Semenjak reformasi 1998
yang berdampak runtuhnya razim Orde baru dan di amandemennya UUD 1945. Anggapan
perlunya reformasi untuk melakukan perubahan yang lebih baik ternyata malah
lebih buruk keadaannya dari orde baru. saat ini sudah mengalami pergantian
pemerintahan tetapi masih belum juga memperbaiki keterpurukan setelah krisis
1998. Kadang menjadi pertannyaan kita siapakah yang patut disalahkan terjadinya
krisis multidimensi ini? Kalau kita analisis lebih dalam permasalahan yang
terjadi sampai hari ini.
pada krisis 1998 menyebabkan perekonomian indonesia turun drastis sehingga negara asing menganggap pada waktu itu negara Indonesia sudah di katakan negara bangkrut. Terpuruknya perekonomian berdampak pada perpolitikan nasional sehingga beberapa orang menuntuk mundur presiden Suharto yang sudah terlamu lama menjabat sebagai presiden dan banyaknya penyimpangan KKN di pemerintahaan. Mundurnya Suharto dan tuntutan reformasi yang meminta perubahan. Tumbangnya orde baru tersebut tidak diimbangi dengan konsep yang matang. Setelah Reformasi terjadi MPR mengamandemen UUD 1945 yang menganggap UUD 1945 akan menjadi tameng kekuasaan pemerintahan yang akan mendatang. Perubahan UUD ini tidak bukan memperbaiki kesalahan yang menyimpang tetapi malah merubah tanpa memperhatikan kearifan bangsa dan nilai nilai pancasila. Banyak pasal yang menyimpang dari nilai-nilai pancasila dan merubah total dari nilai Undang-undang Dasar 1945 yang asli. Padahal para Faunding Father menyusun udang-undang tersebut sudah dengan matang. Undang-undang Dasar memang bukanlah kitab suci yang tidak boleh kita rubah tetapi perubahan Undang-Undang Dasar harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya bangsa kita sendiri, dan kita sempurnakan bukan kita rubah apa lagi dirubah dengan tidak memahami sejarah dari bangsa kita sendiri.
pada krisis 1998 menyebabkan perekonomian indonesia turun drastis sehingga negara asing menganggap pada waktu itu negara Indonesia sudah di katakan negara bangkrut. Terpuruknya perekonomian berdampak pada perpolitikan nasional sehingga beberapa orang menuntuk mundur presiden Suharto yang sudah terlamu lama menjabat sebagai presiden dan banyaknya penyimpangan KKN di pemerintahaan. Mundurnya Suharto dan tuntutan reformasi yang meminta perubahan. Tumbangnya orde baru tersebut tidak diimbangi dengan konsep yang matang. Setelah Reformasi terjadi MPR mengamandemen UUD 1945 yang menganggap UUD 1945 akan menjadi tameng kekuasaan pemerintahan yang akan mendatang. Perubahan UUD ini tidak bukan memperbaiki kesalahan yang menyimpang tetapi malah merubah tanpa memperhatikan kearifan bangsa dan nilai nilai pancasila. Banyak pasal yang menyimpang dari nilai-nilai pancasila dan merubah total dari nilai Undang-undang Dasar 1945 yang asli. Padahal para Faunding Father menyusun udang-undang tersebut sudah dengan matang. Undang-undang Dasar memang bukanlah kitab suci yang tidak boleh kita rubah tetapi perubahan Undang-Undang Dasar harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya bangsa kita sendiri, dan kita sempurnakan bukan kita rubah apa lagi dirubah dengan tidak memahami sejarah dari bangsa kita sendiri.
Jadi yang patut
disalahkan adalah MPR pada saat itulah, dengan tidak mempertimbangkan sejarah dan
ilmu di bangsa ini mereka merubah redaksi undang-undang dasar itu. Kita
analisis beberapa pasal yang menyimpang dari ilmu bangsa kita.
analisis beberapa pasal UUD 1945 sebelum amandemen dan setelah amandemen.
analisis beberapa pasal UUD 1945 sebelum amandemen dan setelah amandemen.
pasal 1 ayat 2
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat”
Yang artinya rakyat itu
dimandatkan kedaulatannya kepada lembaga bangsa yaitu Majelis permusyawaratan
Rakyat untuk menposisikan rakyat dalam membangun aturan-aturan dasar. Jadi
ketika kedaulatan dan kesejahtraan rakyat tidak terpenuhi, maka rakyat menuntut
kepada MPR selaku mandataris rakyat. MPR ini merupakan lembaga bangsa yang
memisahkan diri lembaga negara yang bermusyawarah minimal 5 tahun sekali di ibu
kota negara (pasal 2 ayat 2) dalam
menetapkan UUD dan merumuskan GBHN (pasal
3). Karena MPR merupakan
mandataris dari rakyat maka MPR itu bermusyawarah mengenai kebutuhan-kebutuhan
tiap daerah dang golongan-golongan termasuk dalam menentukan standar Pemimpin
untuk presiden. Namun UUD 1945 ini bukan kitab suci karena pada pasal 2 ayat 1
“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan,
menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.”
Dimana dalam pasal
tersebut MPR yang merupakan mandataris rakyat terdiri dari orang-orang
independent seperti utusan-utusan daerah dari permusyawaratan tingkat RT/RW
hingga sampai tingkat provinsi, dan utusan-utusan dari perwakilan golongan petani,
nelayan, koperasi, pedagang, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para ahli yang
bermusyawarah dalam membangun aturan-aturan dasar, akan tetapi anggota dari MPR
pada pasal itu yang bermusyawarah tercampuri oleh DPR yang sebagai lembaga
negara selaku bandan legislatif yang tugasnya membuat undang-undang yang harus
tetap sesuai dari Nilai-nilai undang-undang dasar yang ditetapkan oleh MPR dan
nilai-nilai pancasila. Karena adanya DPR selaku lembaga negara secara otomatis
dalam pembentukan undang-undang dasar akan dibuat sesuai dengan kebutuhan
lembaga negara tersebut kepentingan negara tersebut.
Amandemen yang
dilakukan pada saat itu harunya yang diutamakan adalah pasal 2 ayat 1 bukan
merubah redaksinya. Kita lihat pasal 1 ayat 2 setelah amandemen “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”
Dalam pasal 1 ayat 2
setelah amandemen menjelaskan bahwa kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar, ketika kedaulatan dan
kesejahtraan rakyat tidak terpenuhi rakyat menuntut kepada siapa? Tidak
dijelaskan selain menurut undang-undang dasar, berarti ketika tidak terpenuhi
kedaulatan rakyat maka rakyat hanya menuntut kepada UUD 1945 yang hanya
sebundelan kertas rumusan MPR yang sudaah mengacak-acak pasal-pasalnya.
Selain pada pasal
tersebut pada pasal 2 ayat 1 setelah amandemen juga malah nambah kekeliruan
“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan
diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Pada pasal tersebut sebelum
amandemen saja sudah ada kekeliruan lembaga negara yang masuk ke lembaga bangsa
malah merubah tanpa ilmu dan mengetahui sejarah bangsa ini. MPR yang seharusnya
mandataris rakyat malah anggotanya terdiri dari DPR yang berdiam di gedung
senayan yang seharusnya fokus membuat undang-undang. MPR yang seharusnya
perwakilan rakyat yang bersidang minimal 5 tahun sekali bersidang dan setalah itu kembali kedaerah
tempat asalnya mencari kebutuhan tiap daerah dan golongan-golongannya. Selain
itu Anggota MPR dipilih melalui pemilu atau voting bukan musyawarah, ini jelas
bertentangan dengan PANCASILA sila ke 4. “Kerakayatan yang di pimpin oleh
hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Itu jelas sekali
bahwa rakyat itu dipimpin oleh orang-orang yang berikmah (berilmu) dan
bijaksana dalam pemilihannya melalui permusyawaratan dan orang-orang perwakilan
dari mandataris dari rakyat. Itu hanya beberapa pasal masih banyak lagi
pasal-pasal yang dirubah akibat ketidaktahuan MPR akan sejarah dan ilmu
bangsanya.
Dari
pemaparan diatas jelas awal mula terjadinya krisis multidimensi ini adalah MPR
yang seharusnya sebagai lembaga bangsa kini sekarang menjadi lembaga negara
menjadi MPR-RI. Tidak heran selama MPR masih dipilih dengan sistem pemilu dan
partai hanya akan menghasilkan undang-undang yang mengutamakan partainya dan
pribadinya yang sudah menghabiskan uang banyak karena pemilu.
jadi menurut anda siapa yang paling bertanggung jawab dalam krisis multidimensi ini??? apakah pemerintah ataukah rakyat sendiri atau DPR ?
ReplyDeleteMPR periode 1999-2002 yang melakukan amandemen sehingga telah menghapus kebenaran lintasan sejarah bangsa.
ReplyDeleteakan lebih salah lagi adalah generasi muda yang tidak memahami kebenaran sejarah bangsa Indoensia atau tidak mau mengkaji itu.
Jawaban yg sangat jelas,seolah-olah mereka ingin berkuasa tapi enggan bertanggung jawab,seperti saling lempar tanggung jawab, mantap jawabannya.. Terima kasih pak
ReplyDelete