Sunday 26 June 2022

‎1 Masalah 1001 Solusi‎


Oleh : Didi Junaedi 

‎ “Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. ‎Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (Q.S. Asy-‎Syarh: 5-6)‎

Tidak ada seorang pun yang hidup di dunia ini tanpa masalah. Setiap ‎manusia pasti punya masalah. Pada hakekatnya, tidak penting berapa besar ‎dan beratnya masalahnya yang kita hadapi, yang terpenting adalah sikap kita ‎dalam menghadapi masalah tersebut.‎

Setiap masalah pasti ada solusinya. Setiap persoalan pasti ada jalan ‎keluarnya. Demikian ungkapan bijak menyebutkan. Begitu pula pengalaman ‎hidup menunjukkan. Every cloud has a silver lining. Habis gelap terbitlah ‎terang.‎

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibn Katsir menjelaskan bahwa makna kata ‎al-‘usr pada ayat ke-5 dan ke-6 dari surat al-Syarh, adalah sebuah kesulitan ‎atau satu kesulitan yang sama. Hal ini dikarenakan redaksi yang digunakan ‎adalah kata ‘usr dengan didahului kata sandang al (ma’rifat/difinite), yang ‎menunjukkan kepada sesuatu yang jelas. Sedangkan makna kata yusran ‎dalam bentuk nakirah (indifinite, tidak tertentu) pada ayat ke-5 dan ke-6 ‎tanpa didahului kata sandang al, mengandung arti banyak kemudahan.‎

Ibnu Jarir meriwayatkan dari al-Hasan, dia berkata: “Nabi saw. ‎pernah  keluar rumah pada suatu hari dalam keadaan senang dan gembira, ‎dan beliau juga dalam keadaan tertawa seraya bersabda: “Satu kesulitan itu ‎tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan, sesungguhnya bersama ‎kesulitan itu terdapat kemudahan.”‎

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa setiap kali hadir kesulitan ‎menimpa seseorang, maka saat itu Allah juga menyiapkan beragam solusi. ‎Setiap kali muncul suatu persoalan, saat itu pula terbuka lebar peluang jalan ‎keluarnya.‎

Kenyataan yang terjadi seringkali sebaliknya. Kita seringkali larut ‎dalam suatu persoalan. Kita menganggap bahwa kesulitan yang menimpa kita ‎begitu berat, seolah-olah tidak ada lagi jalan keluar. Semua jalan terasa ‎buntu. Kita hanya fokus pada persoalan, pada masalah serta kesulitan yang ‎menimpa kita. Sehingga kita lupa bahwa setiap persoalan pasti ada jalan ‎keluarnya.‎

Ayat di atas mengingatkan kita untuk berpikir positif dan bersikap ‎optimis ketika menghadapi suatu persoalan. Ketika kesulitan datang ‎menghadang, ketika ada masalah yang membuat kita gelisah, ketika ‎persoalan muncul membuat kita tak bisa tidur, yakinlah bahwa ada banyak ‎jalan untuk keluar dari masalah, ada beragam solusi yang hadir untuk ‎mengatasi. Ada berbagai cara untuk terlepas dari kondisi yang menyesakkan ‎napas. Singkatnya, ketika datang satu masalah, akan hadir seribu satu jalan ‎keluar.‎


* Ruang Inspirasi, Kamis, 31 Maret 2022

Monday 23 May 2022

Solusi Islam atas Krisis Kemanusiaan


Oleh : Didi Junaedi 

Di tengah derasnya arus modernitas, seringkali manusia terlena dan larut dalam dekapan budaya materialisme, konsumerisme dan hedonisme. Nilai-nilai yang bersifat materi disanjung dan dipuja, sementara nilai-nilai rohani dicibir dan diabaikan. Dari sisi materi mereka tidak kekurangan, bahkan berlimpah, tetapi sisi rohani mereka gersang, kering kerontang. Fisik mereka sehat, namun jiwa mereka kosong dan rapuh. Kenyataan inilah, yang pada gilirannya melahirkan manusia-manusia kosong, The Hollow Men, mereka tidak tahu lagi arah dan tujuan hidup ini.

Adalah Rollo May, seorang psikolog-humanis, menyebut kondisi ketidakberdayaan manusia bermain dalam pusaran arus modern, sebagai “manusia dalam kerangkeng”, sebuah kondisi kehidupan tak bermakna (the meaningless life).

Fenomena manusia modern semacam ini, digambarkan oleh Thomas Robert Marcuse, seorang Filosof Amerika abad dua puluh, sebagai ‘one dimension man’, manusia satu dimensi. Marcuse menegaskan, manusia masa kini telah terjebak pada kebutuhan-kebutuhan semu (pseudo needs) yang diciptakan oleh ekonomi konsumen dan politik kapitalis. Gejala seperti ini telah melembaga dalam kehidupan manusia dan mengikat manusia secara libidinal. Maksudnya, dalam memenuhi kebutuhannya, manusia semata-mata bersandar pada dorongan nafsu tanpa mengindahkan norma-norma yang berlaku, baik norma sosial, lebih-lebih norma agama.

Sebagai imbas dari kondisi masyarakat yang demikian bebas ini adalah lahirnya sebuah komunitas masyarakat yang, oleh Roderic C. Meredith disebut sebagai permissive society (masyarakat serba boleh). Permissive society, lanjut Roderic, tidak mengakui adanya kebenaran abadi (eternal truth).Dengan kata lain, kita bebas berbuat apa saja, dan tidak ada ruang bagi Tuhan untuk memberikan ancaman ataupun sanksi kepada kita.

Kondisi masyarakat yang demikian memprihatinkan ini pada gilirannya akan melahirkan berbagai persoalan kemanusiaan. Setiap hari manusia semakin terseret ke arah pengasingan (alienasi), tidak ada lagi waktu untuk menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan, keluhuran moral, dan kepekaan ruhaniah, bahkan makhluk ini justru tenggelam dalam gemerlapnya kehidupan, sehingga kerap memicu terjadinya penyelewengan-penyelewengan dan pemerosotan nilai-nilai tradisional.

Munculnya individu-individu yang arogan, amoral, anarkis, intoleran, baik di tingkat elite maupun grass root, merupakan dampak riil dari masyarakat serba boleh ini. Belum lagi tingginya tingkat kriminalitas, pergaulan bebas yang menjurus pada perilaku seks bebas (free sex) di kalangan remaja, merebaknya virus HIV yang mematikan disertai meningkatnya penderita AIDS, dan sederet persoalan sosial lainnya siap menghadang komunitas masyarakat yang mengedepankan nafsu semata tanpa mengindahkan norma-norma yang berlaku.

Dalam pandangan penulis, kondisi masyarakat seperti ini akan melahirkan distorsi nilai-nilai kemanusiaan, terjadi dehumanisasi yang disebabkan oleh kapasitas intelektual, mental dan jiwa yang tidak siap untuk mengarungi samudera peradaban modern.

Dalam kondisi seperti ini, hemat penulis, manusia membutuhkan guide yang mengarahkannya menuju ketenangan batin dan ketenteraman jiwa. Batin yang telah lama kering, mendambakan siraman spiritual. Sehingga kembali bangkit penuh optimisme menyongsong hari esok yang lebih cerah.

Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah kita (umat Islam) menyikapi kondisi yang sudah sedemikian memprihatinkan ini, langkah apa saja yang seharusnya kita ambil untuk dapat keluar dari krisis kemanusiaan ini?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, ada baiknya kita merenungkan penjelasan Husain Mazhahiri yang tertuang dalam bukunya berjudul ‘Awamil as-Saytharah ‘alaal-Gharaiz fi Hayat al-Insan. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa secara eksistensial, manusia terdiri dari dua dimensi. Hal ini sekaligus membantah tesis Marcuse tentang ‘manusia satu dimensi’.

Lebih lanjut Mazhahiri menjelaskan, dua dimensi yang inheren dalam diri manusia tersebut adalah dimensi ruhy dan jismy. Dalam dimensi ruhy terdapat beberapa komponen, antara lain: akal, nurani, hati, dan sebagainya. Dimensi ini disebut juga sebagai dimensi malakuti (kemalaikatan). Sementara dalam dimensi jismy terdapat beberapa komponen yang, hampir sama dengan yang terdapat pada binatang, seperti insting (naluri), nafsu, dan sebagainya. Oleh karena itu, dimensi ini disebut juga sebagai dimensihayawani. Lantas, bagaimanakah memadukan kedua dimensi ini sehingga pada gilirannya akan dapat berjalan secara serasi dan harmonis?

Al-Qur’an memberikan petunjuk agar manusia tidak terlena dalam pelukan nafsu duniawi yang merupakan perwujudan dari dimensi hayawani. Dalam Q. S. Al-Hijr: 29 Allah SWT menegaskan, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepada-Nya dengan bersujud.

Dari keterangan ayat di atas jelaslah bagi kita bahwa setelah ruh ditiupkan kepada kita, selanjutnya kita diperintahkan untuk bersujud, yakni beribadah dengan sepenuh hati secara ikhlas kepada Allah. Dengan melakukan pengabdian secara total kepada Allah, niscaya dimensi lain berupa nafsuhayawani yang ada dalam diri manusia dapat ditundukkan.

Namun ironisnya, sebagian besar dari umat manusia justru melupakan pesan suci berupa perintah untuk tunduk dan memasrahkan diri dengan beribadah kepada-Nya. Mereka bahkan dipengaruhi dan dikuasai oleh nafsu. Mereka menjadikan nafsu sebagai tuhan (ilah) dalam kehidupan ini. Padahal dalam ayat lain, Allah SWT secara tegas mengecam para ‘budak nafsu’, yaitu mereka yang menuhankan hawa nafsunya. Dalam Q. S. Al-Furqan: 44, Allah menyindir mereka yang menuhankan hawa nafsunya ibarat binatang ternak, bahkan lebih rendah dari itu. “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu.” (Q.S. Al-Furqan: 44)

Berkenaan dengan kehidupan modern dewasa ini, di mana sebagian besar manusia terlelap dalam pelukan nafsu duniawi yang mengedepankan pemenuhan materi (kebendaan), al-Qur’an jauh-jauh hari sebelumnya mengingatkan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara, …“Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. (Q. S. An-Nisa: 77). Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw juga menegaskan,“Dunia adalah ladang untuk kehidupan akhirat.”

Dengan demikian jelaslah bahwa ajaran Islam tidak memberikan ruang bagi bagi para pemuja nafsu, penganut kehidupan permisif, bahkan mereka diibaratkan oleh al-Qur’an lebih sesat dari binatang ternak sekalipun. Di samping itu, Islam menegaskan bahwa kehidupan dunia hanyalah persinggahan sesaat menuju perjalanan panjang, yaitu kehidupan akhirat yang kekal. Dan, hanya orang yang bertaqwa yang akan hidup bahagia di dalamnya. 


* Ruang Inspirasi, Jumat, 20 Mei 2022

Semua Bermula dari Pikiran


Oleh: Didi Junaedi 

Dari manakah datangnya kebahagiaan? Dari mana pula datangnya penderitaan? Di manakah letak kesenangan? Di mana pula letak kesedihan? Ternyata jawaban atas semua pertanyaan tersebut adalah: pikiran. Ya, pikiran adalah muara dari semua perasaan yang berkecamuk dalam diri kita. Dari pikiranlah kebahagiaan hadir, dari pikiran pula penderitaan datang. Berawal dari pikiran, kesenangan tercipta. Berangkat dari pikiran, kesedihan bermula. 

Kekuatan pikiran memang luar biasa. Ia mampu memengaruhi kondisi fisik dan psikis seseorang. Ia juga mampu memengaruhi perasaan dan sikap seseorang. Bahkan ia mampu menentukan masa depan seseorang. Apakah seseorang kelak menjadi pemenang ataukah pecundang. Semua tergantung bagaimana ia menggunakan serta memilih pikirannya.

Dr. Ibrahim Elfiky dalam Quwwat al-Tahakkum fi al-Dzat, mengutip kalimat bijak dari filsafat India Kuno, “Hari ini anda tergantung pada pikiran yang datang saat ini. Besok anda ditentukan oleh ke mana pikiran membawa anda.” Demikianlah kenyataannya. Perasaan dan perbuatan selalu dimulai dari pikiran. Pikiranlah yang menjadi pendorong setiap perbuatan dan dampaknya. Pikiranlah yang menentukan kondisi tubuh, jiwa, kepribadian dan rasa percaya diri.

James Allen dalam bukunya berjudul As A Man Thinketh mengatakan, “A person is limited only by the thoughts that he chooses.” (Seseorang dibatasi oleh pemikiran-pemikiran yang ia pilih sendiri).

Seseorang yang memenuhi otaknya dengan pikiran-pikiran negatif, hakekatnya telah membatasi dirinya sendiri untuk selalu berpikir negatif, sehingga pikiran-pikiran positif enggan mendekat padanya. Bisa dipastikan, kehidupannya pun tidak jauh dari hal-hal negatif. Kesedihan, kekecewaan, penderitaan serta keputusasaan akan selalu menyertai hari-harinya.  Pun demikian halnya dengan beragam sifat negatif lainnya, seperti iri hati, dendam, berburuk sangka, memandang rendah orang lain, sombong, egois serta berbagai sifat negatif lainnya akan selalu menghiasi kepribadiannya. Inilah konsekuensi dari pilihannya sendiri, yakni memilih berpikir negatif.

Di sisi lain, seseorang yang selalu memenuhi otaknya dengan pikiran-pikiran positif, hakekatnya telah membentengi dirinya dari masuknya pikiran-pikiran negatif. Maka, kehidupannya pun akan selalu diwarnai hal-hal positif. Sikap optimis, penuh semangat dan percaya diri dalam menghadapi pelbagai persoalan hidup akan selalu mewarnai hari-harinya. Kepribadiannya senantiasi dihiasi dengan beragam sifat positif; sabar, syukur, ikhlas, berbaik sangka, rendah hati (tawadlu’) serta berbagai sifat positif lainnya akan selalu melekat dalam kepribadiannya. Inilah dampak dari pikiran yang dipilihnya, berpikir positif.

Kebebasan untuk memilih pikiran itu diserahkan sepenuhnya kepada kita. Mau memilih pikiran-pikiran positif ataukah negatif. Dalam bahasa al-Qur’an, Allah Swt sudah menunjukkan kepada kita dua jalan. “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan kejahatan)”. (Q.S. Al-Balad: 10). Terserah kepada kita, jalan mana yang akan kita tempuh. Tetapi, satu hal yang harus kita ingat,  setiap orang akan menanggung konsekuensi dari jalan (pikiran) yang dipilihnya. 

Sekali lagi, hidup adalah pilihan. Dan pilihan itu ada pada diri kita masing-masing. Mau bahagia atau sengsara, senang atau susah, sabar atau putus asa, tergantung bagaimana kita menyikapi hidup ini.

Alangkah naifnya, jika hidup yang hanya sekali dan sebentar ini kita jalani dengan penuh kekecewaan, kesedihan serta putus asa. Hidup akan terasa nikmat dan penuh makna jika dijalani dengan penuh rasa syukur, sabar serta ikhlas dengan segala qadha dan qadar Allah.


* Ruang Inspirasi, Sabtu, 21 Mei 2022.

Membaca, Menulis, Mengajar


Oleh : Didi Junaedi 

Ada tiga aktivitas yang selalu berkait-kelindan satu dengan lainnya dalam keseharianku. Ketiga aktivitas tersebut adalah : membaca, menulis, dan mengajar.

Membaca, karena aku ingin memenuhi titah-Nya yang pertama kali diwahyukan kepada Sang Nabi akhir zaman. Membaca, karena aku sadar bahwa menjalani hidup harus dipandu dengan ilmu. Ilmu hanya bisa didapat dengan belajar. Dan salah satu cara paling efektif untuk belajar adalah dengan membaca.

Membaca, dalam pengertiannya yang luas adalah menghimpun, mengkaji, meneliti serta memahami ilmu yang tersurat dan termaktub dalam lembar demi lembar al-Qur’an, buku dan kitab, serta yang tersirat dalam fenomena kesaharian kita.

Dari aktivitas membaca ini aku mendapatkan ilmu dan pengetahuan tentang banyak hal, yang menjadi bekalku menjalani hidup dan kehidupan. Dari kegiatan membaca pula aku menjadi lebih terbuka dalam berpikir, berpendapat dan bersikap. Aku lebih mampu menenggang beda, memberi ruang kepada mereka yang tidak sependapat dan sepaham denganku dalam banyak hal. Karena aku sadar, ilmu Tuhan begitu luasnya, sementara pemahaman manusia begitu sempitnya. Tak layak dan tak elok bagiku untuk mencela mereka yang berbeda, mencaci mereka yang tak sevisi, menghujat mereka yang tak sependapat.

Sungguh, melalui aktivitas membaca ini aku benar-benar dibukakan lebar-lebar tentang ilmu Tuhan yang terbentang, pengetahuan Sang Alim yang tiada tanding tiada banding. Kalam suci pun menegaskan bahwa ilmu yang Tuhan berikan kepada hamba-Nya hanyalah sedikit. Dengan yang sedikit itu, apa yang bisa aku banggakan. Dengan yang sedikit itu, untuk apa aku mengencangkan urat hanya karena beda pendapat. Dengan yang sedikit itu, apa pantas aku membusungkan dada kepada sesama. Tidak! Sama sekali tidak! Ilmuku tidak ada setetes pun dari lautan ilmu-Nya yang tak bertepi. Karena itu, aku mewajibkan diriku untuk terus belajar, terus membaca, terus mengkaji dan meneliti, dan terus memahami sebatas kemampuanku.

Aktivitas selanjutnya yang terus aku lakukan setiap hari, dan aku berusaha untuk istiqamah adalah menulis. Ya, menulis adalah sebuah upaya untuk mengikat makna dari apa yang sudah aku baca, teliti, kaji dan pahami melalui lembar demi lembar kitab suci, buku, serta kitab yang ditulis oleh ilmuwan masa lalu, juga pengalaman hidup yang aku jalani, alami dan rasakan.

Menulis, adalah seruan Tuhan selanjutnya setelah perintah membaca. Menulis adalah mengikat ilmu yang sudah kita dapat, agar tidak mudah lapuk ditelan waktu, hilang digilas zaman. Dengan menulis, aku mengabadikan ilmu dan pengetahuan. Dengan menulis aku tuangkan seluruh gagasan, pemahaman, serta pandangan-pandanganku tentang segala hal. Dengan menulis pula, aku melatih mengorganisasi pikiran melalui kata-kata yang teratur, sitematis dan logis. Berbeda dengan berbicara yang cenderung tidak beraturan, dan seringkali ngelantur ke sana kemari. Menulis membutuhkan pengorganisasian kalimat yang baik, pemilihan diksi yang tepat, serta mematuhi kaidah bahasa yang sudah ditetapkan.

Menulis juga menghadirkan perasaan lega, plong, bebas, dan lepas dari beban pikiran dan masalah yang sedang menggelayut di benak. Menulis mampu merelaksasi pikiran dan perasaan. Bahkan, dalam sejumlah penelitian disebutkan bahwa menulis mampu meningkatkan imunitas tubuh, membuat tubuh lebih sehat, dan menjadikan seseorang yang membiasakannya terlihat awet muda.

Menulis, apalagi jika diterbitkan menjadi sebuah buku, bisa dijadikan monumen sajarah kehidupan seseorang. Atas dasar itu pula aku begitu semangat menulis. Alhamdulillah, sejauh ini sudah puluhan bahkan belasan karyaku berupa buku yang diterbitkan. Aku berharap, karya-karya tersebut menjadi penanda eksistensi dan kehadiranku di dunia ini, meski kelak aku sudah meninggalkan dunia fana ini. Dan, yang jauh lebih penting dari itu semua, aku berharap karya-karya tersebut mampu menghadirkan manfaat dan keberkahan, baik untuk diriku sendiri sebagai penulis, lebih-lebih untuk orang lain yang membaca karya-karyaku. Dan harapan tertingginya adalah, semoga kelak di hadapan Tuhan, karya-karya tersebut bisa menjadi pemberat timbangan amal kebaikanku. Amiin...

Aktivitas berikutnya, yang tak pernah lepas dari keseharianku adalah mengajar. Mengajar di sini, baik yang bersifat formal seperti memberikan kuliah di sejumlah kampus, maupun informal seperti menyampaikan materi ceramah di masyarakat, seminar, bedah buku dan aktivitas lainnya yang berkaitan dengan memberikan pembelajaran kepada khalayak secara luas.

Aktivitas mengajar ini adalah salah satu bukti atau wujud dari upaya mengamalkan imu yang telah aku dapatkan. Setelah mendapat informasi, ilmu dan pengetahuan melalui aktivitas membaca, atau belajar dari pengalaman hidup, kemudian aku tuangkan dalam bentuk tulisan, mengajar adalah bentuk lain dari tanggung jawab moralku sebagai seorang akademisi, khususnya, dan sebagai hamba Tuhan yang mengemban misi kekhalifahan. Salah satu tugas seorang khalifah adalah memberikan pemahaman, penyadaran dan pencerdasan kepada masyarakat secara luas. Nah, mengajar adalah cara yang paling tepat untuk mewujudkan misi kekhalifahan itu.

Mengajar aku maknai tidak sekadar sebagai transfer of knowledge semata, tetapi lebih dari itu, mengajar adalah sebuah proses pembentukan karakter (character buliding). Melalui aktivitas mengajar ini aku dapat ikut berperan aktif membentuk kepribadian masyarakat dan bangsa, dengan menyampaikan materi-materi yang mampu mencerdaskan, mencerahkan dan menggugah kesadaran setiap individu untuk menjadi lebih baik.

Dengan mengajar aku belajar memahami karakter setiap orang yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Melalui aktivitas mengajar ini aku belajar menyikapi setiap perbedaan yang muncul. Aku menjadi lebih peka dan pada gilirannya terampil mencari solusi terbaik dalam menyikapi ragam perbedaan yang ada.

Inilah tiga aktivitas yang selalu berkait-kelindan dalam keseharianku, dan pada gilirannya membuatku lebih bijak dan dewasa dalam menyikapi hidup dan kehidupan: membaca, menulis, mengajar.


* Ruang Inspirasi, Ahad, 22 Mei 2022.