Wednesday 4 May 2022

Belajar Empati di Hari yang Fitri


Oleh : Didi Junaedi 

Tak ada yang lebih membahagiakan selain berkumpul bersama keluarga tercinta penuh keakraban ditingkahi canda tawa. Suasana inilah yang begitu jelas terlihat beberapa hari ini di sekitar kita. 

Momen Hari Raya menjadi ajang silaturahmi antarkeluarga, yang mungkin sudah tak bersua sekian lama. Saling berbagi cerita, dibumbui gelak tawa penuh keceriaan mewarnai hari yang fitri ini. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat mebahagiakan.

Namun demikian, di tengah perjumpaan dengan keluarga besar, kerabat, tetangga, handai taulan yang mungkin hanya terjadi setahun sekali ini, karena jarak dan waktu yang memisahkan, selalu saja ada kata yang membuat sesak dada, ucapan yang bernada canda tetapi menggores luka, meski mungkin tak disengaja.

Tak jarang di tengah suasana bermaaf-maafan penuh khidmat, sebuah tanya  terucap kepada yang masih sendiri padahal usia sudah cukup matang, "Kapan nikah?" , "Kok masih betah menjomlo?"

Pun, kepada yang sudah berpasangan, yang sekian lama berumah tangga tetapi belum dikaruniai momongan, "Kapan punya anak?", "Kok, masih berduaan aja?"

Sekilas tampak pertanyaan-pertanyaan tersebut biasa dan wajar belaka. Tetapi, tidak bagi yang ditanya (yang berada dalam kondisi tersebut).

Siapa sih laki-laki atau perempuan normal yang usianya sudah cukup matang dan tidak ingin menikah atau memiliki pasangan?

Siapa juga pasangan suami istri yang sudah berumah tangga bertahun-tahun dan tidak ingin memiliki keturunan?

Di sinilah pentingnya kita memiliki empati di hari yang fitri. Janganlah kita nodai suasana keluarga penuh keceriaan dan kebahagiaan dengan pertanyaan atau sindiran yang justru akan merusak suasana itu.

Apalah artinya bermaaf-maafan, jika menyisakan goresan luka hati yang baru dan mungkin akan menjadi trauma bagi mereka yang mengalaminya. Bisa jadi tahun-tahun berikutnya, mereka enggan untuk bersua dengan keluarga, saudara, tetangga hanya karena khawatir muncul pertanyaan yang sama, sedangkan kondisi mereka masih serupa.

So, alangkah arif dan bijak, jika kita mulai menyadari pentingnya empati di hari yang fitri. Hindari pertanyaan, candaan, atau sindiran yang akan merusak suasana kekeluargaan penuh keakraban ini. Belajarlah memahami perasaan orang lain. Caranya, mengandaikan diri kita pada posisi mereka yang mengalami hal tersebut. Di sinilah letak kedewasaan yang sesungguhnya.

Di hari yang fitri ini, sebisa mungkin kita juga lepaskan semua atribut yang melekat di diri kita. Status sosial, gelar akademis, jabatan prestisius, kesuksesan usaha dan segala yang melekat di diri kita. Keluarga, kerabat, tetangga, kawan kita tidak butuh itu semua. Yang mereka butuhkan adalah kedekatan emosional, keakraban, suasana yang hangat penuh kekeluargaan. Bercerita tentang banyak hal seputar kenangan masa lalu saat tinggal di kampung halaman, bernostalgia ditingkahi canda tawa. Inilah yang akan menghadirkan kebahagiaan. 

Semoga di hari yang fitri ini kita tetap mampu menjaga hati dan perasaan orang-orang di sekeliling kita.


* Ruang Inspirasi, Kamis, 5 Juni 2022/ 4 Syawwal 1443 H.

No comments:

Post a Comment