak hanya terjadi di Surabaya tapi juga hampir di setiap kota. 

Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggajati.

Walaupun telah dilaporkan ke PBB, Belanda tetap saja melakukan agresinya. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda rapat Dewan Keamanan PBB, di mana kemudian dikeluarkan Resolusi No 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.

Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947, Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.

Pada 17 Agustus 1947, Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda.

Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno kembali diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS.

Karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali diubah menjadi Republik Indonesia dimana Ir Soekarno menjadi Presiden dan Mohammad Hatta menjadi wakilnya.

Pemberontakan G30S/PKI melahirkan krisis politik hebat di Indonesia. Massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah satu isinya meminta agar PKI dibubarkan.

Namun, Soekarno menolak untuk membubarkan PKI karena menilai bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme).

Sikap Soekarno yang menolak membubarkan PKI kemudian melemahkan posisinya dalam politik. Lima bulan kemudian, dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditandatangani oleh Soekarno dimana isinya merupakan perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu guna menjaga keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden.

Surat tersebut lalu digunakan oleh Soeharto yang telah diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat untuk membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang. MPRS pun mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu TAP No IX/1966 tentang pengukuhan Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat bisa menjadi presiden apabila presiden sebelumnya berhalangan.

Pada 22 Juni 1966, Soekarno membacakan pidato pertanggungjawabannya mengenai sikapnya terhadap peristiwa G30S. Pidato pertanggungjawaban ini ditolak oleh MPRS hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka.

Hari Minggu, 21 Juni 1970 Presiden Soekarno meninggal dunia di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta. Presiden Soekarno disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan kemudian dimakamkan di Blitar, Jawa Timur berdekatan dengan makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari. 

Ir Soekarno adalah seorang sosok pahlawan yang sejati. Dia tidak hanya diakui berjasa bagi bangsanya sendiri tapi juga memberikan pengabdiannya untuk kedamaian di dunia. Semua sepakat bahwa Ir Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Ir Soekarno adalah bapak bangsa yang tidak akan tergantikan.

Riset dan Analisa: Fathimatuz Zahroh

Pendidikan
  • Pendidikan sekolah dasar di Eerste Inlandse School, Mojokerto
  • Pendidikan sekolah dasar di Europeesche Lagere School (ELS), Mojokerto (1911)
  • Hoogere Burger School  (HBS) Mojokerto (1911-1915)
  • Technische Hoge School, Bandung (sekarang berganti nama menjadi Institut Teknologi Bandung) (1920) 
Penghargaan
  • Gelar Doktor Honoris Causa dari 26 universitas di dalam dan luar negeri antara lain dari Universitas Gajah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, Universitas Hasanuddin, Institut Agama Islam Negeri Jakarta, Columbia University (Amerika Serikat), Berlin University (Jerman), Lomonosov University (Rusia) dan Al-Azhar University (Mesir).
  • Penghargaan bintang kelas satu The Order of the Supreme Companions of OR Tambo yang diberikan dalam bentuk medali, pin, tongkat, dan lencana yang semuanya dilapisi emas dari Presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki, atas jasa Soekarno dalam mengembangkan solidaritas internasional demi melawan penindasan oleh negara maju serta telah menjadi inspirasi bagi rakyat Afrika Selatan dalam melawan penjajahan dan membebaskan diri dari politik apartheid. Penyerahan penghargaan dilaksanakan di Kantor Kepresidenan Union Buildings di Pretoria (April 2005).

SUMBER:

Wednesday 23 March 2022

Demokrasi ala Bung Hatta

 


MI. Ebet Abdul Kohar 

Dewan Redaksi Media Group

TANGGAL 12 Agustus lalu ialah hari lahir salah satu proklamator kita, Bung Hatta. Sosok tenang yang dikenal sebagai man of work, alias orang di belakang layar, itu merupakan peletak dasar demokrasi kita. Saat perjalanan demokrasi kita mulai dikeluhkan, ada baiknya kita menengok warisan mahal demokrasi yang dirintis Bung Hatta. Ada banyak peristiwa yang bisa menjelaskan bagaimana Bung Hatta mempraktikkan demokrasi. Ada kalanya agak rumit, tapi tidak jarang pula dengan cara sederhana, bahkan mengundang tawa. Misalnya, peristiwa awal Januari 1949, saat Ali Sastroamidjojo dan Mohamad Roem tiba di Menumbing, Bangka. Mereka ditempatkan di sebuah pesanggrahan milik perusahaan timah Belanda. Mereka disambut Bung Hatta, Mr Asaat, Komodor Suryadi Suryadarma, dan AG Pringgodigdo yang sudah duluan ditawan Belanda setelah agresi militer kedua Belanda. Sehari di tempat itu, Bung Hatta memberikan semacam pengarahan kepada para 'pendatang baru' tersebut. Pertama, kendati berada di pengasingan, mereka harus tetap bersikap sebagai petugas resmi Republik Indonesia. Tetap berpakaian rapi. Tidak boleh memakai piama atau sarung. Selain itu, Hatta menandaskan perlunya memegang teguh asas demokrasi. “Misalnya,” ujar Hatta sebagaimana dikutip Ali dalam Tonggak-Tonggak di Perjalananku, “Kalau mandi, janganlah memakai air sesukanya sendiri. Saya sudah mengukur isi tempat air mandi dan ternyata airnya cukup kalau saudara-saudara masing-masing hanya memakai 10 gayung tiap-tiap kali mandi." Mereka tertawa, tapi mematuhinya dengan serius. Itu semacam praktik sederhana demokrasi. Namun, kendati sederhana, 'demokrasi air' Bung Hatta bermakna serius: tidak boleh seenaknya sendiri, bebas sebebas-bebasnya tanpa aturan, tanpa tanggung jawab. Pemikiran Mohammad Hatta tentang demokrasi Indonesia memang berbeda dengan prinsip-prinsip demokrasi di Barat, tempat ia menimba ilmu. Bung Hatta mendasarkan praktik demokrasi berdasarkan tiga sumber gagasan, yaitu ajaran Islam, asas kekeluargaan dan kebersamaan, serta sosialisme Barat. Gagasan itu muncul karena ia anggap ada praktik-praktik demokrasi Barat yang tidak sepenuhnya kompatibel dengan Indonesia. Karena itu, saat menempuh pendidikan di Belanda itulah, Bung Hatta justru mengkritik sebuah sistem demokrasi yang ia anggap sebagai demokrasi rasial. Kehidupan di Belanda sangat demokratis, tetapi Belanda sendiri tidak mau menerapkan nilai-nilai tersebut di daerah jajahan mereka. Bung Hatta menerima konsep demokrasi Barat, tapi dengan sangat kritis. Hatta melihat bahwa demokrasi di Barat tidak bisa dilepaskan dari konsep liberalisme individualisme. Individualisme yang diartikan bahwa setiap orang memiliki kehendak untuk melakukan apa pun yang dia lakukan dan dijamin apa pun. Kritik Hatta terhadap hal tersebut ialah ketika kehendak atau individualisme ini terlalu ditekankan secara membabi buta, yang lahir hanya demokrasi politik, tanpa demokrasi dan keadilan ekonomi. Kritik-kritik tajam Hatta terutama pada asumsi yang dipegang individualisme bahwa seakan negara hanya menjadi 'penjaga malam' dan tidak mengurusi bagaimana proses keadilan sosial dijalankan. Itulah mengapa konsep keadilan sosial mendapatkani tempat yang sangat tinggi dalam pemikiran demokrasi Bung Hatta. Negara bukan sekadar penjaga malam atau event organizer. Dalam demokrasi Bung Hatta, negara harus hadir, tapi tidak mengekang hak rakyatnya untuk berekspresi. Ia mengkritik demokrasi Barat yang dianggap lalai terhadap tujuan awal berdirinya demokrasi, yaitu liberte (kebebasan dan kemerdekaan), egalite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan). Bagi Bung Hatta, demokrasi Barat telah tercerabut dari akarnya sendiri. Dari situlah Bung Hatta memberikan narasi demokrasi dengan apa yang dia ambil dari nilai-nilai berdasarkan Islam inklusif, yang menitikberatkan pada kebenaran dan keadilan sosial. Selain itu, latar belakang pemikiran demokrasi seorang Bung Hatta ialah dimasukkannya nilai-nilai asli demokrasi Indonesia, yang disebut kekeluargaan dan kebersamaan, serta sosialisme kemanusiaan. Saya jadi ingat jawaban Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem, di Forum Kebangsaan 50 Tahun CSIS. Saat itu, Surya Paloh dimintai tanggapan oleh peneliti CSIS Arya Fernandes tentang survei sejumlah lembaga internasional yang menyebut demokrasi kita kian mundur. Surya Paloh tidak gundah dengan semua penilaian itu. Ia justru risau dengan praktik demokrasi kita yang superliberal dan nyaris menanggalkan responsibilitas. Jawaban itu amat pas dengan demokrasi superbernas yang digagas Bung Hatta dan sudah menjadi konsensus kita bersama. Sayangnya, banyak dari kita yang gemar melenceng dari konsensus dan terlalu rendah diri dengan gagasan orisinal anak bangsa.


sumber:

https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2240-demokrasi-ala-bung-hatta


Tuesday 22 March 2022

Sosok Tan Malaka dan Kisah Perjuangan Hidupnya sebagai Pahlawan Nasional


Jakarta - Tan Malaka jadi salah satu sosok yang menghantui pinggiran sejarah kaum kiri di Indonesia. Tan Malaka aktif di Partai Komunis Indonesia (PIK) di masa awal pergerakan dan pernah juga menjabat sebagai wakil Komintern (Organisasi Komunis) di Asia Tenggara.

Dilansir dalam buku "Tan Malaka" oleh Masykur Arif Rahman, Tan Malaka memiliki nama kecil yaitu Ibrahim . Pada usia sekitar 16 tahun melalui upacara adat, Ibrahim mendapatkan gelar "Datuk Tan Malaka". Dari sinilah, ia dikenal sebagai Datuk Tan Malaka.

Gelar Datuk Tan Malaka adalah gelar semibangsawan yang didapatkan dari garis keturunan sang ibu. Kata datuk memiliki arti pemimpin, orang yang dituakan, penghulu, atau kepala adat.

Berikut sosok Tan Malaka yang perlu diketahui:

1. Tan Malaka Lahir di Suliki

Tan Malaka lahir pada tahun 1897. Tempat kelahirannya sekarang dikenal sebagai Nagari Pandan Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

Ayahnya bernama H.M. Rasad, seorang pegawai pertanian dan ibunya bernama Rangkayo Sinah, putri orang yang disegani di desanya. Sehingga Tan Malaka termasuk dalam golongan keluarga terpandang, paling tidak di daerah setempat.

2. Pendidikan Tan Malaka

Tan Malaka pada tahun 1913 mengenyam pendidikan Kweekschool Bukit Tinggi dan Rijks Kweekschool, Haarlem Belanda.

3. Tan Malaka dalam Partai Politik

PKI menjadi kendaraan politiknya untuk membebaskan orang-orang pribumi yang ditindas, diperas serta dihina oleh sistem kolonialisme dan kapitalisme Belanda. Ia memilih partai ini untuk dijadikan jalan pembebasan lantaran PKI mengusung gerakan revolusioner.

Jiwanya yang revolusioner menemukan tempat yang cocok di PKI. Ia tidak peduli bahwa dengan masuk PKI, dirinya akan menemukan kesulitan-kesulitan berhadapan dengan pemerintah. Tekadnya yang kuat untuk membela tanah air dan bangsa dari arogansi penjajah membuatnya rela meskipun harus hidup menderita.

Munculnya sifat radikal Tan Malaka terjadi ketika Tan Malaka menemukan ketimpangan sosial di lingkungan sekitar.

4. Tan Malaka dan Pergerakan Kiri

Tan Malaka tiba di Moskwa, Rusia pada tahun 1922. Ia menghabiskan waktu di sana dengan berpartisipasi dalam kegiatan Komintern.

Ia mengambil bagian dalam Komite Eksekutif Komunis Internasional (ECCI) untuk kongres keempat. Dalam kongres tersebut Tan Malaka memainkan peranan penting dan menyatakan idenya untuk pertama kalinya.

Tentang hubungan antara partai-partai komunis dan ekspresi nasionalisme seperti pergerakan pan-Islam dan gerakan boikot terhadap kekuatan imperialis yang berkembang di India.

5. Tan Malaka Ditangkap

Berbagai rintangan dihadapi oleh Tan Malaka dalam memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia. Tan Malaka pernah ditangkap dan dibuang ke Kupang hingga diusir dari Indonesia seiring dengan konflik dengan Partai Komunis Indonesia dan Tan Malaka juga pernah diduga sebagai dalang penculikan Sutan Sjahrir pada tahun 1946.

Meskipun begitu, Tan Malaka memiliki segudang prestasi seperti mendirikan partai PARI (1927) dan Partai Murba (1948). Tan Malaka juga mendirikan sekolah dan mengajar di China tahun 1936 dan sekolah tinggi ke Singapura.

Selama 30 tahun terus menentang kolonialisme di berbagai daerah dan dianggap sebagai sosok yang menentang diplomasi Belanda yang merugikan posisi Indonesia. Tan Malaka dikejar-kejar hingga ditembak dan lenyap di kaki gunung Wilis, Kediri tahun 1949.

Di tanggal 28 Maret 1963, Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Namun nama Tan Malaka masih jarang terdengar dalam sejarah Indonesia.

sumber: 

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5592313/sosok-tan-malaka-dan-kisah-perjuangan-hidupnya-sebagai-pahlawan-nasional

Sunday 20 March 2022

PIDATO SOEKARNO: LAHIRNYA PANCA SILA


 Paduka tuan Ketua yang mulia!

Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan 

Paduka tuan ketua yang mullia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.

Ma’af, beribu ma’af! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan d a s a r n y a Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda:"P h i l o s o f i sc h e g r o n d s l a g" dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan „merdeka". Merdeka buat saya ialah: „ p o l i t i c a l i n d e p e n d e n c e „, p o l i t i e k e o n a f h a n k e l i j k h e i d . Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?

Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata: Tatkala Dokuritu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang - saya katakan didalam bahasa asing, ma’afkan perkataan ini - „zwaarwichtig" akan perkara yang kecil-kecil. „Zwaarwichtig" sampai -kata orang Jawa- „njelimet".Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai njelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan. Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.

Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negaranegara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya! Alangkah berbedanya i s i itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai,itu selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu. Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Disitu ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toch Saudi Arabia merdeka!

Lihatlah pula - jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat - Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah rakyat soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik yang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Soviet itu. Dan kita sekarang disini mau mendirikan negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!

Maaf, P. T. Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai njelimet hal ini dan itu dahulu semuanya! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mesngalami Indonesia merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, - sampai dilobang kubur! (Tepuk tangan riuh).

Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun ‘33 saya telah menulis satu risalah, Risalah yang bernama „Mencapai Indonesia Merdeka". Maka di dalam risalah tahun ‘33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politiekeonafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu j e m b a t a n e m a s . Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa d i s e b e r a n g n y a jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.

Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam s a t u m a l a m, - in one night only! -, kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riad dengan 6 orang! S e s u d a h „jembatan" itu diletakkan oleh Ibn saud, maka d i s e b e r a n g jembatan, artinya k e m u d i a n d a ri p a d a i t u, Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi arabia. Orang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade yaitu orang badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi kaum tani, - semuanya diseberang jembatan. Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet-Rusia Merdeka, telah mempunyai Djnepprprostoff*), dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyai radio-station, yang menyundul keangkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio- station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Creche, baru mengadakan Djnepprostoff!

Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini danitu lebih dulu harus selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannnya tuan-tuan punya semangat, - jikalau tuan-tuan demikian -, dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang! (Tepuk tangan riuh).

Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, pada hal semboyan Indonesia merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan „INDONESIA MERDEKA SEKARANG". Bahkan 3 kalisekarang, yaitu Indonesia Merdeka s e k a r a n g , s e k a r a n g , s e k a r a n g ! (Tepuk tangan riuh).

Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia merdeka, - kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar hati!. Saudara -saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu j e m b a t a n ! Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo Butyoo diganti dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politiekeonafhankelijkheid, - in one night, di dalam satu malam!

Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan: Indonesia merdeka, s e k a r a n g ! Jikalau umpamanya Balatentera Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke- rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia merdeka?

(Seruan: Tidak! Tidak)

Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita tidak akan menolak, s e k a r a n g p u n kita menerima urusan itu, s e k a r a n g p u n kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!

(Tepuk tangan menggemparkan)

Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Soviet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dll. tentang isinya: tetapi ada satu yang s a m a, yaitu, rakyat Saudi Arabia sanggup m e m p e r t a h a n k a n negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup m e m p e r t a h a n k a n negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap-sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk merdeka.

(Tepuk tangan riuh)

*) Yang dimaksud Dnepropetrovsk, suatu kawasan industri di mana terdapat bendungan raksasa di sungai Dnepr, dan disitu dibangun stasiun pembangkit tenaga listrik yang merupakan tulang punggung perindustrian Soviet Rusia (ket. - LSSPI)

Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah saya belum berani kawin, tunggu dulu gajih F.500. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai sendok-garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saya berani kawin.

Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu „meja-makan", lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur. Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat-tidur: kawin. Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, elektrische kookplaat, tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig, belum tentu mana yang lebih bahagia, sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-saudara!

(Tepuk tangan, dan tertawa)

Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: k i t a i n i b e r a n i m e r d e k a a t a u t i d a k?? Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka tuan ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian P.T. Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika t i a p - t i a p orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka!

(Tepuk tangan riuh).

D i d a l a m Indonesia merdeka itulah kita m e m e r d e k a k a k a n rakyat kita!! D i d a l a m Indonesia Merdeka itulah kita m e m e r d e k a k a n hatinya bangsa kita! D i d a l a m Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud m e m e r d e k a k a n rakyat Arabia satu persatu. D i d a l a m Soviet-Rusia Merdeka Stalin m e m e r d e k a - k a n hati bangsa Soviet-Rusia satu persatu.

Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit hongerudeem, banyak ini banyak itu. „Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka". Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. D i d a l a m Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. D i d a l a m Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, d i d a l a m Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan „jembatan". Di seberang jembatan, j e m b a t a n e m a s, inilah, baru kita l e lu a s a menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.

Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya internationalrecht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko, yang menjelimet, tidak!. Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk internationalrecht. Cukup, saudarasaudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara yang lain, yang merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahnya, - sudahlah ia merdeka.

Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka atau tidak? (Jawab hadlirin: Mau!) Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal „merdeka",maka sekarang saya bicarakan tentang hal d a s a r. Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta d a s a r , minta p h i l o s o p h i s c h e g r o n d s l a g , atau, jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu „Weltanschauung", diatas mana kita mendirikan negara Indonesia itu. Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak diantara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu„Weltanschauung". Hitler mendirikan Jermania di atas „national-sozialistische Weltanschauung", - filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Soviet diatas satu „Weltanschauung", yaitu Marxistische, Historisch- materialistische Weltanschaung. Nippon mendirikan negara negara dai Nippon di atas satu „Weltanschauung", yaitu yang dinamakan „Tennoo Koodoo Seishin". Diatas „Tennoo Koodoo Seishin" inilah negara dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu „Weltanschauung", bahkan diatas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah „Weltanschauung" kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?

Tuan-tuan sekalian, „Weltanschauung" ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam„Weltanschauung", bekerja mati-matian untuk me"realiteitkan"„Weltanschauung" mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikusno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan, Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed: „Soviet-Rusia didirikan didalam 10 hari oleh Lenin c.s.", -John Reed, di dalam kitabnya:„Ten days that shook the world", „sepuluh hari yang menggoncangkan dunia" -, walaupun Lenin mendirikan Soviet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi „Weltanschauung"nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu diatas „Weltanschauung" yang sudah ada. Dari 1895 „Weltanschauung" itu telah disusun. Bahkan dalam revolutie 1905,Weltanschauung itu „dicobakan", di „generale-repetitie-kan". Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri „generale-repetitie" dari pada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, „Weltanschaung" itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas „Weltanschauung" yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?

Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung. Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya „Weltanschauung" itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini, „Weltanschauung" ini, dapat menjelma dengan dia punya „Munschener Putsch", tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar„Weltanschauung" yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu. Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan: Apakah „Weltanschauung" kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka diatasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historischmaterialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan doktor Sun Yat Sen?

Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi „Weltanschauung"nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku „The three people"s principles" San Min Chu I, - Mintsu, Minchuan, Min Sheng, - nasionalisme, demokrasi, sosialisme,- telah digambarkan oleh doktor Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru diatas „Weltanschauung" San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.

Kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka di atas „Weltanschauung" apa? Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau „Weltanschauung’ apakah? Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan, - macam-macam - , tetapi alangkah benarnya perkataan dr Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari p e r s a t u a n p h i l o s o p h i s c h e g r o n d s l a g , mencari satu „Weltanschauung" yang k i t a s e m u a setuju. Saya katakan lagi s e t u j u ! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui, yang sdr. Lim KoenHian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita b e r -s a m a - s a m a setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesiamerdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? 

Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara „semua buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi „semua buat semua". Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun yang lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar k e b a n g s a a n.

K i t a m e n d i r i k a n s a t u n e g a r a k e b a n g s a a n I n d o n e s i a. Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saya memakai perkataan „kebangsaan" ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar k e b a n g s a a n . Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu n a s i on a l e s t a a t, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuanpun adalah orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuanpun bangsa Indonesia. Diatas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.

S a t u N a t i o n a l e S t a a t ! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempoh sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa? Menurut Renan syarat bangsa ialah „kehendak akan bersatu". Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: „le desir d’etre ensemble", yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu. Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya „Die Nationalitatenfrage", disitu ditanyakan: „Was ist eine Nation?" dan jawabnya ialah: „Eine Nation ist eine aus chiksals-gemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft". Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib). Tetapi kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: „verouderd",„sudah tua". Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah „verouderd", sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik. Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan tentang „Persatuan antara orang dan tempat". Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya! Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan „Gemeinschaft"nya dan perasaan orangnya, „l’ame et desir". Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu, Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu t a n a h a i r . Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana„kesatuan-kesatuan" disitu. Seorang anak kecilpun, jukalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang besar, lautan Pacific dan lautan Hindia, dan diantara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa,Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lainlain pulau kecil diantaranya, adalah satu kesatuan.

Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai„golfbreker" atau pengadang gelombang lautan Pacific, adalah satu kesatuan. Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai kesatuan pula, Itu ditaruhkan oleh Allah s.w.t. demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan. Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan uang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!

Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oeh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup „le desir d’etre ensembles", tidak cukup definisi Otto Bauer „aus schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft" itu. Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau, diantara bangsa di Indonesia, yang paling ada „desir d’entre ensemble", adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5 milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan, melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk Yogyapun adalah merasa „le desir d"etre ensemble", tetapi Yogyapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan „le desir d’etre ensemble", tetapi Sundapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan „le desir d’etre ensemble" diatas daerah kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah s e l u r
u h manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh s.w.t., tinggal

dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! S

e l u r u h n y a !, karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada „le desir d’etre

enemble", sudah terjadi „Charaktergemeinschaft"! Natie Indonesia, bangsa Indonesia,

ummat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah

menjadi s a t u, s a t u, sekali lagi s a t u ! (Tepuk tangan hebat).

Kesinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale staat, diatas kesatuan

bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan

diatara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan

„golongan kebangsaan". Kesinilah kita harus menuju semuanya.

Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu

nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Sakssen adalah nationale staat,

tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia,

bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah,

yang diutara dibatasi pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan

Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi-tiga Indialah nanti harus menjadi

nationale staat.

Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka dijaman

dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di

jaman Sri Wijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale

staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata

dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram,

meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu

Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan

persaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, berkata, bahwa kerajaannya di

Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada

Sultan Hasanoedin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata,

bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.

Nationale staat hanya Indonesia s e l u r u h n y a, yang telah berdiri dijaman Sri Wijaya

dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau

tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: K e b

a n g s a a n I n d o n e s i a . Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa,

bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lainlain,tetapi k e b a n g s a a n I n d o n e s i a, yang bersama-sama menjadi dasar satu

nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam

pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan fuku-Kaityoo, Tuan menjawab:

„Saya tidak mau akan kebangsaan".

T U A N L I M K O E N H I A N :

Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.

T U A N S O E K A R N O :

Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Koen Hian pun

menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang

tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitisme, yang

mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak

yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa

Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi

semuanya „menschheid",„peri kemanusiaan". Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi

pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa a d a kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku,

pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S. diSurabaya, saya

dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran

kepada saya, - katanya: jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa

kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsan sedikitpun. Itu terjadi pada

tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan

saya, - ialah Dr SunYat Sen! Di dalam tulisannya „San Min Chu I" atau „The Three

People’s Principles", saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang

diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah r a s a k e b a n g s a a

n, oleh pengaruh „The Three People"s Principles" itu.

Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen

sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan

perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, -

sampai masuk kelobang kubur. (Anggauta-anggauta Tionghoa bertepuk tangan).

Saudara-saudara. Tetapi ........ tetapi ........... memang prinsip

kebangsaan ini ada b a h a y a n y a ! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan

nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham „Indonesia uber Alles". Inilah

bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai

bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari

pada dunia! Ingatlah akan hal ini!

Gandhi berkata: „Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah

perikemanusiaan „My nationalism is humanity".

Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan

chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropah, yang mengatakan„Deutschland

uber Alles", tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya, bangsanya minulyo,

berambut jagung dan bermata biru, „bangsa Aria", yang dianggapnya tertinggi diatas

dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas azas

demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan

termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia,

persaudaraan dunia.

Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju

pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.

Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang

saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan„i n t e r n a s i o n a l i m e".

Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud k o s m o p o l i

t i s m e, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak

ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.

Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya

nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang

pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu

sama lain.

Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan,

dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan

satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara

„semua buat semua", „satu buat semua,

semua buat satu". S a y a y a k i n s y a r a t y a n g m u t l a k u n t u k k u a t n y a n

e g a r a I n - d o n e s i a i a l a h p e r m u s y a w a r a t a n p e r w a k i l a n .

Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun,

adalah orang Islam, -- maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, --

tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati,

tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam.

Dan hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam

permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan

agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan

Perwakilan Rakyat.

Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan

perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah

kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi

perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya,

agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang

kita adakan, diduduki oleh utusan Islam.Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang

bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam disini agama yang hidup

berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin

menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusanutusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100

orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60,70,

80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka

Islam. dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu,

hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi,

barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar h i d u p di dalam jiwa rakyat,

sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam,

ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, h i

d u p l a h Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas bibirsaja. Kita berkata,

90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam sidang ini berapa % yang

memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal

itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan

rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan

Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip

permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya.

Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya

tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan

faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan

selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat!

Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara islam dan saudara-saudara kristen

bekerjalah sehebat- hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter

di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah matimatian, agar suapaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan

perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu adil, - fair play!. Tidak ada satu negara

boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di dalamnya. Jangan kira di

Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran

pikiran. Allah subhanahuwa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam

pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan

gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang

sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip

permusyawaratan

Priinsip No. 4 sekarang saya usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan

prinsip itu, yaitu prinsip k e s e j a h t e r a a n , p r i n s i p : t i d a k a k a n a d a k e

m i s k i n a n d i d a l a m I n d o n e s i a M e r d e k a. Saya katakan tadi:

prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy,

sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum

kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat #sejahtera, yang semua orang cukup

makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi

yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudarasaudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita

dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara

Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah

diEropah justru kaum kapitalis merajalela?

Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis

merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada

badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan- badan

perwakilan rakyat yang diadakan disana itu, sekedar menurut resepnya Franche

Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie disana itu hanyalah p o

l i t i e- k e democratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, -- tak ada k

e a d i l a n s o s i a l, tidak ada e k o n o m i s c h e democratie sama sekali.

Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang

menggambarkan politieke democratie. „Di dalam Parlementaire Democratie, kata Jean

Jaures, di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak p

o l i t i e k yang sama, tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam

parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di

kalangan rakyat?" Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: „Wakil kaum buruh

yang mempunyai hak p o l i t i e k itu, di dalam Parlement dapat menjatuhkan minister.

Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam paberik, - sekarang

ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos,

tidak dapat makan suatu apa".

Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?

Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan

demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni p o l i ti e k - e c o

m i s c h e democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat

Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil?

Yang dimakksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin

sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian,

menciptakan dunia-baru yang di dalamnya a d a keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil.

Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat mencinta

rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan

saja persamaan p o l i t i e k, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan e k o n o m i

kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.

Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan

permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang b e r sa m a d e n g a n m

a -s y a r a k a t dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale

rechtvaardigheid.

Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama,saudara-saudara, di dalam badan

permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di

dalam urusan kepada negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa

sebab? Oleh karena monarchie „vooronderstelt erfelijkheid", - turun-temurun. Saya

seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya meng-hendaki mufakat,

maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam

mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus

dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau

pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan

mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan

automatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat

kepada prinsip monarchie itu.

Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip:

1. Kebangsaan Indonesia.

2. Internasionalisme, - atau peri-kemanusiaan.

3. Mufakat, - atau demukrasi.

4. Kesejahteraan sosial.

Prinsip yang kelima hendaknya:

Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.

Prinsip K e t u h a n a n ! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing

orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan

menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad

s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.

Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang

tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap

rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada „egoisme-agama".

Dan hendaknya N e g a r a Indonesia satu N e g a r a yang bertuhan!

Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang b

e r k e a d a b a n . Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah h o r m a t - m e n g h o r m

a t i s a t u s a m a l a i n . (Tepuk tangan sebagian hadlirin).

Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid,

tentang menghormati agama- agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan

verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai

dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah K e t u h a n

a n y a n g b e r k e b u d a y a a n, Ketuanan yang berbudi pekerti yang luhur,

Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau

saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan

Yang Maha Esa!

Disinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara, segenap agama

yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan

Negara kita akan bertuhan pula!

Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya kita

mempropagandakan idee kita masing-masing dengan cara yang berkebudayaan!

Saudara-saudara! „Dasar-dasar Negara" telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah

Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti

kewajiban, sedang kita membicarakan d a s a r. Saya senang kepada simbolik. Simbolik

angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca

Inderia. Apa lagi yang lima bilangannya?

(Seorang yang hadir: Pendawa lima). Pendawapun lima oranya. Sekarang banyaknya

prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula

bilangannya.

Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang

teman kita ahli bahasa namanya ialah P a n c a S i l a. Sila artinya azas atau d a s a r,

dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.

(Tepuktangan riuh).

Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu?

Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah

„perasan" yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasardasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan

dan internasionalisme, kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah

yang dahulu saya namakan

s o c i o - n a t i o n a l i s m e .

Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek- economische demokratie,

yaitu politieke demokrasi d e n g a n sociale rechtvaardigheid, demokrasi d e n g a n

kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan

s o c i o -d e m o c r a t i e.

Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain.

Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan

ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi

barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar

saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu

itu?

Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang k i t a s e m u a

harus men-dukungnya. S e m u a b u a t s e m u a ! Bukan Kristen buat Indonesia,

bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat indonesia, bukan Nitisemito

yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, - s em u a b u a t s e m u a !

Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga

menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan „

g o t o ng - r o y o n g „.

Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara g o t o n g r o y o n g! Alangkah

hebatnya! N e g a r a G o t o n g R o y o n g !

(Tepuk tangan riuh rendah).

„Gotong Royong" adalah faham yang d i n a m i s , lebih dinamis dari„kekeluargaan",

saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong

menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang

terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe.

Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, b e r s a m a- s a m a !

Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama,

perjoangan bantu-binantu bersama. A m a l semua buat kepentingan semua, k e r i n g a

t semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!

Itulah Gotong Royong! (Tepuktangan riuh rendah).

Prinsip Gotong Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan

yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa

Indonesia. Inilah, saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara.

Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan,

mana yang Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila ataukah pancasila? Is i n y a telah saya

katakan kepada saudara-saudara semuanya.Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan

kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan

tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup

didalam masa peperangan, saudara- saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita

mendirikan negara Indonesia, - di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap

syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wata’ala, bahwa kita mendirikan negara

Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam

peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang

gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia

Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia

yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah

s.w.t.

Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi,

barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan bersifat sementara. Tetapi dasarnya,

isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca Sila.

Sebagai dikatakan tadi,saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah

saudara- saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjoang sejak tahun 1918 sampai

1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia,

untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhananan.

Panca Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh-puluh tahun.

Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah saudara-saudara. Tetapi saya sendiri

mengerti seinsyaf- insyafnya, bahwa tidak satu Weltaschauung dapat menjelma dengan

sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat

menjadi kenyataan, menjadi r e a l i t e i t , jika tidak dengan p e r j o an g a n !

Janganpun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan

Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen!

„D e Mensch", -- manusia! --, harus p e r j o a n g k a n itu. Zonder perjoangan itu

tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder

perjoangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder

perjoangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi

dari itu: zonder perjoangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita

agama, yang dapat menjadi realiteit. Janganpun buatan manusia, sedangkan perintah

Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op wit (tertulis di atas kertas), tidak

dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjoangan manusia yang dinamakan ummat

Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis didalam kitab Injil, cita-cita yang

termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjoangan ummat Kristen.

Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang saya usulkan itu,

menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan

perikemanusiaan, ingin hidup diatas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna

dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan keTuhanan yang luas dan sempurna, --janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjoangan, perjoangan, dan sekali lagi pejoangan. Jangan mengira

bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjoangan kita telah

berakhir.Tidak! Bahkan saya berkata: D i - d a l a m Indonesia Merdeka itu perjoangan

kita harus berjalan t e r u s, hanya lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain

coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus

menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan terutama di dalam

zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara,

bawa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak mengambil

risiko, -- tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalamdalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak

menekad-mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan

menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai keakhir jaman!

Kemerdekaan hanya- lah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobarkobar dengan tekad „Merdeka, -- merdeka atau mati"!

(Tepuk tangan riuh)

Saudara-sauadara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua.

Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta

tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik

terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap„verschrikkelijk zwaarwichtig" itu.

Terima kasih!

Disalin dari buku LAHIRNYA PANCASILA, Penerbit Guntur, Jogjakarta, Cetakan

kedua, 1949

Publikasi 28/1997 LABORATORIUM STUDI SOSIAL POLITIK INDONESIA