Monday 1 May 2017

MENUNGGU DEKRIT PRESIDEN



Belakangan ini berbagai problematika hangat dalam perbincangan baik pembicaraan masyarakat, media social dan pemberitaan elektronik. Kenaikan biaya pengurusan STNK dan BPKB serta diikuti dengan kenaikan BBM menjadi pro kontra dikalangan masyarakat. Berbagai macam demonstrasi memprotes kebijakan terus beriringan. Belum lagi persoalan dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh BTP yang berdampak pada aksi besar tiga kali. Penegakan hokum yang seolah tajam kebawah dan tumpul ke atas. Hingga pada perdebatan pro kontra ormas FPI yang berpontensi memecah belah NKRI akibat Media-media sekuler yang semakin mendiskreditkan umat Islam.
Akar Masalah
Penerapan demokrasi secara utuh oleh masyarakat Indonesia dengan pemilihan presiden secara langsung seolah membawa angin segar. Mei 1998 adalah gerakan reformasi dengan tumbangnya rezim orde baru  dan turunnya Soeharto sebagai presiden yang menjabat selamat 32 tahun. Seluruh segeap masyarakat mengharapkan perubahan secara signifikat terhadap masa orde reformasi. Keinginan kebebasan pers dan perlindungan akan hak asasi manusia menjadi tuntutan. Pembatasan masa jabatan presiden  dan dipilihnya presiden secara langsung harapan besar pemimpin muncul sebagai ratu adil.
Dengan reformasi ini dilakukan Perubahan UUD 1945 telah dilakukan dari tahun 1999-2002 oleh MPR RI Saat itu. Kini pasca perubahan UUD 1945 telah melewati beberapa pemerintahan mulai dari presiden Megawati, Presiden Susilo Bambang Yudiyono dan saat ini Presiden Joko Widodo. Nampak banyak kejanggalan dari setiap pasal demi pasal entah secara kebetulan atau sebuah by setting design. Namun hal itu menjadi patut hal yang harus di kaji dan dipahami oleh seluruh anak bangsa.
Dampak Perubahan UUD 1945
Perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali membuka keran bebas liberalism dan kapitalisme. Kepemimpinan presiden ditentukan oleh partai politik dan tidak hanya pribumi yang menjadi preside nasal warga Negara dengan persyaratan tertentu mendapat dukungan partai menang dipemilu bisa jadi presiden. Hak Asasi semakin memperlebar setiap orang menuntut haknya masing-masing atas kebebasan yang dimilikinya. Investasi terbuka lebar untuk Negara-negara asing mengekploitasi kekayaan alam, guna pemerataan pembangunan dan meningkatkan pendapatan Negara.
Majelis permusyawaratan rakyat sebagai Lembaga bangsa mandataris rakyat semakin kerdil. Bukan sebagai lembaga tertinggi untuk menentukan arah jalannya pembangunan yang tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan menetapkan UUD sebagai dasar hokum dalam membuat aturan-aturan turunannya. Fungsi MPR ini semakin dikecilkan yang hanya mensosialisasikan nilai-nilai dari Pancasila, NKRI, Bhinekatunggalika, UUD 1945. Fungsi sebagai mandataris rakyat terkikis, tidak ada impeachment terhadap pemerintah maupun presiden atas segala kegaduhan yang terjadi.
Dekrit Presiden
Tindakan presiden untuk menyelesaikan problematika bangsa hanya butuh dekrit untuk kembali pada UUD 1945 naska asli. Di lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari wakil-wakil rakyat di antaranya adalah para tokoh masyarakat bermusyawarah sebagai majelis permusyawaratan Rakyat sementara. Mewakili rakyat mandaris rakyat untuk merumuskan langkah-langkah strategis penyelamatan bangsa guna menegakkan harkat dan martabat rakyat Indonesia yang akan dijalankan oleh pemerintah. Memutuskan segala perpecahan dan perselisihan di bangsa Indonesia. Langka kongkrit ini menjadi pemersatuan bangsa tanpa ada perpecahan antar golongan sampai pada pertumpahan darah.

No comments:

Post a Comment