Monday 23 May 2022

Solusi Islam atas Krisis Kemanusiaan


Oleh : Didi Junaedi 

Di tengah derasnya arus modernitas, seringkali manusia terlena dan larut dalam dekapan budaya materialisme, konsumerisme dan hedonisme. Nilai-nilai yang bersifat materi disanjung dan dipuja, sementara nilai-nilai rohani dicibir dan diabaikan. Dari sisi materi mereka tidak kekurangan, bahkan berlimpah, tetapi sisi rohani mereka gersang, kering kerontang. Fisik mereka sehat, namun jiwa mereka kosong dan rapuh. Kenyataan inilah, yang pada gilirannya melahirkan manusia-manusia kosong, The Hollow Men, mereka tidak tahu lagi arah dan tujuan hidup ini.

Adalah Rollo May, seorang psikolog-humanis, menyebut kondisi ketidakberdayaan manusia bermain dalam pusaran arus modern, sebagai “manusia dalam kerangkeng”, sebuah kondisi kehidupan tak bermakna (the meaningless life).

Fenomena manusia modern semacam ini, digambarkan oleh Thomas Robert Marcuse, seorang Filosof Amerika abad dua puluh, sebagai ‘one dimension man’, manusia satu dimensi. Marcuse menegaskan, manusia masa kini telah terjebak pada kebutuhan-kebutuhan semu (pseudo needs) yang diciptakan oleh ekonomi konsumen dan politik kapitalis. Gejala seperti ini telah melembaga dalam kehidupan manusia dan mengikat manusia secara libidinal. Maksudnya, dalam memenuhi kebutuhannya, manusia semata-mata bersandar pada dorongan nafsu tanpa mengindahkan norma-norma yang berlaku, baik norma sosial, lebih-lebih norma agama.

Sebagai imbas dari kondisi masyarakat yang demikian bebas ini adalah lahirnya sebuah komunitas masyarakat yang, oleh Roderic C. Meredith disebut sebagai permissive society (masyarakat serba boleh). Permissive society, lanjut Roderic, tidak mengakui adanya kebenaran abadi (eternal truth).Dengan kata lain, kita bebas berbuat apa saja, dan tidak ada ruang bagi Tuhan untuk memberikan ancaman ataupun sanksi kepada kita.

Kondisi masyarakat yang demikian memprihatinkan ini pada gilirannya akan melahirkan berbagai persoalan kemanusiaan. Setiap hari manusia semakin terseret ke arah pengasingan (alienasi), tidak ada lagi waktu untuk menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan, keluhuran moral, dan kepekaan ruhaniah, bahkan makhluk ini justru tenggelam dalam gemerlapnya kehidupan, sehingga kerap memicu terjadinya penyelewengan-penyelewengan dan pemerosotan nilai-nilai tradisional.

Munculnya individu-individu yang arogan, amoral, anarkis, intoleran, baik di tingkat elite maupun grass root, merupakan dampak riil dari masyarakat serba boleh ini. Belum lagi tingginya tingkat kriminalitas, pergaulan bebas yang menjurus pada perilaku seks bebas (free sex) di kalangan remaja, merebaknya virus HIV yang mematikan disertai meningkatnya penderita AIDS, dan sederet persoalan sosial lainnya siap menghadang komunitas masyarakat yang mengedepankan nafsu semata tanpa mengindahkan norma-norma yang berlaku.

Dalam pandangan penulis, kondisi masyarakat seperti ini akan melahirkan distorsi nilai-nilai kemanusiaan, terjadi dehumanisasi yang disebabkan oleh kapasitas intelektual, mental dan jiwa yang tidak siap untuk mengarungi samudera peradaban modern.

Dalam kondisi seperti ini, hemat penulis, manusia membutuhkan guide yang mengarahkannya menuju ketenangan batin dan ketenteraman jiwa. Batin yang telah lama kering, mendambakan siraman spiritual. Sehingga kembali bangkit penuh optimisme menyongsong hari esok yang lebih cerah.

Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah kita (umat Islam) menyikapi kondisi yang sudah sedemikian memprihatinkan ini, langkah apa saja yang seharusnya kita ambil untuk dapat keluar dari krisis kemanusiaan ini?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, ada baiknya kita merenungkan penjelasan Husain Mazhahiri yang tertuang dalam bukunya berjudul ‘Awamil as-Saytharah ‘alaal-Gharaiz fi Hayat al-Insan. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa secara eksistensial, manusia terdiri dari dua dimensi. Hal ini sekaligus membantah tesis Marcuse tentang ‘manusia satu dimensi’.

Lebih lanjut Mazhahiri menjelaskan, dua dimensi yang inheren dalam diri manusia tersebut adalah dimensi ruhy dan jismy. Dalam dimensi ruhy terdapat beberapa komponen, antara lain: akal, nurani, hati, dan sebagainya. Dimensi ini disebut juga sebagai dimensi malakuti (kemalaikatan). Sementara dalam dimensi jismy terdapat beberapa komponen yang, hampir sama dengan yang terdapat pada binatang, seperti insting (naluri), nafsu, dan sebagainya. Oleh karena itu, dimensi ini disebut juga sebagai dimensihayawani. Lantas, bagaimanakah memadukan kedua dimensi ini sehingga pada gilirannya akan dapat berjalan secara serasi dan harmonis?

Al-Qur’an memberikan petunjuk agar manusia tidak terlena dalam pelukan nafsu duniawi yang merupakan perwujudan dari dimensi hayawani. Dalam Q. S. Al-Hijr: 29 Allah SWT menegaskan, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepada-Nya dengan bersujud.

Dari keterangan ayat di atas jelaslah bagi kita bahwa setelah ruh ditiupkan kepada kita, selanjutnya kita diperintahkan untuk bersujud, yakni beribadah dengan sepenuh hati secara ikhlas kepada Allah. Dengan melakukan pengabdian secara total kepada Allah, niscaya dimensi lain berupa nafsuhayawani yang ada dalam diri manusia dapat ditundukkan.

Namun ironisnya, sebagian besar dari umat manusia justru melupakan pesan suci berupa perintah untuk tunduk dan memasrahkan diri dengan beribadah kepada-Nya. Mereka bahkan dipengaruhi dan dikuasai oleh nafsu. Mereka menjadikan nafsu sebagai tuhan (ilah) dalam kehidupan ini. Padahal dalam ayat lain, Allah SWT secara tegas mengecam para ‘budak nafsu’, yaitu mereka yang menuhankan hawa nafsunya. Dalam Q. S. Al-Furqan: 44, Allah menyindir mereka yang menuhankan hawa nafsunya ibarat binatang ternak, bahkan lebih rendah dari itu. “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu.” (Q.S. Al-Furqan: 44)

Berkenaan dengan kehidupan modern dewasa ini, di mana sebagian besar manusia terlelap dalam pelukan nafsu duniawi yang mengedepankan pemenuhan materi (kebendaan), al-Qur’an jauh-jauh hari sebelumnya mengingatkan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara, …“Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. (Q. S. An-Nisa: 77). Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw juga menegaskan,“Dunia adalah ladang untuk kehidupan akhirat.”

Dengan demikian jelaslah bahwa ajaran Islam tidak memberikan ruang bagi bagi para pemuja nafsu, penganut kehidupan permisif, bahkan mereka diibaratkan oleh al-Qur’an lebih sesat dari binatang ternak sekalipun. Di samping itu, Islam menegaskan bahwa kehidupan dunia hanyalah persinggahan sesaat menuju perjalanan panjang, yaitu kehidupan akhirat yang kekal. Dan, hanya orang yang bertaqwa yang akan hidup bahagia di dalamnya. 


* Ruang Inspirasi, Jumat, 20 Mei 2022

Semua Bermula dari Pikiran


Oleh: Didi Junaedi 

Dari manakah datangnya kebahagiaan? Dari mana pula datangnya penderitaan? Di manakah letak kesenangan? Di mana pula letak kesedihan? Ternyata jawaban atas semua pertanyaan tersebut adalah: pikiran. Ya, pikiran adalah muara dari semua perasaan yang berkecamuk dalam diri kita. Dari pikiranlah kebahagiaan hadir, dari pikiran pula penderitaan datang. Berawal dari pikiran, kesenangan tercipta. Berangkat dari pikiran, kesedihan bermula. 

Kekuatan pikiran memang luar biasa. Ia mampu memengaruhi kondisi fisik dan psikis seseorang. Ia juga mampu memengaruhi perasaan dan sikap seseorang. Bahkan ia mampu menentukan masa depan seseorang. Apakah seseorang kelak menjadi pemenang ataukah pecundang. Semua tergantung bagaimana ia menggunakan serta memilih pikirannya.

Dr. Ibrahim Elfiky dalam Quwwat al-Tahakkum fi al-Dzat, mengutip kalimat bijak dari filsafat India Kuno, “Hari ini anda tergantung pada pikiran yang datang saat ini. Besok anda ditentukan oleh ke mana pikiran membawa anda.” Demikianlah kenyataannya. Perasaan dan perbuatan selalu dimulai dari pikiran. Pikiranlah yang menjadi pendorong setiap perbuatan dan dampaknya. Pikiranlah yang menentukan kondisi tubuh, jiwa, kepribadian dan rasa percaya diri.

James Allen dalam bukunya berjudul As A Man Thinketh mengatakan, “A person is limited only by the thoughts that he chooses.” (Seseorang dibatasi oleh pemikiran-pemikiran yang ia pilih sendiri).

Seseorang yang memenuhi otaknya dengan pikiran-pikiran negatif, hakekatnya telah membatasi dirinya sendiri untuk selalu berpikir negatif, sehingga pikiran-pikiran positif enggan mendekat padanya. Bisa dipastikan, kehidupannya pun tidak jauh dari hal-hal negatif. Kesedihan, kekecewaan, penderitaan serta keputusasaan akan selalu menyertai hari-harinya.  Pun demikian halnya dengan beragam sifat negatif lainnya, seperti iri hati, dendam, berburuk sangka, memandang rendah orang lain, sombong, egois serta berbagai sifat negatif lainnya akan selalu menghiasi kepribadiannya. Inilah konsekuensi dari pilihannya sendiri, yakni memilih berpikir negatif.

Di sisi lain, seseorang yang selalu memenuhi otaknya dengan pikiran-pikiran positif, hakekatnya telah membentengi dirinya dari masuknya pikiran-pikiran negatif. Maka, kehidupannya pun akan selalu diwarnai hal-hal positif. Sikap optimis, penuh semangat dan percaya diri dalam menghadapi pelbagai persoalan hidup akan selalu mewarnai hari-harinya. Kepribadiannya senantiasi dihiasi dengan beragam sifat positif; sabar, syukur, ikhlas, berbaik sangka, rendah hati (tawadlu’) serta berbagai sifat positif lainnya akan selalu melekat dalam kepribadiannya. Inilah dampak dari pikiran yang dipilihnya, berpikir positif.

Kebebasan untuk memilih pikiran itu diserahkan sepenuhnya kepada kita. Mau memilih pikiran-pikiran positif ataukah negatif. Dalam bahasa al-Qur’an, Allah Swt sudah menunjukkan kepada kita dua jalan. “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan kejahatan)”. (Q.S. Al-Balad: 10). Terserah kepada kita, jalan mana yang akan kita tempuh. Tetapi, satu hal yang harus kita ingat,  setiap orang akan menanggung konsekuensi dari jalan (pikiran) yang dipilihnya. 

Sekali lagi, hidup adalah pilihan. Dan pilihan itu ada pada diri kita masing-masing. Mau bahagia atau sengsara, senang atau susah, sabar atau putus asa, tergantung bagaimana kita menyikapi hidup ini.

Alangkah naifnya, jika hidup yang hanya sekali dan sebentar ini kita jalani dengan penuh kekecewaan, kesedihan serta putus asa. Hidup akan terasa nikmat dan penuh makna jika dijalani dengan penuh rasa syukur, sabar serta ikhlas dengan segala qadha dan qadar Allah.


* Ruang Inspirasi, Sabtu, 21 Mei 2022.

Membaca, Menulis, Mengajar


Oleh : Didi Junaedi 

Ada tiga aktivitas yang selalu berkait-kelindan satu dengan lainnya dalam keseharianku. Ketiga aktivitas tersebut adalah : membaca, menulis, dan mengajar.

Membaca, karena aku ingin memenuhi titah-Nya yang pertama kali diwahyukan kepada Sang Nabi akhir zaman. Membaca, karena aku sadar bahwa menjalani hidup harus dipandu dengan ilmu. Ilmu hanya bisa didapat dengan belajar. Dan salah satu cara paling efektif untuk belajar adalah dengan membaca.

Membaca, dalam pengertiannya yang luas adalah menghimpun, mengkaji, meneliti serta memahami ilmu yang tersurat dan termaktub dalam lembar demi lembar al-Qur’an, buku dan kitab, serta yang tersirat dalam fenomena kesaharian kita.

Dari aktivitas membaca ini aku mendapatkan ilmu dan pengetahuan tentang banyak hal, yang menjadi bekalku menjalani hidup dan kehidupan. Dari kegiatan membaca pula aku menjadi lebih terbuka dalam berpikir, berpendapat dan bersikap. Aku lebih mampu menenggang beda, memberi ruang kepada mereka yang tidak sependapat dan sepaham denganku dalam banyak hal. Karena aku sadar, ilmu Tuhan begitu luasnya, sementara pemahaman manusia begitu sempitnya. Tak layak dan tak elok bagiku untuk mencela mereka yang berbeda, mencaci mereka yang tak sevisi, menghujat mereka yang tak sependapat.

Sungguh, melalui aktivitas membaca ini aku benar-benar dibukakan lebar-lebar tentang ilmu Tuhan yang terbentang, pengetahuan Sang Alim yang tiada tanding tiada banding. Kalam suci pun menegaskan bahwa ilmu yang Tuhan berikan kepada hamba-Nya hanyalah sedikit. Dengan yang sedikit itu, apa yang bisa aku banggakan. Dengan yang sedikit itu, untuk apa aku mengencangkan urat hanya karena beda pendapat. Dengan yang sedikit itu, apa pantas aku membusungkan dada kepada sesama. Tidak! Sama sekali tidak! Ilmuku tidak ada setetes pun dari lautan ilmu-Nya yang tak bertepi. Karena itu, aku mewajibkan diriku untuk terus belajar, terus membaca, terus mengkaji dan meneliti, dan terus memahami sebatas kemampuanku.

Aktivitas selanjutnya yang terus aku lakukan setiap hari, dan aku berusaha untuk istiqamah adalah menulis. Ya, menulis adalah sebuah upaya untuk mengikat makna dari apa yang sudah aku baca, teliti, kaji dan pahami melalui lembar demi lembar kitab suci, buku, serta kitab yang ditulis oleh ilmuwan masa lalu, juga pengalaman hidup yang aku jalani, alami dan rasakan.

Menulis, adalah seruan Tuhan selanjutnya setelah perintah membaca. Menulis adalah mengikat ilmu yang sudah kita dapat, agar tidak mudah lapuk ditelan waktu, hilang digilas zaman. Dengan menulis, aku mengabadikan ilmu dan pengetahuan. Dengan menulis aku tuangkan seluruh gagasan, pemahaman, serta pandangan-pandanganku tentang segala hal. Dengan menulis pula, aku melatih mengorganisasi pikiran melalui kata-kata yang teratur, sitematis dan logis. Berbeda dengan berbicara yang cenderung tidak beraturan, dan seringkali ngelantur ke sana kemari. Menulis membutuhkan pengorganisasian kalimat yang baik, pemilihan diksi yang tepat, serta mematuhi kaidah bahasa yang sudah ditetapkan.

Menulis juga menghadirkan perasaan lega, plong, bebas, dan lepas dari beban pikiran dan masalah yang sedang menggelayut di benak. Menulis mampu merelaksasi pikiran dan perasaan. Bahkan, dalam sejumlah penelitian disebutkan bahwa menulis mampu meningkatkan imunitas tubuh, membuat tubuh lebih sehat, dan menjadikan seseorang yang membiasakannya terlihat awet muda.

Menulis, apalagi jika diterbitkan menjadi sebuah buku, bisa dijadikan monumen sajarah kehidupan seseorang. Atas dasar itu pula aku begitu semangat menulis. Alhamdulillah, sejauh ini sudah puluhan bahkan belasan karyaku berupa buku yang diterbitkan. Aku berharap, karya-karya tersebut menjadi penanda eksistensi dan kehadiranku di dunia ini, meski kelak aku sudah meninggalkan dunia fana ini. Dan, yang jauh lebih penting dari itu semua, aku berharap karya-karya tersebut mampu menghadirkan manfaat dan keberkahan, baik untuk diriku sendiri sebagai penulis, lebih-lebih untuk orang lain yang membaca karya-karyaku. Dan harapan tertingginya adalah, semoga kelak di hadapan Tuhan, karya-karya tersebut bisa menjadi pemberat timbangan amal kebaikanku. Amiin...

Aktivitas berikutnya, yang tak pernah lepas dari keseharianku adalah mengajar. Mengajar di sini, baik yang bersifat formal seperti memberikan kuliah di sejumlah kampus, maupun informal seperti menyampaikan materi ceramah di masyarakat, seminar, bedah buku dan aktivitas lainnya yang berkaitan dengan memberikan pembelajaran kepada khalayak secara luas.

Aktivitas mengajar ini adalah salah satu bukti atau wujud dari upaya mengamalkan imu yang telah aku dapatkan. Setelah mendapat informasi, ilmu dan pengetahuan melalui aktivitas membaca, atau belajar dari pengalaman hidup, kemudian aku tuangkan dalam bentuk tulisan, mengajar adalah bentuk lain dari tanggung jawab moralku sebagai seorang akademisi, khususnya, dan sebagai hamba Tuhan yang mengemban misi kekhalifahan. Salah satu tugas seorang khalifah adalah memberikan pemahaman, penyadaran dan pencerdasan kepada masyarakat secara luas. Nah, mengajar adalah cara yang paling tepat untuk mewujudkan misi kekhalifahan itu.

Mengajar aku maknai tidak sekadar sebagai transfer of knowledge semata, tetapi lebih dari itu, mengajar adalah sebuah proses pembentukan karakter (character buliding). Melalui aktivitas mengajar ini aku dapat ikut berperan aktif membentuk kepribadian masyarakat dan bangsa, dengan menyampaikan materi-materi yang mampu mencerdaskan, mencerahkan dan menggugah kesadaran setiap individu untuk menjadi lebih baik.

Dengan mengajar aku belajar memahami karakter setiap orang yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Melalui aktivitas mengajar ini aku belajar menyikapi setiap perbedaan yang muncul. Aku menjadi lebih peka dan pada gilirannya terampil mencari solusi terbaik dalam menyikapi ragam perbedaan yang ada.

Inilah tiga aktivitas yang selalu berkait-kelindan dalam keseharianku, dan pada gilirannya membuatku lebih bijak dan dewasa dalam menyikapi hidup dan kehidupan: membaca, menulis, mengajar.


* Ruang Inspirasi, Ahad, 22 Mei 2022.

Tidak Merendahkan Orang Lain


Oleh : Didi Junaedi 

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh Jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok),  dan jangan pula perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh Jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saing mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Hujurat: 11)

Di antara etika dalam pergaulan yang harus kita jaga, agar hubungan dengan sesama tetap terjalin dengan baik adalah saling menghormati dan menghargai antarsesama. Ya, jika kita ingin dihormati orang lain, maka kita harus menghormati orang lain. Pun jika kita ingin dihargai orang lain, kita juga harus menghargai orang lain. Inilah hukum universal yang berlaku di mana-mana.

Ironisnya, dalam fenomena sehari-hari yang kita lihat, sikap saling menghormati dan menghargai satu sama lain kian hari kian memudar. Justru sikap merendahkan serta meremehkan orang lain, entah dalam konteks gurauan, atau memang serius, sering kita jumpai dalam pergaulan sehari-hari.
  
Disadari atau tidak, setiap orang tentu ingin diakui keberadaanya. Dan untuk mendapatkan pengakuan itu, ada seribu satu macam cara yang dilakukan seseorang untuk menunjukkan eksistensinya. Ada yang menunjukkan eksistensinya dengan cara memamerkan kekayaannya. Ada yang menunjukkan keberadaannya dengan jabatan yang dimilikinya. Ada pula yang berharap diakui eksistensinya dengan menunjukkan keilmuannya. Tetapi tidak sedikit pula yang ingin ‘dianggap’ oleh orang lain dengan mengunggulkan dirinya sekaligus menjatuhkan dan merendahkan orang lain. Cara terakhir ini adalah cara yang paling sering dilakukan seseorang, baik dalam dunia bisnis, dunia kerja atau dunia pergaulan pada umumnya.

Banyak di antara kita yang merasa ‘lebih’ dari orang lain. Sehingga sadar atau tidak, berimbas pada sikap kita yang menganggap rendah orang lain. Padahal merendahkan orang lain adalah bagian dari sikap takabbur. Sebagaimana diungkapkan para ulama tentang definisi takabbur yaitu: “menolak kebenaran dan meremehkan manusia”.

Iblis laknatullah ‘alaih adalah sosok makhluk yang pertama kali melakukan kesombongan (takabbur) dengan merasa lebih baik, sekaligus merendahkan Adam a.s. Dia menolak perintah Allah untuk sujud (hormat) keapada Adam a.s. Alasannya adalah bahwa dia merasa lebih baik, karena diciptakan dari api, sedangkan Adam a.s. diciptakan dari tanah.

Sikap merasa paling baik sekaligus merendahkan yang lain inilah yang akhirnya menyebabkan iblis diusir dari surga dan menjadi musuh utama manusia hingga kiamat tiba.

Jika belajar dari sejarah iblis dengan kesombongannya itu, niscaya kita akan mendapatkan sebuah pelajaran penting, bahwa sikap merendahkan orang lain adalah salah satu dosa yang sangat dibenci Allah Swt. Karena yang paling berhak untuk takabbur adalah Allah. Dialah Al-Mutakabbir. Tiada yang berhak untuk takabbur selain Allah. 

Dalam pergaulan sehari-hari, orang-orang yang merasa lebih atau bahkan paling dari orang lain, akan mendapat kecaman. Tidak akan ada seorang pun yang simpatik kepada mereka yang senang merendahkan orang lain. Karena, pada hakekatnya setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan (mazaya wa ‘uyub, more and less). Tidak ada manusia yang sempurna. Setiap manusia pasti memiliki kekurangan. Sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk merasa lebih baik dari orang lain apalagi merendahkan orang lain.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa dahulu ketika Nabi Muhammad Saw. di Madinah, ada seseorang yang jika sholat, dia sudah datang sebelum sahabat Nabi datang. Dan masih sholat, saat sahabat Nabi pulang. Kagum atas ibadah orang ini, sahabat Nabi menceritakan kepada Nabi. Ketika Nabi melihatnya, Nabi berkata, “Aku seperti melihat bekas tamparan setan diwajahnya.”Lalu Nabi mendatangi orang tersebut dan bertanya,”Apakah ketika kamu sholat, kamu merasa tidak ada yang lebih baik dari dirimu?” “Benar, “ jawab orang tersebut, sambil masuk ke mesjid. Nabi Muhammad lalu berkata kepada sahabatnya,”Kelak akan muncul kaum dari keturunan orang tersebut. Bacaan al-Quran kamu tidak ada nilainya dibandingkan bacaan mereka, dan sholat kamu tidak ada nilainya dibandingkan sholat mereka, dan puasa kamu tidak ada artinya dibandingkan puasa mereka. Mereka membaca al-Quran sehingga kamu akan menyangka bahwasanya al-Quran itu milik mereka saja, padahal sebenarnya al-Quran itu akan melaknat mereka. Umatku akan menderita di tangan mereka. Merekalah seburuk-buruknya manusia. Jika aku hidup saat itu, aku akan bangkit melawan mereka. (Shahih Bukhari Muslim).


*  Ruang Inspirasi, Senin, 23 Mei 2022.

Nikmat-Nya Tak Bertepi, Sayang-Nya Tak Berkesudahan



Oleh : Didi Junaedi 

"Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nahl [16]: 18)

Maksud dari ayat di atas adalah bahwa manusia tidak akan pernah mampu mengetahui serta memahami nikmat Allah secara sempurna. Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan akal manusia, sementara nikmat Allah begitu luasnya. Allahlah yang mengatur seluruh aktivitas anggota tubuh manusia secara sempurna, sementara manusia tidak memahaminya. Ketaatan manusia tidak akan pernah bisa membayar semua nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Demikian dijelaskan oleh Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih al-Gaib.

Di dalam diri kita, begitu banyak nikmat Allah yang tak terhingga. Menurut sejumlah penelitian ilmiah bahwa otak manusia memiliki 100 miliar sel lebih. Otak manusia lebih cepat dari cahaya. Padahal kecepatan cahaya adalah 186 mil/detik. Otak manusia juga mampu menyimpan lebih dari 200.000 informasi/detik.

Mata kita memiliki kemampuan untuk membedakan lebih dari 10.000.000 warna dengan cepat. Penciuman kita mampu mengenal lebih dari 50.000 jenis bau-bauan dalam tempo yang singkat. Indra pengecap kita mampu mengenali banyak benda yang dingin, hangat, manis, pahit, dan berbagai rasa lainnya. Kerja jantung kita pun sangat mengagumkan, ia berdegup lebih dari 100.000 kali setiap hari.

Itu semua adalah nikmat yang Allah berikan kepada kita. Jika kita mampu melihat semua potensi yang kita miliki, maka kita akan senantiasa bersyukur atas nikmat Allah yang tak terhingga.

Nikmat sehat juga tidak kalah pentingnya untuk kita syukuri. Setiap hari kita dapat bebas bernapas tanpa dipungut biaya sepeserpun. Bayangkan jika setiap tarikan napas, kita dibebani biaya lima rupiah saja. Berapa banyak uang yang harus kita keluarkan untuk membayar ongkos bernapas setiap hari, yang mana bisa jadi kita akan bernapas ratusan atau bahkan ribuah kali. Lihatlah bagaimana kondisi saudara-saudara kita yang tengah terbaring di ruang ICU, yang untuk bernapas saja harus menggunakan bantuan tabung oksigen yang harganya ratusan ribu rupiah. Dan masih banyak lagi nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita, yang sering kali tidak kita sadari.

Maka, nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang kau dustakan. Allah maha Rahman dan Rahim. Allah menyayangi hamba-hamba-Nya melebihi kasih sayang orangtua terhadap anaknya. Limpahan kasih-Nya tak bertepi, curahan sayang-Nya tak berkesudahan. 


* Ruang Inspirasi, Selasa, 24 Mei 2022.

Thursday 19 May 2022

Hikmah Al-Kahf & Hikmah Kehidupan- 2


Imam Shamsi Ali* 

Surah Al-Kahf adalah Surah Makkiyah atau surah yang diturunkan sebelum Hijrah Rasulullah SAW. Hal itu karena memang Al-Kahf secara mendasar mencakup masalah-masalah keimanan yang pada periode Mekah ini menjadi topik utama misi da’wah Rasulullah SAW. 

Dari awal hingga akhir Surah ini berbicara banyak tentang iman dan bagaimana menguatkan keimanan. Keimanan kepada Al-Quran sebagai cahaya, keimanan kepada Allah dan tanda-tanda kebesaranNya, kepada Rasul, hingga kepada masalah-masalah hari kemudian. 

Kembali kepada isu pembahasan kita tentang fitnah kehidupan. Surah ini menyampaikan 5 bentuk fitnah kehidupan yang rentang menjangkiti manusia. Kelima bentuk fitnah ini akan dijelaskan mungkin saja tidak secara rinci. Tapi minimal bisa memberikan gambaran betapa dahsyatnya fitnah dan goncangan hidup ini. 

Kelima bentuk fitnah itu adalah 1) fitnah dalam beragama. 2) fitnah dunia. 3) fitnah keilmuan. 4) fitnah kekuasaan. 5) fitnah akhir zaman. 

Kelima fitnah ini, walaupun disebutkan secara terpisah, sesungguhnya saling terkait. Dari fitnah yang menggoncang kehidupan beragama misalnya menjadi jalan bagi ragam fitnah yang menggoncang hidup manusia. Sebaliknya Fitnah dunia begitu dahsyat dalam menggoyahkan kehidupan beragama jika tidak dihadapi secara baik dan bijak. 

Fitnah dalam beragama 

Fitnah pertama sekaligus ujian terbesar dalam kehidupan manusia adalah fitnah dalam kehidupan beragama. Bentuk fitnah inilah yang pertama disebutkan dalam Surah Al-Kahf. Kisah Ashabul Kahfi atau kisah anak-anak muda (fityah) yang ditidurkan oleh Allah SWT selama 309 tahun dalam sebuah gua adalah cerita perjuangan panjang dalam mempertahankan iman dan agama. 

Saya tidak bermaksud mengulang kembali kisah yang diceritakan cukup panjang di Surah ini. Hanya saja esensi dari kisah ini adalah sekelompok Anak muda yang dengan penuh kesadaran melarikan diri dari tekanan penguasa jahat, yang phobia terhadap agama. 

Demi menyelamatkan iman mereka melarikan diri bersembunyi dalam sebuah gua (Kahf) yang juga menjadi nama Surah ini. Karena proses penyelamatan iman ini adalah proses panjang maka mereka pun ditidurkan sedemikian lama agar keberadaan mereka tidak teridentifikasi oleh sang raja (penguasa). 

Pada akhirnya setelah sekian lama bersembunyi (tertidur) dan setelah Allah dengan caraNya telah melakukan perubahan sosial, mereka disadarkan (dibangunkan). Singkatnya mereka pun sadar apa yang terjadi selama ini. Dan masyarakat sekitar juga hanya tahu tentang kebesaran dan kehebatan perjuangan mereka. 

Dari kisah ini banyak pelajaran yang dapat dipetik. Satu, bahwa betapa mempertahankan iman itu bukan jalan mudah. Tapi akan penuh fitnah dan tantangan, yang justeru menjadi merupakan proses panjang untuk penguatan iman itu sendiri. 

Allah menegaskan: “Apakah manusia akan dibiarkan mengaku beriman tanpa diuji? Sungguh Kami (Allah) telah menguji orang-orang sebelum mereka untuk mengetahui siapa yang sunggu-sungguh (dalam iman) dan siapa yang berdusta dengan keimanan (munafik)”. 

Beberapa ayat lain menjelaskan perjalanan iman manusia. Bahkan pada akhirnya Allah menegaskan: “Apakah kalian menyangka akan masuk syurga sedangkan Allah belum mengetahui siapa do antara kalian yang berjuang dan mengetahui siapa yang bersabar?”. 

Hal terpenting lainnya yang dipahami dari ayat ini adalah betapa Islam mengedepankan peranan generasi muda dalam pertahanan (perjuangan) keimanan itu. Kisah Ashabul Kahf mengajarkan bahwa soliditas iman generasi muda merupakan “backbone” (tulang punggung) dari masyarakat Muslim. 

Sekaligus mengajarkan kepada kita, khususnya mereka yang berada di negara-negara minoritas Muslim, bahwa cerminan masa depan Islam dan umat itu ada pada keadaan dan realita generasi muda. Kuatnya generasi muda sekaligus pertanda masa depan yang optimis. Sebaliknya lemahnya generasi muda dalam iman juga indikasi ancaman masa depan Islam dan Umat. 

Hal terpenting lainnya dari kisah ini adalah betapa kekuasaan (penguasa) yang jahat adalah fitnah terbesar bagi keagamaan manusia. Kekuasaan itu bermata ganda, bermata madu atau racun. 

Dalam sejarah memang diketahui bahwa tantangan terbesar misi para nabi itu adalah penguasa. Dari nabi Luth dengan pembesar-pembesar, Ibrahim dengan Namrud, Musa dengan Fir’aun, hingga kepada Muhammad dengan Abu Lahab, Abu Jahal, dan lainnya. 

Dan Karenanya Lisa ini mengingatkan kita agar untuk memastikan kekuasaan itu bermata madu, manis dan manfaat, bahkan membawa keberkahan dunia akhirat, peranan pemuda menjadi sangat signifikan. Sejarah membuktikan, khususnya sejarah Umat ini, bahwa  peranan pemuda selalu berada di garda terdepan. 

Jika pemuda tidak memainkan peranan dalam mengawal kekuasaan, maka yang rusak bukan hanya masa kini. Tapi pastinya masa depan generasi menjadi suram. Dan Karenanya dalam sebuah tatanan masyarakat (bangsa) pemuda harus memiliki sensitifitas dan keberanian untuk mengawal kekuasaan. Mendukung jika benar dan baik. Sebaliknya berani mengoreksi jika buruk dan salah. 

Itulah makna-makna penting dari Kisah Ashabul Kahf dalam rangka memahami fitnah kehidupan beragama. Betapa pentingnya mengawal iman dan kehidupan yang sejalan dengan agama. Termasuk di dalamnya mengawal kekuasaan yang rentang menjadi jalan kerusakan iman dan agama jika dibiarkan begitu saja. 

Semoga kisah ini mengingatkan kita dan menjadi pelajaran dalam kehidupan kita. Amin! (Bersambung….). 

Manhattan, 19 Mei 2022 

* Presiden Nusantara Foundation

Tebar Manfaat Setiap Saat


Oleh : Didi Junaedi 

‎"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia." (Nabi ‎Muhammad Saw)‎

Tak bosan-bosannya saya mengutip sabda Nabi Saw yang sangat inspiratif dan ‎visioner ini. Karena kandungan maknanya yang demikian dalam, jika kita mau ‎merenungkannya.‎

Ya, manusia terbaik adalah yang kehadirannya memberi manfaat bagi orang lain di ‎sekitarnya. Manusia terbaik adalah yang keberadaannya menjadi solusi, memberi rasa nyaman, ‎menghadirkan kedamaian, menciptakan kesejukan.‎

Contoh paling nyata adalah Rasulullah Saw. Kehadiran beliau di setiap tempat dan ‎kesempatan selalu memberikan kesejukan, melahirkan kedamaian, menciptakan kenyamanan. ‎Tidak pernah sekali pun terbaca dalam sejarah hidup beliau (Sirah Nabawiyah), bahwa ‎keberadaan Rasulullah Saw membuat kekacauan, menciptakan keonaran, menghadirkan ‎ketidaknyamanan.‎

Beliau adalah prototipe ideal manusia sempurna (insan kamil). Ucapan, tindakan ‎serta sikap beliau adalah cerminan ajaran al-Qur'an yang merupakan terjemah atas ungkapan ‎‎"rahmatan li al-'alamiin" ( rahmat untuk semesta). Sehingga tepat jika beliau disebut sebagai ‎‎"The Living Qur'an" atau Al-Qur'an yang Hidup.‎

Pesan Rasulullah Saw di atas adalah bahwa hendaknya setiap orang selalu berusaha ‎untuk menghadirkan manfaat bagi orang lain. Karena dengan cara inilah ia akan memperoleh ‎posisi yang mulia di mata manusia, dan tempat yang tinggi di sisi Allah SWT.‎

Di antara cara untuk menghadirkan manfaat, menjadi solusi, serta memberi kebaikan ‎kepada orang lain adalah dengan berkarya untuk kemanusiaan. Apa pun profesi serta ‎pekerjaan kita, sedapat mungkin untuk menghadirkan karya yang bermanfaat bagi orang lain.‎

Jika kita seorang ustadz, guru atau dosen yang punya tanggung jawab untuk ‎mendidik para santri, murid, serta mahasiswa, maka tunaikanlah tugas mulia tersebut dengan ‎penuh dedikasi, berlandaskan niat yang tulus, berorientasi ibadah, dengan tetap menjunjung ‎tinggi nilai-nilai profesionalisme.‎

Berikanlah kepada anak didik kita kemampuan terbaik yang kita miliki. Ciptakan ‎karya serta inovasi dalam mengajar dan mendidik mereka, agar mereka pun kelak menjadi ‎manusia-manusia terbaik.‎

Jika kita seorang pedagang, berikanlah pelayanan terbaik untuk para pembeli dan ‎pelanggan kita. Hiasi cara berdagang kita dengan kejujuran, keramahan, serta terus ‎meningkatkan kualitas produk barang dagangan kita, sehingga pembeli dan pelanggan kita ‎merasa aman dan nyaman.‎

Jika kita seorang pejabat yang tengah berkuasa, maka berkhidmatlah, layanilah rakyat ‎sepenuh hati segenap rasa. Bukankah Rasulullah Saw pernah mengingatkan, "Sayyid al-qaumi ‎khaadimuhum"? Pemimpin suatu kaum adalah pelayannya. Buatlah aturan serta kebijkan yang ‎berpihak kepada rakyat, bukan hanya menguntungkan kelompok serta golongan tertentu saja.‎

Jika kita seorang penulis, lahirkanlah karya-karya yang bermanfaat, menggugah dan ‎menginspirasi masyarakat pembaca. Jangan pernah meracuni pembaca dengan karya-karya ‎yang merusak moral, menghancurkan masa depan anak bangsa.‎

Teruslah berkarya tanpa jeda, untuk menghadirkan manfaat sepanjang masa.‎

Singkatnya, apa pun pekerjaan dan profesi yang saat ini kita miliki dan jalani, jadikan ‎sebagai ladang amal untuk beribadah kepada Allah, berbuat baik kepada sesama, menebar ‎manfaat sebanyak-banyaknya.‎


* Ruang Inspirasi, Ahad, 20 Maret 2022

Solusi Islam atas Krisis Kemanusiaan


Oleh : Didi Junaedi 

Di tengah derasnya arus modernitas, seringkali manusia terlena dan larut dalam dekapan budaya materialisme, konsumerisme dan hedonisme. Nilai-nilai yang bersifat materi disanjung dan dipuja, sementara nilai-nilai rohani dicibir dan diabaikan. Dari sisi materi mereka tidak kekurangan, bahkan berlimpah, tetapi sisi rohani mereka gersang, kering kerontang. Fisik mereka sehat, namun jiwa mereka kosong dan rapuh. Kenyataan inilah, yang pada gilirannya melahirkan manusia-manusia kosong, The Hollow Men, mereka tidak tahu lagi arah dan tujuan hidup ini.

Adalah Rollo May, seorang psikolog-humanis, menyebut kondisi ketidakberdayaan manusia bermain dalam pusaran arus modern, sebagai “manusia dalam kerangkeng”, sebuah kondisi kehidupan tak bermakna (the meaningless life).

Fenomena manusia modern semacam ini, digambarkan oleh Thomas Robert Marcuse, seorang Filosof Amerika abad dua puluh, sebagai ‘one dimension man’, manusia satu dimensi. Marcuse menegaskan, manusia masa kini telah terjebak pada kebutuhan-kebutuhan semu (pseudo needs) yang diciptakan oleh ekonomi konsumen dan politik kapitalis. Gejala seperti ini telah melembaga dalam kehidupan manusia dan mengikat manusia secara libidinal. Maksudnya, dalam memenuhi kebutuhannya, manusia semata-mata bersandar pada dorongan nafsu tanpa mengindahkan norma-norma yang berlaku, baik norma sosial, lebih-lebih norma agama.

Sebagai imbas dari kondisi masyarakat yang demikian bebas ini adalah lahirnya sebuah komunitas masyarakat yang, oleh Roderic C. Meredith disebut sebagai permissive society (masyarakat serba boleh). Permissive society, lanjut Roderic, tidak mengakui adanya kebenaran abadi (eternal truth).Dengan kata lain, kita bebas berbuat apa saja, dan tidak ada ruang bagi Tuhan untuk memberikan ancaman ataupun sanksi kepada kita.

Kondisi masyarakat yang demikian memprihatinkan ini pada gilirannya akan melahirkan berbagai persoalan kemanusiaan. Setiap hari manusia semakin terseret ke arah pengasingan (alienasi), tidak ada lagi waktu untuk menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan, keluhuran moral, dan kepekaan ruhaniah, bahkan makhluk ini justru tenggelam dalam gemerlapnya kehidupan, sehingga kerap memicu terjadinya penyelewengan-penyelewengan dan pemerosotan nilai-nilai tradisional.

Munculnya individu-individu yang arogan, amoral, anarkis, intoleran, baik di tingkat elite maupun grass root, merupakan dampak riil dari masyarakat serba boleh ini. Belum lagi tingginya tingkat kriminalitas, pergaulan bebas yang menjurus pada perilaku seks bebas (free sex) di kalangan remaja, merebaknya virus HIV yang mematikan disertai meningkatnya penderita AIDS, dan sederet persoalan sosial lainnya siap menghadang komunitas masyarakat yang mengedepankan nafsu semata tanpa mengindahkan norma-norma yang berlaku.

Dalam pandangan penulis, kondisi masyarakat seperti ini akan melahirkan distorsi nilai-nilai kemanusiaan, terjadi dehumanisasi yang disebabkan oleh kapasitas intelektual, mental dan jiwa yang tidak siap untuk mengarungi samudera peradaban modern.

Dalam kondisi seperti ini, hemat penulis, manusia membutuhkan guide yang mengarahkannya menuju ketenangan batin dan ketenteraman jiwa. Batin yang telah lama kering, mendambakan siraman spiritual. Sehingga kembali bangkit penuh optimisme menyongsong hari esok yang lebih cerah.

Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah kita (umat Islam) menyikapi kondisi yang sudah sedemikian memprihatinkan ini, langkah apa saja yang seharusnya kita ambil untuk dapat keluar dari krisis kemanusiaan ini?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, ada baiknya kita merenungkan penjelasan Husain Mazhahiri yang tertuang dalam bukunya berjudul ‘Awamil as-Saytharah ‘alaal-Gharaiz fi Hayat al-Insan. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa secara eksistensial, manusia terdiri dari dua dimensi. Hal ini sekaligus membantah tesis Marcuse tentang ‘manusia satu dimensi’.

Lebih lanjut Mazhahiri menjelaskan, dua dimensi yang inheren dalam diri manusia tersebut adalah dimensi ruhy dan jismy. Dalam dimensi ruhy terdapat beberapa komponen, antara lain: akal, nurani, hati, dan sebagainya. Dimensi ini disebut juga sebagai dimensi malakuti (kemalaikatan). Sementara dalam dimensi jismy terdapat beberapa komponen yang, hampir sama dengan yang terdapat pada binatang, seperti insting (naluri), nafsu, dan sebagainya. Oleh karena itu, dimensi ini disebut juga sebagai dimensihayawani. Lantas, bagaimanakah memadukan kedua dimensi ini sehingga pada gilirannya akan dapat berjalan secara serasi dan harmonis?

Al-Qur’an memberikan petunjuk agar manusia tidak terlena dalam pelukan nafsu duniawi yang merupakan perwujudan dari dimensi hayawani. Dalam Q. S. Al-Hijr: 29 Allah SWT menegaskan, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepada-Nya dengan bersujud.

Dari keterangan ayat di atas jelaslah bagi kita bahwa setelah ruh ditiupkan kepada kita, selanjutnya kita diperintahkan untuk bersujud, yakni beribadah dengan sepenuh hati secara ikhlas kepada Allah. Dengan melakukan pengabdian secara total kepada Allah, niscaya dimensi lain berupa nafsuhayawani yang ada dalam diri manusia dapat ditundukkan.

Namun ironisnya, sebagian besar dari umat manusia justru melupakan pesan suci berupa perintah untuk tunduk dan memasrahkan diri dengan beribadah kepada-Nya. Mereka bahkan dipengaruhi dan dikuasai oleh nafsu. Mereka menjadikan nafsu sebagai tuhan (ilah) dalam kehidupan ini. Padahal dalam ayat lain, Allah SWT secara tegas mengecam para ‘budak nafsu’, yaitu mereka yang menuhankan hawa nafsunya. Dalam Q. S. Al-Furqan: 44, Allah menyindir mereka yang menuhankan hawa nafsunya ibarat binatang ternak, bahkan lebih rendah dari itu. “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu.” (Q.S. Al-Furqan: 44)

Berkenaan dengan kehidupan modern dewasa ini, di mana sebagian besar manusia terlelap dalam pelukan nafsu duniawi yang mengedepankan pemenuhan materi (kebendaan), al-Qur’an jauh-jauh hari sebelumnya mengingatkan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara, …“Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. (Q. S. An-Nisa: 77). Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw juga menegaskan,“Dunia adalah ladang untuk kehidupan akhirat.”

Dengan demikian jelaslah bahwa ajaran Islam tidak memberikan ruang bagi bagi para pemuja nafsu, penganut kehidupan permisif, bahkan mereka diibaratkan oleh al-Qur’an lebih sesat dari binatang ternak sekalipun. Di samping itu, Islam menegaskan bahwa kehidupan dunia hanyalah persinggahan sesaat menuju perjalanan panjang, yaitu kehidupan akhirat yang kekal. Dan, hanya orang yang bertaqwa yang akan hidup bahagia di dalamnya. 


* Ruang Inspirasi, Jumat, 20 Mei 2022

Wednesday 18 May 2022

Terangi Dunia


Oleh : Didi Junaedi 

‎“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”‎ (Nabi Muhammad Saw)‎

Misi mulia yang diemban setiap manusia di muka bumi ini adalah ‎menghadirkan kebaikan serta manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh ‎alam (rahmatan lil ‘alamin).‎

Untuk mewujudkan misi tersebut, Tuhan menganugerahi akal ‎kepada manusia untuk berpikir, menggali informasi, mempelajari ilmu ‎pengetahuan untuk menerangi alam ini dengan cahaya ilmu ‎pengetahuan tersebut.‎

Tuhan juga menganugerahi hati kepada manusia untuk merasa, ‎berempati serta peduli kepada sesama. Dengan hati diharapkan ‎seseorang dapat menerangi kehidupan ini dengan sikap yang santun, ‎ramah, peduli serta empati terhadap orang lain.‎

Betapa indahnya dunia ini ketika setiap orang berusaha untuk ‎memberi manfaat kepada orang lain, dengan kemampuan yang dia ‎miliki. Dia tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga ‎memikirkan orang lain, peduli, peka serta mudah tersentuh nuraninya ‎untuk dapat memberikan sesuatu untuk orang lain.‎

Namun kenyataannya, tidak jarang kita saksikan orang-orang ‎yang memiliki ilmu serta pengetahuan yang tinggi, alih-alih digunakan ‎untuk menerangi dunia, tetapi justru untuk menunjukkan siapa dirinya. ‎Dia banggakan ilmu yang dimilikinya. Dia anggap orang lain lebih rendah ‎darinya. Dia hanya mau membagikan ilmunya jika ada harga yang ‘pas’ ‎untuknya. ‎

Demikian juga halnya dengan para pemilik harta, orang-orang ‎kaya. Alih-alih berbagi kebahagiaan dengan orang lain, justru seringkali ‎kekayaan yang dimilikinya dijadikan ajang pamer kemewahan, unjuk ‎status sosial, yang justru menyakiti hati para kaum papa.‎

Setali tiga uang dengan para pejabat yang memiliki kedudukan ‎dan posisi yang tinggi di masyarakat, alih-alih memikirkan bagaimana ‎nasib rakyat yang dipimpinnya, mereka justru sibuk memenuhi pundi-‎pundi kekayaan mereka. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, ‎seringkali tidak memihak kepada rakyat, tetapi memihak kepada ‎kepentingan mereka sendiri.‎

Jika kondisi para pemilik ilmu pengetahuan, pemilik harta, serta ‎pemilik kedudukan dan jabatan sudah sedemikian memprihatinkan, ‎maka jangan harap kehidupan ini akan terang benderang, yang ada ‎justru gelap gulita.‎

Sungguh indah jika setiap orang yang berilmu mau berbagi ‎ilmunya kapan saja, kepada siapa saja, tanpa ada pamrih apa pun, ‎selain berharap ridla Tuhan dan juga sebagai wujud tanggung jawab ‎kemanusiaan.‎

Sungguh indah jika setiap orang yang memiliki kekayaan mau ‎berbagai kebahagiaan dengan hartanya kepada siapa pun yang ‎membutuhkannya tanpa ada pamrih berupa pujian dan sanjungan, ‎semata-mata karena mengharap ridla Tuhan, dan karena sikap empati ‎yang ada dalam dirinya.‎

Sungguh indah jika setiap orang yang memiliki kedudukan dan ‎jabatan mau berjuang demi kesejahteraan umat manusia dengan ‎kedudukan serta jabatan yang dimilikinya, tanpa pamrih apa pun, hanya ‎semata-mata mengharap ridla Tuhan, dan karena panggilan jiwa akan ‎tanggung jawab amanat yang sedang diembankan kepadanya.‎

Sungguh betapa dunia ini akan terang benderang, jika orang-‎orang yang memiliki ilmu, harta dan kedudukan mau berbagi, peduli, ‎serta empati terhadap sesama. ‎

Dunia ini pasti akan damai, ketika ilmu pengetahuan, harta dan ‎jabatan yang dimiliki oleh seseorang, menjadikannya lebih rendah hati, ‎santun dan bijak.‎

Mari kita ingat kembali pesan Nabi Muhammad Saw. di awal ‎tulisan ini, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi ‎orang lain.”‎

‎*  Ruang Inspirasi, Kamis, 19 Mei 2022

Tuesday 17 May 2022

Meraih Ketenangan Hati dengan Zikir


Oleh : Didi Junaedi 

‎“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenang dengan ‎mengingat Allah.  Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati ‎menjadi tenang.” (Q.S. Ar-Ra’du: 28)‎

Salah satu penyakit serius yang tengah melanda masyarakat modern ‎dewasa ini adalah kegamangan dalam menjalani hidup. Hal ini disebabkan ‎karena kondisi batin yang selalu gelisah, jiwa yang tidak tenang, serta hati ‎yang penuh kekhawatiran dan kecemasan.‎

Padahal, tidak jarang mereka yang mengalami kegelisahan batin dan ‎ketidaktenangan jiwa ini, jika dilihat dari kehidupan ekonominya bukanlah ‎orang-orang yang kekurangan. Bahkan banyak di antara mereka yang ‎berkelimpahan harta. Dari sisi materi semua tercukupi, bahkan berlebih, tetapi ‎dari sisi ruhani, mereka mengalami kekeringan dan kegersangan. Jasmani ‎mereka sehat, tapi ruhani mereka sakit. Raga mereka kuat, tapi jiwa mereka ‎rapuh.‎

Pada umumnya, mereka yang mengalami kegelisahan batin ini akan ‎mendatangi psikiater atau psikolog untuk berkonsultasi tentang persoalan ‎batin yang tengah dialaminya. Mereka berharap sang psikiater atau psikolog ‎akan memberikan solusi untuk menyelesaikan persoalan batin yang sedang ‎dihadapinya.‎

Biasanya, sang psikiater atau psikolog akan memberikan suntikan ‎motivasi berupa nasihat dan saran agar si pasien dapat kembali menjalani ‎hidupnya penuh ketenangan dan kedamaian.‎

Kenyataannya, mereka yang mengalami kegelisahan batin ini hanya ‎beberapa saat saja setelah konsultasi tersebut mengalami ketenangan batin, ‎selanjutnya kecemasan, kekhawatiran dan segala yang mengusik ketenangan ‎batinnya kembali hadir.‎

Sesungguhnya, jika orang-orang yang mengalami keresahan jiwa, ‎kegelisahan batin, serta ketidaktenangan dalam hatinya mau kembali kepada ‎ajaran agama (Islam), pasti mereka akan menemukan jawaban atas persoalan ‎yang tengah dihadapinya.‎

Dalam Islam, al-Qur’an mengajarkan sebuah cara efektif untuk ‎menghilangkan keresahan jiwa, kegalauan hati dan kegelisahan batin. Cara ‎yang dimaksud adalah zikir. Ya, zikir yang berarti mengingat atau menyebut ‎‎(nama Allah Swt) adalah cara paling tepat dan efektif untuk menghilangkan ‎segala bentuk penyakit dalam hati kita.‎

Secara umum, zikir adalah semua amal atau perbuatan baik yang lahir ‎maupun batin, yang mengantarkan seseorang untuk mengingat Allah dan ‎mendekat (taqarrub) kepada-Nya.‎

Imam Nawawi mengatakan bahwa zikir itu dapat dilakukan dengan ‎hati atau dengan lisan. Akan tetapi lebih utama (afdhal) bila dilakukan dengan ‎keduanya. Tetapi, jika ingin memilih diantara kedua hal itu, maka zikir ‎dengan hati lebih afdhal. ‎

Dzikir dalam arti mengingat adalah menyadari dan mengakui sepenuh ‎hati segala nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, baik berupa rezeki yang ‎tampak secara lahir, seperti: harta, anak (keturunan), rumah, kendaraan dan ‎segala hal zahir lainnya, maupun yang tidak tampak atau bersifat abstrak, ‎seperti kesehatan, kemudahan, kebahagiaan, ketenangan dan yang lainnya.‎

Adapun zikir dalam arti menyebut nama Allah adalah dengan ‎melafalkan kalaimat-kalimat thoyyibah seperti kalimat tasbih (subhanallah), ‎tahmid (alhamdulillah), tahlil (la ilaha illallah), takbir  (Allahu Akbar), istighfar ‎‎(astaghfirullah), hawqalah (la hawla wa la quwwata illa billah) dan kalimat-‎kalimat thoyyibah lainnya.‎

Menurut Al-Ghazali, zikir merupakan aktivitas yang penting, bahkan ‎satu-satunya cara yang tepat untuk memfokuskan hati hanya kepada Allah. ‎Zikir adalah cara untuk menenangkan hati dan menentramkan batin. Dengan ‎zikir, seeseorang akan mendapatkan sakinah, ketenangan dan kenyamanan ‎hidup.‎

Rasulullah Saw pernah mengilustrasikan perbedaan antara orang yang ‎berzikir dengan yang tidak berzikir. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan ‎oleh Abu Musa r.a. Rasullullah Saw pernah menegaskan, "Perumpamaan orang ‎yang berzikir kepada Allah dan orang yang tidak berzikir, adalah seumpama ‎orang yang hidup dan mati." (HR. Bukhari)‎

Dari keterangan hadis ini, jelas bahwa hati yang selalu dihiasi dengan ‎zikir (ingat) kepada Allah akan selalu hidup. Hati yang tak pernah lepas ‎mengingat dan menyebut asma Allah akan menjadikan seseorang bergairah ‎dalam menjalani kehidupan ini. Hati yang hidup akan melahirkan semangat ‎untuk terus berkarya, melakukan hal terbaik yang dapat memberi manfaat ‎baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Hati yang hidup akan melahirkan ‎kreativitas. Hati yang hidup akan selalu melihat ‘jalan keluar’ atas setiap ‎persoalan yang datang menghadang. Tidak ada kata ‘sulit’, tidak ada istilah ‎‎‘buntu’ bagi orang-orang yang senantiasa menyandarkan hatinya kepada ‎Allah. ‎

Sementara hati yang tak pernah diisi dengan kalimat-kalimat thayyibah, ‎hati yang kering dari siraman zikir kepada Allah akan mati. Hati yang mati ‎akan menjadikan seseorang hidup dalam kegelisahan, kegamangan dan ‎ketidakmenentuan. Hati yang mati membuat seseorang tidak akan dapat ‎berpikir jernih. Kehidupan bagi orang yang hatinya ‘mati’, ibarat gelap malam ‎di hutan belantara yang menakutkan. Hati yang mati menjadikan seseorang ‎selalu menganggap ‘sulit’ dan ‘buntu’ ketika dihadang beragam persoalan ‎hidup. Singkatnya, seseorang yang jauh dari zikir, tidak pernah mengingat ‎dan menyebut nama Allah akan merasakan kegelisahan batin, keresahan jiwa ‎dan kegersangan ruhani.‎

Dengan selalu mengingat dan menyebut nama Allah, merasakan ‎kehadiran-Nya di setiap gerak, langkah kaki, serta hembusan nafas kita, hati ‎kita menjadi tenang.‎


* Ruang Inspirasi, Rabu, 18 Mei 2022.

Monday 16 May 2022

Yakin, Setiap Doa Pasti Dikabulkan


Oleh : Didi Junaedi 

 “…Berdoalah kamu kepada-Ku, niscaya aku ‎perkenankan permintaanmu”. (Q.S. Ghafir: 60)‎

Ayat ini menegaskan bahwa setiap doa yang dipanjatkan seorang ‎hamba kepada Allah, pasti akan dikabulkan-Nya. Setiap permintaan yang ‎diajukan kepada-Nya, pasti akan diperkenankan-Nya. Dan setiap permohonan ‎yang ditujukan kepada-Nya, pasti akan diijabah (dipenuhi)-Nya.‎

Rasulullah Saw bersabda:‎
‎“Tidak ada seorang muslim pun yang berdoa dengan doa yang tidak ‎mengandung dosa dan memutus hubungan silaturrahim, kecuali Allah akan ‎memberikan kepadanya satu diantara tiga hal : dikabulkan doanya, ‎ditangguhkan hingga hari kiamat, atau dijauhkan dari suatu keburukan atau ‎musibah yang serupa.” (HR. Ahmad)‎

Hadis di atas menegaskan bahwa pada hakekatnya setiap doa yang ‎dipanjatkan seorang hamba kepada Allah Swt pasti akan dikabulkan. Adapun ‎cara Allah mengabulkan doa hamba-Nya bisa dengan beragam bentuk.

Dari ‎hadis di atas dijelaskan bahwa ada 3 cara dalam pengabulan doa, pertama, ‎doa dikabulkan sesuai dengan permintaan yang diajukan seorang hamba; ‎kedua, jawaban doa ditangguhkan  hingga hari kiamat; dan ketiga, doa ‎dikabulkan dengan cara menjauhkan seorang hamba dari suatu keburukan. ‎

Tentang 3 cara pengabulan doa ini sering dimaknai oleh para ulama ‎sebagai berikut:‎

Pertama, yakni doa dikabulkan secara langsung sesuai dengan ‎permintaan. Ini merupakan ‘jalur khusus’ atau keistimewaan yang dimiliki oleh ‎para Nabi dan Rasul. 

Hak istimewa ini diberikan Allah kepada mereka, karena ‎para Nabi dan Rasul adalah manusia-manusia ma’shum, yang terjaga dari ‎khilaf dan dosa. Mereka adalah manusia-manusia pilihan yang memiliki ‎kesucian pikiran, hati dan jiwa. Faktor ‘kesucian’ inilah yang menyebabkan ‎mereka begitu dekat dengan Allah. Sehingga apapun permintaan yang mereka ‎panjatkan kepada-Nya selalu dikabulkan oleh Allah sesuai dengan isi ‎permintaan tersebut. Kita, sebagai manusia biasa, yang tidak terlepas dari ‎dosa dan kesalahan, tidak memiliki hak istimewa ini.‎

Kedua, jawaban doa ditangguhkan hingga hari kiamat. Ini adalah cara ‎Allah yang diberikan kepada kita, manusia pada umunya. ‎

Mengenai  penangguhan jawaban atas doa, ada yang memaknai ‎bahwa jawaban doa kita akan diberikan Allah kelak pada hari kiamat tiba. ‎Tetapi ada juga yang memahami bahwa pada hakikatnya doa kita sudah ‎dijawab oleh Allah. Tetapi jawaban itu masih ‘digantungkan’ kepada kita. ‎Artinya bahwa jawaban atas doa kita Allah berikan sesuai dengan usaha kita. ‎Misalnya, kita berdoa meminta diberi kelimpahan rezeki, maka sesungguhnya ‎Allah sudah menyediakan kelimpahan rezeki kepada kita. Tergantung ‎bagaimana kita berusaha untuk mencapai serta meraihnya. Tugas kita adalah ‎mengerahkan segala kekuatan, daya serta upaya untuk meraih kelimpahan ‎rizki tersebut. Maka sejauh usaha kita, sejauh itu pula hasil yang akan kita ‎peroleh. ‎

Ketiga, doa diakabulkan tidak sesuai dengan permintaan, tetapi diganti ‎dengan yang lebih baik. Ini juga merupakan cara Allah menjawab doa hamba-‎Nya, yakni kita manusia pada umumnya. ‎

Allah Mahamengetahui yang terbaik buat hamba-Nya. Maka jika ‎seorang hamba mengajukan permohonan yang menurutnya baik, tetapi ‎menurut Allah tidak, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Ketika ‎seseorang berdoa memohon kepada Allah agar diberi harta yang banyak, ‎misalnya, tetapi menurut Allah itu bukan yang terbaik, mungkin saja Allah ‎menggantinya dengan diberikan kesehatan kepadanya, atau diselamatkannya ‎dari musibah.‎

Dengan demikian, hakekatnya semua doa yang dipanjatkan seorang ‎hamba kepada Allah, selalu dikabulkan oleh-Nya dengan berbagai macam cara. ‎Sehingga tidak selayaknya kita menganggap bahwa Allah tidak mengabulkan ‎doa kita.‎

Yakinlah bahwa setiap doa, setiap permohonan yang kita ajukan ‎kepada Allah selalu diijabah atau dikabulkan oleh-Nya. ‎


* Ruang Inspirasi, Rabu, 27 April 2022.

Qalbun Syakirun


Oleh : Didi Junaedi 

Ibn ‘Abbas r.a., salah seorang sahabat terdekat Rasulullah Saw., yang juga sepupu beliau, karena ia adalah putra dari paman Rasulullah Saw., Abbas ibn Abdul Muthallib, suatu ketika ditanya oleh seorang tabi’in tentang tanda kebahagiaan. Atas pertanyaan tersebut, beliau menyebut sejumlah tanda kebahagiaan. Dan yang paling utama menurut beliau adalah “Hati yang Selalu Bersyukur” (Qalbun Syakirun).

Apa yang disampaikan oleh sahabat terdekat yang juga kerabat Rasulullah Saw. tersebut patut kita renungkan secara mendalam. Mengapa  rasa syukur menjadi salah satu tanda kebahagiaan? Mari kita kaji.

Al-Raghib al-Ashfahani, seorang pakar bahasa Al-Qur’an, dalam karyanya “Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an” menjelaskan bahwa kata “syukur” mengandung arti “gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan.”

Adapun mengenai macam-macam syukur, Al-Raghib menjelaskan bahwa syukur ada tiga macam: Pertama, syukurnya hati (syukr al-qalb) berupa penggambaran nikmat; kedua, syukurnya lisan (syukr al-lisan) berupa pujian kepada pemberi nikmat; dan ketiga, syukurnya anggota tubuh yang lain (syukr sa’ir al-jawarih) dengan mengimbangi nikmat itu menurut kadar kepantasannya.

Senada dengan Al-Raghib, Al-Ghazali dalam Mukasyafat al-Qulub menjelaskan bahwa syukur itu mencakup tiga hal: Pertama, syukur dengan hati, yaitu niat melakukan kebaikan untuk seluruh makhluk; kedua, syukur dengan lisan, yaitu menampakkan syukur kepada Allah dengan segala bentuk pujian kepada-Nya; dan ketiga, syukur dengan anggota badan, yaitu menggunakan nikmat Allah itu di jalan yang diridlai-Nya dengan ketaatan kepada-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.

Dari penjelasan para ulama tentang pengertian serta macam-macam bentuk syukur tersebut, dapat disimpulkan bahwa rasa syukur adalah sebuah bentuk pengakuan atas nikmat yang telah diberikan Allah Swt. kepada kita, dengan mengakui dalam hati, menyatakan dengan lisan melalui kalimat tahmid, dan membuktikan dengan perbuatan melalui aktivitas positf (amal saleh).

Sikap syukur adalah salah satu sikap orang-orang bertakwa (muttaqin). Dalam sejumlah ayat al-Qur’an disebutkan bahwa cara untuk menggapai kebahagiaan (al-falah) adalah dengan menjadi orang-orang yang bertakwa.

Dari keterangan ini dapat dipahami ungkapan Ibn ‘Abbas r.a. yang menyatakan bahwa salah satu tanda kebahagiaan adalah hati yang selalu bersyukur. Artinya, bahwa ketika hati bersyukur, lisan bersyukur, serta seluruh anggota badan pun bersyukur, maka kebahagiaan akan hadir dalam kehidupan seseorang.

Mensyukuri nikmat sehat, nikmat sempat, nikmat hidup, dan seluruh nikmat yang kita alami dan rasakan akan menjadikan hidup kita berlimpah berkah.

Ya, syukur tak terukur, tanpa batas adalah salah satu cara untuk menggapai bahagia tanpa jeda, bahagia sepanjang masa.


* Hotel Ahava, Magelang, Selasa, 17 Mei 2022

Dunia yang Interdependen

 
Imam Shamsi Ali* 

Lanjutan oleh-oleh dari acara interfaith di University of North Florida Minggu lalu. Salah poin penting yang saya sampaikan adalah betapa perubahan sosial (social shifting) yang juga ditandai oleh perubahan demografi (demographic shifting) menjadi salah satu hal yang menakutkan bagi sabagian orang. 

Biasanya yang mengalami ketakutan seperti ini adalah mereka yang berada pada posisi “upper hand” (mayoritas misalnya). Mereka biasanya mengalami perasaan terancam (threaten) dengan membesarnya mereka yang berada pada posisi minoritas. Bayang-bayang ketergeseran (shifting) itu menjadi pemicu ketakutan (phobia), kebencian (hate) bahkan sering membawa kepada kekerasan (violence). 

Kebencian ras misalnya, yang menimbulkan beberapa kekerasan di berbagai belahan dunia, khususnya di dunia Barat, menjadi bukti dari fenomena di atas. Tendensi ini kemudian diperkuat oleh bangkitnya keangkuhan ras (racial supremacy) di kalangan masyarakat putih yang disebut “white nationalism”. Dan semua itu kemudian diperburuk oleh bangkitnya politisi-politisi oportunis radikal dengan memainkan kartu rasisme itu. 

Bagi Komunitas Muslim peristiwa pembantaian jamaah di dua masjid Christchurch di Selandia Baru adalah pengalaman pahit akibat kebencian ras itu. 52 orang yang terbantai di tangan seorang white nationalis dalam waktu sekejap. 

Tapi bagi Umat Islam phobia dan dan kebencian sebagian mayoritas di dunia Barat tidak saja karena alasan ras. Tapi ketakutan dan kebencian ganda, ras dan agama sekaligus. Sehingga sering saya katakan bahwa Umat Islam itu menjadi obyek phobia dan kebencian secara berlapis-lapis. 

Dalam dunia global yang interconnected atau interdependent (saling terkait) fenomena kebencian bahkan kekerasan seperti ini tidak boleh lagi dilihat secara sepihak. Artinya peristiwa yang terjadi kepada Komunitas tertentu tidak lagi seharusnya dilihat sebagai permasalahan Komunitas tertentu saja. 

Sebaliknya justeru permasalahan-permasalahan yang ada/terjadi harus dilihat pada konteks kolektif. Artinya sebuah kejadian yang menimpa sebuah kelompok Komunitas harusnya dipahami bahwa dampaknya tidak saja kepada kelompok termaksud. Tapi menimpa semua kelompok karena saling terikat. 

Satu contoh yang sering saya sampaikan dalam konteks Amerika adalah Islamophobia dan Anti semitisme. Saya melihat bahwa keduanya adalah bagaikan dua sisi mata uang. Walau dengan terminologi berbeda namun Sesungguhnya memiliki esensi yang sama. Yaitu kebencian kepada orang tertentu karena keyakinannya.

Pada konteks inilah semua harus memahami bahwa dunia kita bagaikan sebuah rumah mungil bersama dan untuk semua. Ada tanggung jawab moral bersama untuk menjaganya. Karena apa yang terjadi di sebuah bagian bumi akan berdampak kepada bagian lainnya.

Inilah salah satu makna terpenting dari Interfaith dalam dunia global. Di tengah keragaman manusia harus belajar membangun kebersamaan, bergandeng tangan untuk membangun dan menjaga/memelihara dunia ini sebagai rumah bersama. Semua tentunya punya mimpi untuk mewujudkan “Kingdom of God” (kerajaan Tuhan) di atas bumi ini. Atau dalam bahasa Al-Quran manusia harus bersama-sama membangun: “baldatun thoyyibah wa Rabbun Ghafur”. 

Manhattan, 16 Mei 2022 

* Presiden Nusantara Foundation

Sunday 15 May 2022

Habis Gelap Terbitlah Terang


Oleh: Didi Junaedi 

“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (Q.S. Ibrahim: 1)

Imam Al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, ketika menafsirkan kalimat litukhrija al-nas min al-dzulumat ila al-nur pada rangkaian ayat di atas, menjelaskan bahwa di antara fungsi al-Qur’an adalah mengeluarkan seseorang dari gelapnya kekafiran serta sesatnya kebodohan menuju terangnya cahaya keimanan dan ilmu pengetahuan.

Al-Qurthubi mengilustrasikan kekafiran dan kebodohan dengan kegelapan dan kesesatan. Sedangkan Iman dan ilmu pengetahuan digambarkan sebagai cahaya yang terang benderang.

Sungguh tepat perumpamaan yang digambarkan oleh al-Qurthubi. Orang-orang kafir adalah mereka yang menutup diri dari cahaya kebenaran, sehingga mereka tetap berada dalam kegelapan. Mereka abaikan semua keterangan yang diberikan oleh al-Qur’an. Mereka larut dalam keangkuhan dan kesombongan. Mereka terlelap dalam pelukan nafsu. Mereka tenggelam dalam keyakinan yang menyengsarakan.

Al-Qurthubi juga mengilustrasikan kebodohan dengan kesesatan. Ya, orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan adalah orang-orang yang akan tersesat. Mereka tidak mengetahui arah dan tujuan hidup di dunia ini. Mereka berjalan tanpa arah dan tujuan yang jelas. Mereka melangkah tanpa berpikir. Mereka bertindak tanpa mempertimbangkan resiko yang akan didapatnya. Merekalah orang-orang yang akan tersesat. Jika dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan, mereka pun akan menyesatkan orang lain.

Dalam kondisi seperti inilah, seseorang memerlukan petunjuk (hidayah) yang akan membimbing, menuntun serta mengantarkannya dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang, dari kesesatan menuju kebenaran. Dan petunjuk itu adalah al-Qur’an.

Al-Qur’an menegaskan dirinya sebagai hudan li al-nas, petunjuk bagi umat manusia. Artinya, bahwa al-Qur’an adalah pedoman hidup yang berisi tuntunan serta ajaran yang akan menuntun setiap manusia menuju jalan yang terang benderang. Al-Qur’an akan melepaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya, dari kesesatan menuju kebenaran, dari ketidakmenentuan menuju kepastian, dari kesengsaraan menuju kebahagiaan.

Di era modern sekarang ini, ketika seseorang telah mencapai kesuksesan duniawi, tidak jarang ia merasakan kegamangan hidup dan kegersangan jiwa. Hal ini disebabkan karena tidak seimbangnya antara capaian duniawi yang bersifat materi-jasadi dengan capaian ukhrawi yang bersifat spiritual-ruhani. Dari sisi materi mereka tidak kekurangan, bahkan berkelimpahan. Sementara dari sisi rohani mereka kosong, kering kerontang.

Kekosongan rohani inilah yang pada gilirannya membuat hati mereka galau, batin mereka gelisah, jiwa mereka resah. Mereka pun kemudian mencari alternatif jawaban untuk masalah yang tengah dihadapinya. Di antara mereka ada yang mendatangi orang-orang  ‘pintar’ atau sering disebut dengan ‘guru spiritual’, ‘penasehat spiritual’ untuk menanyakan jawaban atas persoalan yang dihadapinya. Ada juga yang mencari jawaban dengan membaca buku-buku motivasi. Bahkan, tidak sedikit yang mengalihkan perhatian atas persoalan yang dihadapinya dengan menghabiskan hari-harinya di tempat-tempat hiburan.

Padahal, jika mereka mau merenung sejenak, maka akan didapati jawaban atas persoalan yang dihadapinya terletak pada ajaran serta tuntunan agama. Dalam hal ini, al-Qur’an menjadi solusi yang tepat atas setiap persoalan yang tengah dihadapi oleh setiap orang. Al-Qur’an akan menunjukkan jalan keluar atas setiap persoalan yang dihadapi oleh manusia. Al-Qur’an akan menuntun, membimbing dan mengarahkan manusia untuk keluar dari masalah. Al-Qur’an menjadi pelita yang akan menerangi jalan orang-orang yang tengah dirundung masalah, ditimpa kesulitan dan dililit persoalan. Dengan menjadikan al-Qur’an sebagai buku panduan kehidupan, maka ungkapan “habis gelap terbitlah terang” akan benar-benar terwujud.


*  Ruang Inspirasi, Jumat, 22 April 2022.

Hati-Hati dengan Penyakit Hati


Oleh : Didi Junaedi 

Dalam kehidupan sehari-hari kita lebih sering menjumpai orang-orang yang alih-alih menebar kebahagiaan, tetapi justru merusak bahkan menghancurkannya. Mereka ini adalah orang-orang yang di dalam hatinya terdapat beragam penyakit. Bukan penyakit fisik, tetapi penyakit non-fisik (batin).

 Adapun beberapa penyakit hati yang biasa menghinggapi diri setiap manusia antara lain: sombong (takabbur), iri dan dengki (hasad), ria, buruk sangka (su’uzhan), dendam, bakhil, dan lain-lain.
 
Kesombongan adalah penyakit hati paling laten. Iblis adalah tokoh utamanya. Sebagaimana dikisahkan oleh Al-Qur’an dalam sejumlah ayatnya, bahwa ketika Allah memerintahkan Iblis untuk sujud kepada Adam a.s., yang nota bene ‘makhluk kemarin sore’, Iblis secara tegas menolaknya. Karena ia merasa lebih baik dari Adam. Inilah kesombongan pertama kali yang pernah ada. Iblis yang diciptakan dari api merasa lebih baik daripada adam yang diciptakan dari tanah. Atas sikap pembangkangannya itulah akhirnya Iblis diusir dari surga dan menjadi musuh abadi manusia.

Ciri dari kesombongan adalah ‘merasa lebih baik dari yang lain’. Orang-orang sombong merasa dirinya lebih baik dari orang lain dalam segala hal; kekayaan, ilmu, kedudukan, nasab, dan lain sebagainya. Orang-orang sombong tidak pernah mau mengakui kebaikan dan kesuksesan orang lain. Mereka, alih-alih menebar kebaikan dan kebahagiaan, justru merusak dan menghancurkannya.

Iri dan dengki (hasad) adalah penyakit hati yang tidak kalah membahayakan. Penyakit ini bisa merusak dan menghancurkan kebahagiaan, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Orang yang memiliki rasa iri dan dengki tidak pernah senang melihat orang lain bahagia. Tetapi justru senang ketika melihat orang lain menderita. Pengertian sederhana dari penyakit hati yang satu ini adalah: “Susah melihat orang senang, senang melihat orang susah.”

Penyakit hati selanjutnya yang akan merusak diri dan amal kita adalah ria’. Ria’ biasa diartikan dengan ‘ingin dilihat’. Berasal dari kata ra’a (melihat). Maka ria’ adalah sikap selalu ingin dilihat dan diperhatikan oleh orang lain, khususnya dalam hal ibadah. Sikap ria’ ini akan menghilangkan kebaikan serta pahala dari amal ibadah yang kita lakukan. Karena, kita lebih memilih pujian dan sanjungan dari manusia ketika beribadah daripada memilihi pujian dari Allah. Sikap ini seringkali tidak kita sadari. Meskipun ada juga yang secara sadar melakukannya. 

Buruk sangka (su’uzhan) adalah salah satu penyakit hati yang tidak kalah bahayanya. Ia akan menghancurkan dan membinasakan kebahagiaan. Orang yang selalu berburuk sangka kepada orang lain, apalagi kepada Allah tidak akan pernah bahagia hidupnya. Orang yang selalu diliputi sikap buruk sangka ini tidak pernah mengakui kebaikan orang lain. Apa pun yang dilakukan orang lain selalu dianggap salah dan buruk di matanya. Sebaliknya, dia merasa apa yang dilakukannya adalah yang terbaik. Sikap ini jika dibiarkan berlarut-larut akan menghancurkan kehidupannya sendiri, dan tidak menutup kemungkinan juga menghancurkan kehidupan orang lain.

Penyakit hati berikutnya yang akan merusak kebahagiaan adalah dendam. Ya, dendam adalah memendam perasaan marah dalam waktu yang lama kepada seseorang. Orang yang pendendam hatinya selalu bergemuruh, batinnya tidak tenang, jiwanya jauh dari rasa tentram. Sebelum dendamnya terbalaskan, dia tidak akan bisa tidur nyenyak tidak akan bisa makan enak. Pada hakekatnya, sifat pendendam itu justru akan merusak dan menghancurkan kebahagiaan diri sendiri. Pada saatnya, juga akan merusak dan membinasakan kebahagiaan orang lain. Ajaran agama menuntun umatnya untuk menjadi pemaaf, bukan pendendam.

Sifat selanjutnya yang merupakan bagian dari penyakit hati adalah bakhil alias kikir. Ya, orang yang bakhil adalah orang yang enggan membelanjakan hartanya, bahkan untuk kepentingan dirinya sendiri. Ada rasa sayang yang berlebihan terhadap harta yang dimilikinya. Orang-orang bakhil ini, jangankan untuk berbagi kebahagiaan dengan orang lain dengan cara memberi sedekah atau bantuan yang bersifat materi, bahkan untuk dirinya sendiri mereka berat membelanjakan hartanya. Sikap bakhil ini alih-alih menghadirkan rasa bahagia, justru akan memunculkan penderitaan dalam diri seseorang. Dia selalu cemas dan khawatir dengan kekayaannya. Yang ada di dalam benaknya adalah bagaimana mempertahankan kekayaan yang dimilikinya agar tidak pernah berkurang, bahkan kalau bisa terus bertambah.

Itulah beberapa penyakit hati yang bisa merusak diri kita, juga merusak orang lain. So, hati-hati dengan penyakit hati.


* Ruang Inspirasi, Senin, 16 Mei 2022.

Saturday 14 May 2022

HIMBAUAN KEPADA PENGUASA YANG LUPA KEPADA AJARAN AGAMA



Negeriku kini telah hampir kehilangan asa, karena para pemimpinnya tidak lagi berpegang teguh secara setia, kepada falsafah dan idiologi bangsanya sendiri yaitu pancasila dan uud 1945.

Akibatnya timbullah rasa saling curiga dan  permusuhan diantara sesama, apalagi para pemimpinnya banyak yang tamak dan rakus tidak terkira, sehingga kekayaan mereka  menumpuk luar biasa yang mereka simpan tidak hanya di dalam negeri saja tapi juga di berbagai negara di manca negara.

Sekarang diantara mereka diliputi ketakutan luar biasa, karena periode kepemimpinan presiden tempat mereka bersandar tinggal beberapa tahun lagi saja. Mereka yakin kalau rezim berganti maka kebobrokan mereka tentu akan dibongkar oleh pemerintahan baru yang berkuasa. Oleh karena itu sekarang mereka sibuk mencari cara agar harta dan dirinya selamat serta tidak dimasukkan ke dalam penjara.

Untunglah mahasiswa sekarang  bangkit dari tidurnya. Mereka bergerak dari kampusnya serta mulai berteriak dan menuding para pemimpin negerinya yang punya mata tapi buta warna punya telinga tapi pekak yang sebelahnya. 

Mereka hanya bisa mendengar suara dari hawa nafsunya dan tidak bisa mendengar jeritan serta tangisan dari rakyatnya. Hidupnya sekarang bagaikan berdiri di atas bara, yang setiap waktu apinya akan bisa menyala sehingga membakar dan menghanguskan kulit dan sekujur tubuhnya.

Mungkinkah mereka akan mencari suaka, ke negara-negara yang bisa menjaminnya seperti ke  singapura yang merupakan negara tetangga, tempat banyak koruptor yang telah menjadikan negara tersebut sebagai tempat  pelariannya.

Ingatlah wahai para pemimpin yang sudah banyak maling dan dosanya. Kalian memang bisa saja lolos dari jeratan hukum yang ada di dunia, tapi ingatlah bahwa ada malaikat raqib dan atid yang ada di kanan kiri anda yang mencatat semua perbuatan buruk anda yang itu semua harus anda pertanggung jawabkan nanti kepadaNya di pengadilanNya di akhirat sana, dimana anda tidak akan bisa menyogok siapa-siapa untuk melepaskan diri anda dari hukumanNya yang tidak terkira, dimana ujung-ujungnya anda akan dicampakkan oleh Allah swt ke dalam nerakaNya yang panas dan  menyala-nyala.

Silahkan saja anda disana  menangis sejadi-jadinya, tidak akan ada seorangpun manusia atau syetan sekalipun yang akan mendengarkannya apalagi untuk  peduli dan bisa membantu anda. Semuanya anda rasakan saja sendiri bagaimana sakit dan perihnya.

Untuk itu wahai para penguasa yang hari ini berkuasa. Ingatlah umur kalian di dunia ini tidak akan lama. Yang namanya kematian pasti akan tiba. Kalian akan dikubur dengan cara yang sangat sederhana, disitu barulah kalian tahu rasa, dimana menyesal dikala itu tidak  lagi berguna

Oleh karena itu mumpung kalian masih punya nyawa dan masih punya kuasa. Bertobatlah kalian kepadaNya. Kembalikan semua harta yang telah kalian ambil dari rakyat dan kalian curi dari negara , karena itulah langkah terbaik yang kalian harus lakukan menurut ajaran agama. Agar kalian selamat di dunia dan nanti di akhirat sana.

Anwar abbas
Ciputat, 12 april 2022
Jam 17.15 sore.

Berbagi Kebahagiaan


‎ Oleh : Didi Junaedi 

‎“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau nyatakan ‎
‎(dengan bersyukur)”. (Q.S. Al-Dhuha : 11)‎

Ayat yang baru saja kita baca ini menunjukkan, bahwa Allah Swt. ‎memerintahkan kita untuk menyatakan dan menunjukkan nikmat yang telah ‎Allah berikan dengan bersyukur.‎

Bersyukur dalam konteks ayat ini, dimaknai oleh para mufassir, tidak ‎sekadar mengucap “alhamdulillah” semata, tetapi juga dibuktikan dengan ‎tindakan nyata berupa berbagi nikmat dan kebahagiaan dengan sesama.‎

Menurut para ahli hikmah, kebahagiaan yang sesungguhnya adalah ‎ketika kita bisa membahagiakan atau berbagi kebahagiaan dengan orang lain. ‎Kebahagiaan yang hanya dinikmati sendiri adalah kebahagiaan semu.‎

Mari kita amati pengalaman hidup kita sehari-hari. Ketika kita berjumpa ‎dengan seseorang kemudian kita menyapa dengan senyuman, maka orang ‎tersebut pun akan membalas kita dengan senyuman. Ketika kita memberikan ‎sedekah kepada seorang pengemis, misalnya, dia akan mengucapkan terima ‎kasih kepada kita, dan saat itu ada perasaan bahagia dalam hati kita, bukan ‎semata-mata karena ucapan terima kasih pengemis tadi, tetapi karena kita ‎bisa berbagi dengan orang lain.‎

Sudah menjadi sunnatullah, bahwa semakin banyak kita berbagi dengan ‎orang lain, maka semakin besar kebahagiaan yang kita dapatkan, serta ‎semakin berkelimpahan kehidupan kita. Semakin bermakna kita bagi orang ‎lain, semakin nikmat kita menjalani hidup. Semakin bermanfaat kita bagi ‎banyak orang, semakin berkah kehidupan kita. ‎

Sebaliknya, semakin sedikit kita berbagi dengan orang lain, semakin sulit ‎kita mendapatkan kebahagiaan. Semakin kita tidak memberi manfaat bagi ‎orang lain, semakin sulit kita menikmati hidup. Semakin kita tidak berarti bagi ‎banyak orang, semakin tidak bermakna kehidupan kita.‎

Ironisnya, banyak di antara kita, atau mungkin diri kita sendiri, alih-alih ‎senang berbagi kebahagiaan dengan orang lain, justru  lebih memilih untuk ‎menyenangkan diri sendiri. Tidakkah kita berpikir, bahwa semakin kita ‎menyenangkan diri kita sendiri dan mengabaikan orang lain, pada hakekatnya ‎kita semakin jauh dari kebahagiaan hakiki.‎

Apa yang kita anggap kebahagiaan, jika dinikmati sendiri, hakekatnya ‎adalah kebahagiaan semu. Bahkan Rasulullah Saw. pernah menyampaikan ‎sebuah pesan penting dalam salah satu sabdanya, bahwa salah satu amalan ‎utama yang akan mengantarkan seseorang mendapatkan kebahagiaan (al-‎sa’adah) di dunia ini dan di akhirat nanti adalah “idkhal al-surur fi qalbi al-‎mu’min” (memasukkan rasa senang (bahagia) ke dalam hati orang mukmin).‎

Dari keterangan hadis ini jelaslah bahwa untuk mendapatkan ‎kebahagiaan hakiki nan sejati, maka kita harus menghadirkan kebahagiaan ‎kepada orang lain.‎

Kesimpulannya, jika kita ingin hidup bahagia, maka bahagiakanlah orang ‎lain. Berbagi kebahagiaan adalah kunci kesuksesan dan kebahagiaan hidup.‎


* Ruang Inspirasi, Ahad, 15 Mei 2022.
‎ ‎

Keragaman itu Keberkahan yang menantang


Imam Shamsi Ali* 

Masih seputar interfaith dinner tahunan Florida Minggu lalu. Salah seorang pembicara ketika itu menekankan Urgensi diversitas (keragaman). Beliau bahkan menganalogikan keragaman itu bagaikan taman bunga yang indah karena ragam warna warni di dalamnya. 

Pada sesi keynote speech saya menyetujui itu. Keragaman tidak saja indah. Tapi sejatinya menjadi sunnatullah (hukum atau aturan Allah) dalam ciptannya. Sekaligus menjadi salah satu ayatNya (tanda-tanda kebesaranNya) dalam penciptaan. 

“Dan di antara tanda-tanda kebesaranNya adalah bahwa Dia menciptakan langit dan bumi. (Demikian pula pada) perbedaan lisan (bahasa) dan warna (kulit) kalian. Sungguh yang demikian adalah tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berfikir” (Ar-Rum). 

Maka dengan sendirinya menolak eksistensi keragaman itu Sesungguhnya tanpa disadari sekaligus menolak kekuasaan Tuhan. Mengingkari keragaman seolah mengingkari eksistensi kekuasaan Allah SWT. 

Keragaman (diversity) itu memaknai adanya perbedaan-perbedaan. Sehingga jelas keliru dan tidak rasional ketika ada pihak-pihak tertentu yang ingin menyamakan segala hal. Satu di antaranya ingin menyamakan semua agama. Padahal agama-agama tidak mungkin sama. Semua agama memiliki perbedaan-perbedaan yang mendasar. 

Mereka yang mengaku pahlawan keragaman tapi di sisi lain ingin menyamakan (menyeragamkan) agama-agama mengalami “self paradox” (pribadi yang bertolak belakang). Jika semua agama dipandang sama/seragam berarti dengan sendirinya keragaman tidak lagi eksis. 

Oleh karenanya pemahaman tentang keragaman yang benar adalah tetap meyakini adanya Perbedaan bahkan seringkali bersifat mendasar di semua agama. Konsep Islam tentang Yesus (Isa AS) dan Kristen berbeda secara mendasar (prinsip). Maka Islam dan Kristen adalah dua bentuk keyakinan yang ragam (berbeda). 

Oleh karena keragaman adalah karunia (ciptaan, aturan, hukum, keputusan) Allah maka dengan sendirinya keragaman merupakan keberkahan (blessing) Allah dalam hidup manusia. Dengan keragaman manusia dapat memilih yang terbaik berdasarkan pikiran dan kebebasan kemanusiaannya. 

Sehingga agama itu berdasar pada pilihan dan personal. Agama tidak mungkin bisa dipaksakan karena bertentangan dengan tabiat dasar nanusia yang diberikan kebebasan oleh Tuhan. Islam dalam hal ini jelas dengan “Laa ikraaha fid diin” (tiada paksaan dalam agama). 

Pada sisi lain walaupun keragaman itu adalah keberkahan namun penuh dengan tantangannya. Saya menyebutnya dengan “a challenging blessing” atau keberkahan yang menantang. 

Dikatakan menantang karena walau bersifat alami dalam hidup manusia, bahkan menjadi sunnatullah, sering tidak disadari dan dengan mudah manusia mengoyaknya. Hal itu karena pada diri manusia ada tendensi egoisme yang tinggi. 

Di sìnilah sering kita lihat keragaman tidak membawa keberkahan (atau dalam bahasa agama Islam sebagai rahmah). Sebaliknya justeru menjadi jembatan perpecahan, permusuhan bahkan peperangan. 

Islam pun hadir dengan penawaran solusi. Saya mengistilahkan solusi ini dengan “nourishment” atau gizi keragaman.  Itulah konsep “ta’aruf”. Seperti yang ditegaskan Al-Quran: “dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk lita’arafu atau saling mengenal”. 

Ta’aruf itu sesungguhnya memiliki makna yang sangat dalam dan luas, lebih dari terjemahan “saling mengenal”. Saling mengenal hanya langkah awal dari ta’aruf. Karena kata ini bermakna ‘urf misalnya yang berarti tradisi, kebiasaan, bahkan semua yang menjadikan orang lain dikenal dengannya. 

Dari saling mengenal akan tumbuh saling memahami (understanding). Pada tataran ini akan tumbuh sikap toleransi. Sebagai contoh saja. Saya tidak sepakat/tidak setuju dengan orang itu. Tapi saya paham kalau orang itu juga merasa benar dengan keyakinannya. Karenanya saya memahami sikap dan keputusannya. Pada tingkatan ini secara alami akan tumbuh rasa solidaritas dan kedekatan (compassion). 

Jika ada rasa itu maka Sesungguhnya kerjasama (partnership) bukan sesuatu yang mustahil. Di sìnilah manusia akan mampu membangun dunia secara bersama di tengah keragaman dan perbedaan-perbedaan di antara mereka. 

Sebenarnya lebih jauh lagi kerjasama itu harus ditingkatkan kepada saling membantu dan membela antara satu sama lain (defending for one another). Dunia kita adalah dunia global yang “deeply interconnected” (saling terkait). Satu contoh yang terasa di Amerika adalah bahwa “Islamophobia & Antisemitisme” adalah dua hal yang senyawa. Keduanya adalah bentuk kebencian kepada orang lain karena keyakinannya.

Dalam dunia yang saling terkait keburukan yang menimpa seseorang itu  adalah sejatinya keburukan yang menimpa semua orang. Perang Rusia-Ukraine saat ini berdampak pada semua manusia di semua penghujung dunia.

Dan Karenanya benar sebuah pernyataan yang mengatakan: “enough for evil to thrive when the good people say or do nothing” (cukuplah bagi kejahatan untuk merajalela ketika orang-orang baik diam atau tidak berbuat apa-apa”.

Palestina mungkin menjadi contoh terdekat akhir-akhir ini. Para penguasa Muslim, khususnya Timur Tengah diam membisu bak tidak punya rasa melihat kekerasan-kekerasan yang menimpa saudara-saudaranya. What a tragedy! 

Jamaica City, 14 Mei 2022 

* Presiden Nusantara Foundation

Friday 13 May 2022

Pesan Al-Qur’an untuk Menggapai Kebahagiaan


Oleh: Didi Junaedi 

Apa sesungguhnya yang dicari dalam hidup ini? Kekayaan, popularitas, kedudukan, jabatan, kehormatan, kesenangan, ataukah yang lainnnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa bermacam-macam. Tetapi, satu hal yang pasti diamini oleh setiap orang, yaitu kebahagiaan.

Ya, tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak ingin hidup bahagia. Setiap manusia pasti mendambakan kebahagiaan dalam hidupnya. Bagi seorang mukmin, harapan mencapai kebahagiaan tentu tidak hanya sebatas ketika hidup di dunia saja, tetapi juga kebahagiaan di akhirat kelak. 
 
Untuk menggapai kebahagiaan, setiap orang memiliki cara yang berbeda, sesuai dengan persepsinya tentang kebahagiaan. Ironisnya, tidak semua orang menempuh jalan yang benar untuk mencapai kebahagiaan.

Ada orang yang menganggap kebahagiaan dapat dicapai dengan kelimpahan materi. Ada pula yang mengandaikan kebahagiaan bisa didapat dengan popularitas. Pun, ada orang yang mengira kebahagiaan bisa terwujud dengan menempati suatu posisi atau kedudukan tertentu.

Namun ironisnya, setelah semua yang mereka anggap mampu melahirkan kebahagiaan dapat diraihnya, baik berupa kekayaan, popularitas, bahkan keduduk dan jabatan, tetapi kebahagiaan tak kunjung hadir dalam kehidupannya. Mengapa demikian?

Pada hakekatnya, mereka telah tertipu dengan kesenangan yang mereka anggap kebahagiaan. Kesenangan berupa kelimpahan materi, popularitas, kedudukan dan jabatan, sama sekali bukanlah kebahagiaan. Kebahagiaan yang sesungguhnya ada di dalam hati yang tenang, jiwa yang tentram, dan batin yang damai. Semua ini yang absen dalam diri mereka. Sehingga, meski harta berlimpah, popularitas menjulang, kedudukan dan status sosial mereka tinggi, tetapi kebahagiaan tak kunjung datang.

Al-Qur’an memberi petunjuk melalui sejumlah ayatnya tentang bagaimana meraih kebahagiaan. Kebahagiaan hakiki, yaitu kebahagiaan yang hadir tidak hanya ketika di dunia ini, tetapi juga ketika di akhirat nanti akan terwujud jika manusia selalu menghadirkan Tuhan dalam dirinya. Sikap merasa selalu diawasi (muraqabah) Tuhan dalam setiap ucapan tindakan serta perilaku inilah yang akan menghadirkan kedamaian dan kebahagiaan. 

Menghadirkan Tuhan dalam diri juga bisa dimaknai dengan mengaktualisasikan sifat-sifat Tuhan. Sebagaimana Sabda Nabi Saw, “Berakhlaklah dengan akhlak Allah.”

Jika kita mampu meneladani akhlak (sifat-sifat) Allah, juga meneladani akhlak Rasulullah Saw., maka bisa dipastikan hidup kita akan bahagia dunia-akhirat.


* Ruang Inspirasi, Kamis, 24 Maret 2022

Bersyukur Sepanjang Waktu


Oleh : Didi Junaedi 

Jika pagi ini, ketika bangun tidur anda tidak melihat ada selang infus yang menempel di tangan, atau selang oksigen yang terpasang di kedua rongga hidung anda, bersyukurlah, itu artinya anda tengah berada di rumah dalam kondisi sehat, bukan di rumah sakit dalam keadaan terbaring tak berdaya. 

Bagi yang tengah sakit, dan berada di rumah sakit pun harus bersyukur, karena saat ini anda masih diberi nikmat hidup oleh Allah Swt. Terus berusaha dan berdoa semoga lekas diberi kesembuhan oleh-Nya. Berpikir positif bahwa penyakit yang anda derita adalah wujud kasih sayang Allah, agar anda selalu mengingat-Nya, jauh lebih baik daripada mengeluh apalagi mempertanyakan keadilan Allah. 

Jika saat ini anda dapat membaca huruf demi huruf yang terangkai dalam tulisan ini tanpa merasa kesulitan, bersyukurlah, itu artinya pengelihatan anda masih baik. Ya, meskipun mungkin dibantu dengan kacamata, misalnya. Tetap bersyukur, karena di luar sana ada orang yang sama sekali tidak bisa melihat, meski dibantu dengan mengenakan kacamata.

Selalu bersyukur sepanjang waktu, akan menghadirkan rasa tentram dalam kalbu. Syukur dalam setiap keadaan, akan menjadikan hidup terasa nyaman. Syukur tak terukur akan menjadikan seseorang hidup makmur. Syukur setiap saat akan menjadikan hidup terasa nikmat. 

Nah, mengapa seringkali kita merasakan hidup ini tidak nyaman, diliputi keresahan dan kegalauan? Jawaban atas pertanyaan ini adalah karena seringkali rasa syukur hilang dari diri kita.

Kita sering membayangkan atau menginginkan sesuatu yang berada di luar  kita, sesuatu yang tidak atau belum kita miliki. Padahal, jika kita melihat di dalam diri kita, terlalu banyak, bahkan tak terhitung nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada kita. Tetapi, karena nafsu yang lebih dominan di dalam diri, maka semua nikmat yang telah Allah hadirkan seolah hilang tak berbekas, berganti keluhan dan ratapan.  Inilah salah satu sifat buruk manusia.

Tepatlah apa yang disebutkan Allah Swt. dalam salah satu ayat-Nya, " Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur." (Q.S. Saba" : 13). 

Padahal, Allah Swt telah menjanjikan dalam ayat-Nya yang lain, "...jika kalian bersyukur pasti akan Aku tambah nikmat-Ku padamu. Tetapi jika kalian kufur, sesungguhnya azab-Ku amat pedih”. (QS Ibrahim: 7).

Dari keterangan ayat ini jelaslah bahwa tidak ada cara lain untuk menghadirkan nikmat yang berlipat, selain mensyukurinya setiap saat. Tidak ada cara lain untuk menjadikan nikmat terus bertambah, selain mensyukurinya tak kenal lelah. 

So, syukur tak terukur adalah cara paling efektif agar nikmat terus terulur. Sehingga hidup semakin makmur.


* Ruang Inspirasi, Sabtu, 14 Mei 2022.

Thursday 12 May 2022

Jadilah Makhluk Terpuji


Oleh : Didi Junaedi 


‎“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.”‎

‎--- Nabi Muhammad Saw ---‎

Pesan Nabi Muhammad Saw. tersebut menunjukkan betapa pentingnya ‎akhlak mulia. Ya, akhlak mulia (al-akhlaq al-karimah) atau sering disebut juga ‎dengan akhlak terpuji (al-akhlaq al-mahmudah) adalah ciri pribadi mulia. ‎

Seseorang yang memiliki akhlak mulia akan dihormati dan dihargai ‎oleh orang lain, juga dicintai dan disayangi Allah Swt. Sebaliknya, seseorang ‎yang memiliki akhlak yang buruk dan tercela (al-akhlaq al-madzmumah) tidak ‎akan dihormati dan dihargai oleh orang lain, bahkan mungkin akan dihindari ‎orang lain, karena mereka khawatir terhadap keburukan yang akan menimpa ‎mereka ketika bergaul dengan orang yang berakhlak buruk tersebut. Dia juga ‎akan dibenci oleh Allah karena perilaku buruknya.‎

Akhlak mulia adalah ciri khas para nabi dan rasul, juga orang-orang ‎saleh. Mereka mulia di mata manusia karena budi pekertinya yang luhur, ‎sikapnya yang santun, ucapannya yang menyejukkan, dan pribadinya yang ‎ramah. Mereka juga mulia di hadapan Allah karena sikapnya yang lemah ‎lembut dan penuh kasih sayang terhadap sesama. Allah yang memiliki sifat ‎Rahman dan Rahim sangat mencintai hamba-hamba-Nya yang berakhlak ‎dengan sifat-sifat-Nya. ‎

Dalam sebuah kesempatan, Nabi Muhammad Saw. pernah menyatakan, ‎‎“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ‎gangguan (kejahatan) lisan dan tangannya”. (HR. Bukhari)‎

Hadis ini menunjukkan bahwa di antara akhlak terpuji adalah ‎menjadikan orang lain nyaman dan tenang ketika berada di sisi kita. Mereka ‎tidak khawatir akan tersakiti hatinya atau tersinggung perasaannya karena ‎ucapan kita. Mereka juga tidak takut dengan perlakuan buruk yang mungkin ‎akan menimpa mereka karena tindakan dan sikap kita. Mereka menikmati ‎kebersamaan dengan kita. ‎

Orang-orang dengan akhlak terpuji akan memiliki banyak saudara, ‎teman, dan sahabat. Kehadirannya selalu memberi kesejukan. Keberadaannya ‎selalu menghadirkan kedamaian. ‎

Orang-orang yang memiliki akhlak terpuji, tidak hanya bersikap baik ‎kepada sesama manusia. Bahkan kepada binatang, tumbuhan, serta makhluk-‎makhluk Allah yang lainnya pun dia bersikap baik. Dia berusaha menjadi ‎rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Dia akan bersikap ramah ‎terhadap lingkungan. Karena dia sadar sepenuhnya, bahwa ketika dia bersikap ‎ramah kepada lingkungan, berlaku baik kepada alam, maka alam pun akan ‎bersahabat dengannya. Sebaliknya, ketika seseorang abai terhadap ‎lingkungan sekitar, bahkan cenderung merusak, maka alam pun enggan ‎bersahabat dengannya, tidak menutup kemungkinan alam akan murka ‎kepadanya.‎

Mari kita perhatikan apa yang terjadi di tengah-tengah kita. Ketika ‎manusia tidak peduli dengan lingkungan, abai dengan kelestarian alam, alam ‎akan melakukan hal yang sama. ‎

Ketika manusia tidak menjaga kebersihan, misalnya, dengan ‎membuang sampah sembarangan, alam mengirimkan banjir. Ketika manusia ‎merusak hutan, alam menghadirkan longsor. Ketika manusia, karena tuntutan ‎gaya hidup membangun rumah kaca, maka alam merespon dengan semakin ‎menipisnya lapisan ozon. Ketika manusia dengan keserakahannya melakukan ‎pengeboran sejumlah tempat yang diduga terdapat sumber minyak dan gas ‎bumi, untuk kepentingan segelintir orang, alam mengirimkan lumpur panas, ‎seperti yang terjadi di Sidoarjo,  Jawa Timur. Dan masih banyak lagi kejadian-‎kejadian di muka bumi ini yang merupakan efek buruk dari perilaku manusia ‎yang tidak terpuji.‎

Mari kita amalkan pesan Rasulullah Saw., “Sebaik-baik manusia adalah ‎yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ahmad)‎

Pesan Rasulullah tersebut bisa dimaknai secara luas. Manusia terbaik ‎adalah mereka yang kehadirannya memberi manfaat bagi lingkungan di ‎sekitarnya. Manusia mulia adalah mereka yang selalu menghadirkan kebaikan, ‎memberi kedamain, menebarkan ketenangan kepada lingkungan di sekitar ‎tempat tinggalnya, bahkan lebih luas lagi. ‎

So, jadilah makhluk terpuji! ‎

* Ruang Inspirasi, Jumat, 13 Mei 2022.

Manusia dan kekeluargaan Universal

 

Oleh: 

Imam Shamsi Ali

Melanjutkan oleh-oleh dari konferensi antar Komunitas agama di Florida Minggu lalu. Surah Al-Hujurat ayat ketiga belas ternyata tidak saja menyampaikan esensi kemanusiaan (humanity, fitrah, spiritualitas). Tapi sekaligus mengafirmasi kekeluargaan manusia secara universal. 

Bahwa manusia itu sejatinya tanpa kecuali semua ada dalam satu keluarga kemanusiaan yang universal. Sehingga wajar saja jika ayat-ayat Al-Quran berkali-kali menekankan tentang asal usul penciptaan manusia itu. 

Manusia misalnya dalam beberapa kali disebutkan sebagai ciptaan dari tanah (turab, thiin, hama’ masnuun”). Atau beberapa kali juga disebutkan penciptaannya dari air yang hina atau air mani (maa mahiin). 

Di awal Surah An-Nisa Allah menegaskan penciptaan manusia dari jiwa yang satu (Adam). Sebagian ulama menafsirkan kata “nafs wahidah” sebagai sumber penciptaan yang sama. Artinya baik lelaki maupun wanita diciptakan dari “sumber” yang satu (sama). 

Pada ayat ketiga belas Surah Al-Hujurat ini Allah seolah menekankan sekaligus merincikan asal usul manusia. Bahwa orang tua manusia itu, siapapun dan apapun rupanya saat ini, sama. Semua manusia diciptakan dari satu pria (dzakar: Adam) dan satu wanita (untsa: Hawa). 

Penekanan ini sesungguhnya menyampaikan beberapa pesan penting. Satu di antaranya adalah pentingnya membangun rasa kedekatan (kekeluargaan) di antara sesama manusia. Sadar akan orang tua (ayah dan ibu) yang sama seharusnya membangun rasa kedekatan yang intim di antara manusia itu. 

Kesadaran akan persaudaraan universal ini dengan sendirinya akan mengurangi kecenderungan friksi (perpecahan) manusia karena alasan-alasan partikularnya, termasuk karena ras, etnis, warna kulit, budaya bahkan agama. Manusia akan mampu melampaui perbedaan-perbedaan itu untuk merangkul koneksi universalnya dalam rasa kekeluargaan kemanusiaan itu.

Perpecahan manusia karena ras (racial divisions) bahkan keangkuhan ras oleh sabagian (rasisme) salah satunya disebabkan oleh kegagalan memahami konsep kekeluargaan universal ini. Adanya perasaan lebih karena ras atau warna kulit merupakan bentuk “stupidity” (kebodohan) yang buruk pada sebagian manusia. 

Bahkan dalam hal beragama sejatinya tidak dipahami sebagai pintu perpecahan dari kekeluargaan universal itu. Keyakinan (faith) dan agama harus dijadikan jalan bagi memperkuat kembali kekeluargaan universal itu. Agama datang untuk mengingatkan kita tentang “commonalitas” yang universal. Satu Tuhan, satu ayah/ibu, dan satu asal penciptaan (tanah liat). 

Dan karenanya agama selalu menjadi lentera bagi manusia untuk mewujudkan moral strength (kekuatan moral) dalam merajut kebersaman demi membangun dunia yang lebih baik. Bukan sabaliknya justeru agama dijadikan dasar bagi perpecahan, permusuhan, bahkan peperangan.

“Agama menyatukan. Egoisme memisahkan”.  Salah satu poin yang saya sampaikan pada ceramah kunci di pertemuan itu. Semoga manfaat! 

Manhattan, 12 Mei 2022 

* Presiden Nusantara Foundation

Wednesday 11 May 2022

Jangan Jauh-Jauh dari Allah




Oleh : Didi Junaedi 


Semakin jauh kita dari Allah, semakin jauh kita dari kesuksesan dan keselamatan hidup, baik di dunia ini, lebih-lebih di akhirat kelak.  Maka Mendekatlah kepada Allah. 

Sebuah Pesan Sederhana Sarat Makna

“Nak, jika kamu ingin hidup bahagia, sukses di dunia dan akhirat, jangan jauh-jauh dari Allah”, demikian pesan kedua orang tua saya ketika saya masih berusia belasan tahun. Ketika itu saya belum begitu memahami maksud ucapan mereka. Sebagai seorang anak yang masih belum beranjak dewasa, saya hanya mengangguk mengiyakan tanpa ada pertanyaan lanjutan atas pernyataan kedua orang tua saya tersebut.

Belakangan, setelah saya dewasa, setelah pengetahuan tentang agama saya bertambah, setelah cara berpikir saya berkembang, setelah menjalani kehidupan yang penuh ujian ini saya baru memahami maksud pesan kedua orang tua saya tersebut. Inti pesan yang hendak mereka sampaikan adalah bahwa di mana pun, kapan pun, serta apa pun yang saya lakukan harus sejalan dengan aturan agama (Islam) yang sudah digariskan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Seolah mereka hendak berkata, “jangan pernah melenceng dari aturan Allah, jangan menjaga jarak dengan-Nya, jangan jauh-jauh dari-Nya”.  Sebuah pesan sederhana yang sarat makna jika kita kaji lebih jauh. 

Pada hakekatnya, hubungan antara manusia (makhluk) dengan Allah (Khaliq) adalah hubungan yang melintasi batas ruang dan waktu, hubungan tanpa sekat, tanpa pemisah, begitu dekat, bahkan sangat dekat. Tidak ada sedikit pun ruang kehidupan manusia yang lepas dari keterikatan hubungan ini. Setiap gerak, langkah, bahkan hembusan nafas manusia senantiasa disertai kehadiran-Nya. Hal ini, yang sering tidak disadari oleh manusia. 

Kehadiran Allah, Sang Maha Kuasa, yang begitu dekat dengan kita, seringkali tidak kita manfaatkan sebagai tempat kita memohon, tempat kita bergantung, tempat kita mengadukan segala persoalan hidup. 

Disadari atau tidak, kita justru sering menjauh dari-Nya. Kita lebih sering meminta bantuan selain Allah ketika pelbagai persoalan meliputi kehidupan kita. Bahkan,  banyak di antara kita yang justru meminta kepada selain Allah dengan cara-cara yang dilarang Allah. 

Secara tidak sadar, kita sedang  menjauh dari-Nya, kita menjaga jarak dengan-Nya. Inilah pangkal segala kesusahan dan kesengsaraan hidup. Semakin jauh kita dari Allah, semakin jauh kita dari kesuksesan dan keselamatan hidup, baik di dunia ini, lebih-lebih di akhirat kelak.  Maka Mendekatlah kepada Allah. 

Barang siapa yang mendekat kepada-Ku satu jengkal maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta. Barang siapa yang mendekat kepada-Ku satu hasta, Aku akan mendekat kepadanya satu depa. Barang siapa yang mendekat kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan menyongsongnya dengan berlari kecil.” (HR Bukhari )

* Ruang Inspirasi, Kamis, 12 Mei 2022