Monday 23 May 2022
Solusi Islam atas Krisis Kemanusiaan
Semua Bermula dari Pikiran
Membaca, Menulis, Mengajar
Tidak Merendahkan Orang Lain
Nikmat-Nya Tak Bertepi, Sayang-Nya Tak Berkesudahan
Thursday 19 May 2022
Hikmah Al-Kahf & Hikmah Kehidupan- 2
Tebar Manfaat Setiap Saat
Solusi Islam atas Krisis Kemanusiaan
Wednesday 18 May 2022
Terangi Dunia
Oleh : Didi Junaedi
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (Nabi Muhammad Saw)
Misi mulia yang diemban setiap manusia di muka bumi ini adalah menghadirkan kebaikan serta manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Untuk mewujudkan misi tersebut, Tuhan menganugerahi akal kepada manusia untuk berpikir, menggali informasi, mempelajari ilmu pengetahuan untuk menerangi alam ini dengan cahaya ilmu pengetahuan tersebut.
Tuhan juga menganugerahi hati kepada manusia untuk merasa, berempati serta peduli kepada sesama. Dengan hati diharapkan seseorang dapat menerangi kehidupan ini dengan sikap yang santun, ramah, peduli serta empati terhadap orang lain.
Betapa indahnya dunia ini ketika setiap orang berusaha untuk memberi manfaat kepada orang lain, dengan kemampuan yang dia miliki. Dia tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga memikirkan orang lain, peduli, peka serta mudah tersentuh nuraninya untuk dapat memberikan sesuatu untuk orang lain.
Namun kenyataannya, tidak jarang kita saksikan orang-orang yang memiliki ilmu serta pengetahuan yang tinggi, alih-alih digunakan untuk menerangi dunia, tetapi justru untuk menunjukkan siapa dirinya. Dia banggakan ilmu yang dimilikinya. Dia anggap orang lain lebih rendah darinya. Dia hanya mau membagikan ilmunya jika ada harga yang ‘pas’ untuknya.
Demikian juga halnya dengan para pemilik harta, orang-orang kaya. Alih-alih berbagi kebahagiaan dengan orang lain, justru seringkali kekayaan yang dimilikinya dijadikan ajang pamer kemewahan, unjuk status sosial, yang justru menyakiti hati para kaum papa.
Setali tiga uang dengan para pejabat yang memiliki kedudukan dan posisi yang tinggi di masyarakat, alih-alih memikirkan bagaimana nasib rakyat yang dipimpinnya, mereka justru sibuk memenuhi pundi-pundi kekayaan mereka. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, seringkali tidak memihak kepada rakyat, tetapi memihak kepada kepentingan mereka sendiri.
Jika kondisi para pemilik ilmu pengetahuan, pemilik harta, serta pemilik kedudukan dan jabatan sudah sedemikian memprihatinkan, maka jangan harap kehidupan ini akan terang benderang, yang ada justru gelap gulita.
Sungguh indah jika setiap orang yang berilmu mau berbagi ilmunya kapan saja, kepada siapa saja, tanpa ada pamrih apa pun, selain berharap ridla Tuhan dan juga sebagai wujud tanggung jawab kemanusiaan.
Sungguh indah jika setiap orang yang memiliki kekayaan mau berbagai kebahagiaan dengan hartanya kepada siapa pun yang membutuhkannya tanpa ada pamrih berupa pujian dan sanjungan, semata-mata karena mengharap ridla Tuhan, dan karena sikap empati yang ada dalam dirinya.
Sungguh indah jika setiap orang yang memiliki kedudukan dan jabatan mau berjuang demi kesejahteraan umat manusia dengan kedudukan serta jabatan yang dimilikinya, tanpa pamrih apa pun, hanya semata-mata mengharap ridla Tuhan, dan karena panggilan jiwa akan tanggung jawab amanat yang sedang diembankan kepadanya.
Sungguh betapa dunia ini akan terang benderang, jika orang-orang yang memiliki ilmu, harta dan kedudukan mau berbagi, peduli, serta empati terhadap sesama.
Dunia ini pasti akan damai, ketika ilmu pengetahuan, harta dan jabatan yang dimiliki oleh seseorang, menjadikannya lebih rendah hati, santun dan bijak.
Mari kita ingat kembali pesan Nabi Muhammad Saw. di awal tulisan ini, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”
* Ruang Inspirasi, Kamis, 19 Mei 2022
Tuesday 17 May 2022
Meraih Ketenangan Hati dengan Zikir
Monday 16 May 2022
Yakin, Setiap Doa Pasti Dikabulkan
Qalbun Syakirun
Dunia yang Interdependen
Sunday 15 May 2022
Habis Gelap Terbitlah Terang
Hati-Hati dengan Penyakit Hati
Saturday 14 May 2022
HIMBAUAN KEPADA PENGUASA YANG LUPA KEPADA AJARAN AGAMA
Berbagi Kebahagiaan
Keragaman itu Keberkahan yang menantang
Friday 13 May 2022
Pesan Al-Qur’an untuk Menggapai Kebahagiaan
Bersyukur Sepanjang Waktu
Thursday 12 May 2022
Jadilah Makhluk Terpuji
Oleh : Didi Junaedi
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.”
--- Nabi Muhammad Saw ---
Pesan Nabi Muhammad Saw. tersebut menunjukkan betapa pentingnya akhlak mulia. Ya, akhlak mulia (al-akhlaq al-karimah) atau sering disebut juga dengan akhlak terpuji (al-akhlaq al-mahmudah) adalah ciri pribadi mulia.
Seseorang yang memiliki akhlak mulia akan dihormati dan dihargai oleh orang lain, juga dicintai dan disayangi Allah Swt. Sebaliknya, seseorang yang memiliki akhlak yang buruk dan tercela (al-akhlaq al-madzmumah) tidak akan dihormati dan dihargai oleh orang lain, bahkan mungkin akan dihindari orang lain, karena mereka khawatir terhadap keburukan yang akan menimpa mereka ketika bergaul dengan orang yang berakhlak buruk tersebut. Dia juga akan dibenci oleh Allah karena perilaku buruknya.
Akhlak mulia adalah ciri khas para nabi dan rasul, juga orang-orang saleh. Mereka mulia di mata manusia karena budi pekertinya yang luhur, sikapnya yang santun, ucapannya yang menyejukkan, dan pribadinya yang ramah. Mereka juga mulia di hadapan Allah karena sikapnya yang lemah lembut dan penuh kasih sayang terhadap sesama. Allah yang memiliki sifat Rahman dan Rahim sangat mencintai hamba-hamba-Nya yang berakhlak dengan sifat-sifat-Nya.
Dalam sebuah kesempatan, Nabi Muhammad Saw. pernah menyatakan, “Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari gangguan (kejahatan) lisan dan tangannya”. (HR. Bukhari)
Hadis ini menunjukkan bahwa di antara akhlak terpuji adalah menjadikan orang lain nyaman dan tenang ketika berada di sisi kita. Mereka tidak khawatir akan tersakiti hatinya atau tersinggung perasaannya karena ucapan kita. Mereka juga tidak takut dengan perlakuan buruk yang mungkin akan menimpa mereka karena tindakan dan sikap kita. Mereka menikmati kebersamaan dengan kita.
Orang-orang dengan akhlak terpuji akan memiliki banyak saudara, teman, dan sahabat. Kehadirannya selalu memberi kesejukan. Keberadaannya selalu menghadirkan kedamaian.
Orang-orang yang memiliki akhlak terpuji, tidak hanya bersikap baik kepada sesama manusia. Bahkan kepada binatang, tumbuhan, serta makhluk-makhluk Allah yang lainnya pun dia bersikap baik. Dia berusaha menjadi rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Dia akan bersikap ramah terhadap lingkungan. Karena dia sadar sepenuhnya, bahwa ketika dia bersikap ramah kepada lingkungan, berlaku baik kepada alam, maka alam pun akan bersahabat dengannya. Sebaliknya, ketika seseorang abai terhadap lingkungan sekitar, bahkan cenderung merusak, maka alam pun enggan bersahabat dengannya, tidak menutup kemungkinan alam akan murka kepadanya.
Mari kita perhatikan apa yang terjadi di tengah-tengah kita. Ketika manusia tidak peduli dengan lingkungan, abai dengan kelestarian alam, alam akan melakukan hal yang sama.
Ketika manusia tidak menjaga kebersihan, misalnya, dengan membuang sampah sembarangan, alam mengirimkan banjir. Ketika manusia merusak hutan, alam menghadirkan longsor. Ketika manusia, karena tuntutan gaya hidup membangun rumah kaca, maka alam merespon dengan semakin menipisnya lapisan ozon. Ketika manusia dengan keserakahannya melakukan pengeboran sejumlah tempat yang diduga terdapat sumber minyak dan gas bumi, untuk kepentingan segelintir orang, alam mengirimkan lumpur panas, seperti yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian di muka bumi ini yang merupakan efek buruk dari perilaku manusia yang tidak terpuji.
Mari kita amalkan pesan Rasulullah Saw., “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ahmad)
Pesan Rasulullah tersebut bisa dimaknai secara luas. Manusia terbaik adalah mereka yang kehadirannya memberi manfaat bagi lingkungan di sekitarnya. Manusia mulia adalah mereka yang selalu menghadirkan kebaikan, memberi kedamain, menebarkan ketenangan kepada lingkungan di sekitar tempat tinggalnya, bahkan lebih luas lagi.
So, jadilah makhluk terpuji!
* Ruang Inspirasi, Jumat, 13 Mei 2022.
Manusia dan kekeluargaan Universal
Oleh:
Imam Shamsi Ali
Melanjutkan oleh-oleh dari konferensi antar Komunitas agama di Florida Minggu lalu. Surah Al-Hujurat ayat ketiga belas ternyata tidak saja menyampaikan esensi kemanusiaan (humanity, fitrah, spiritualitas). Tapi sekaligus mengafirmasi kekeluargaan manusia secara universal.
Bahwa manusia itu sejatinya tanpa kecuali semua ada dalam satu keluarga kemanusiaan yang universal. Sehingga wajar saja jika ayat-ayat Al-Quran berkali-kali menekankan tentang asal usul penciptaan manusia itu.
Manusia misalnya dalam beberapa kali disebutkan sebagai ciptaan dari tanah (turab, thiin, hama’ masnuun”). Atau beberapa kali juga disebutkan penciptaannya dari air yang hina atau air mani (maa mahiin).
Di awal Surah An-Nisa Allah menegaskan penciptaan manusia dari jiwa yang satu (Adam). Sebagian ulama menafsirkan kata “nafs wahidah” sebagai sumber penciptaan yang sama. Artinya baik lelaki maupun wanita diciptakan dari “sumber” yang satu (sama).
Pada ayat ketiga belas Surah Al-Hujurat ini Allah seolah menekankan sekaligus merincikan asal usul manusia. Bahwa orang tua manusia itu, siapapun dan apapun rupanya saat ini, sama. Semua manusia diciptakan dari satu pria (dzakar: Adam) dan satu wanita (untsa: Hawa).
Penekanan ini sesungguhnya menyampaikan beberapa pesan penting. Satu di antaranya adalah pentingnya membangun rasa kedekatan (kekeluargaan) di antara sesama manusia. Sadar akan orang tua (ayah dan ibu) yang sama seharusnya membangun rasa kedekatan yang intim di antara manusia itu.
Kesadaran akan persaudaraan universal ini dengan sendirinya akan mengurangi kecenderungan friksi (perpecahan) manusia karena alasan-alasan partikularnya, termasuk karena ras, etnis, warna kulit, budaya bahkan agama. Manusia akan mampu melampaui perbedaan-perbedaan itu untuk merangkul koneksi universalnya dalam rasa kekeluargaan kemanusiaan itu.
Perpecahan manusia karena ras (racial divisions) bahkan keangkuhan ras oleh sabagian (rasisme) salah satunya disebabkan oleh kegagalan memahami konsep kekeluargaan universal ini. Adanya perasaan lebih karena ras atau warna kulit merupakan bentuk “stupidity” (kebodohan) yang buruk pada sebagian manusia.
Bahkan dalam hal beragama sejatinya tidak dipahami sebagai pintu perpecahan dari kekeluargaan universal itu. Keyakinan (faith) dan agama harus dijadikan jalan bagi memperkuat kembali kekeluargaan universal itu. Agama datang untuk mengingatkan kita tentang “commonalitas” yang universal. Satu Tuhan, satu ayah/ibu, dan satu asal penciptaan (tanah liat).
Dan karenanya agama selalu menjadi lentera bagi manusia untuk mewujudkan moral strength (kekuatan moral) dalam merajut kebersaman demi membangun dunia yang lebih baik. Bukan sabaliknya justeru agama dijadikan dasar bagi perpecahan, permusuhan, bahkan peperangan.
“Agama menyatukan. Egoisme memisahkan”. Salah satu poin yang saya sampaikan pada ceramah kunci di pertemuan itu. Semoga manfaat!
Manhattan, 12 Mei 2022
* Presiden Nusantara Foundation
Wednesday 11 May 2022
Jangan Jauh-Jauh dari Allah
Semakin jauh kita dari Allah, semakin jauh kita dari kesuksesan dan keselamatan hidup, baik di dunia ini, lebih-lebih di akhirat kelak. Maka Mendekatlah kepada Allah.
Sebuah Pesan Sederhana Sarat Makna
“Nak, jika kamu ingin hidup bahagia, sukses di dunia dan akhirat, jangan jauh-jauh dari Allah”, demikian pesan kedua orang tua saya ketika saya masih berusia belasan tahun. Ketika itu saya belum begitu memahami maksud ucapan mereka. Sebagai seorang anak yang masih belum beranjak dewasa, saya hanya mengangguk mengiyakan tanpa ada pertanyaan lanjutan atas pernyataan kedua orang tua saya tersebut.
Belakangan, setelah saya dewasa, setelah pengetahuan tentang agama saya bertambah, setelah cara berpikir saya berkembang, setelah menjalani kehidupan yang penuh ujian ini saya baru memahami maksud pesan kedua orang tua saya tersebut. Inti pesan yang hendak mereka sampaikan adalah bahwa di mana pun, kapan pun, serta apa pun yang saya lakukan harus sejalan dengan aturan agama (Islam) yang sudah digariskan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Seolah mereka hendak berkata, “jangan pernah melenceng dari aturan Allah, jangan menjaga jarak dengan-Nya, jangan jauh-jauh dari-Nya”. Sebuah pesan sederhana yang sarat makna jika kita kaji lebih jauh.
Pada hakekatnya, hubungan antara manusia (makhluk) dengan Allah (Khaliq) adalah hubungan yang melintasi batas ruang dan waktu, hubungan tanpa sekat, tanpa pemisah, begitu dekat, bahkan sangat dekat. Tidak ada sedikit pun ruang kehidupan manusia yang lepas dari keterikatan hubungan ini. Setiap gerak, langkah, bahkan hembusan nafas manusia senantiasa disertai kehadiran-Nya. Hal ini, yang sering tidak disadari oleh manusia.
Kehadiran Allah, Sang Maha Kuasa, yang begitu dekat dengan kita, seringkali tidak kita manfaatkan sebagai tempat kita memohon, tempat kita bergantung, tempat kita mengadukan segala persoalan hidup.
Disadari atau tidak, kita justru sering menjauh dari-Nya. Kita lebih sering meminta bantuan selain Allah ketika pelbagai persoalan meliputi kehidupan kita. Bahkan, banyak di antara kita yang justru meminta kepada selain Allah dengan cara-cara yang dilarang Allah.
Secara tidak sadar, kita sedang menjauh dari-Nya, kita menjaga jarak dengan-Nya. Inilah pangkal segala kesusahan dan kesengsaraan hidup. Semakin jauh kita dari Allah, semakin jauh kita dari kesuksesan dan keselamatan hidup, baik di dunia ini, lebih-lebih di akhirat kelak. Maka Mendekatlah kepada Allah.
Barang siapa yang mendekat kepada-Ku satu jengkal maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta. Barang siapa yang mendekat kepada-Ku satu hasta, Aku akan mendekat kepadanya satu depa. Barang siapa yang mendekat kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan menyongsongnya dengan berlari kecil.” (HR Bukhari )
* Ruang Inspirasi, Kamis, 12 Mei 2022